Ananda Rhea Prahadi
"Sssuutttt," reflek saja tanganku terangkat dan membungkam mulut Dion yang lemes ini.
"Pelan-pelan!" seruku pada Dion. Pria itu mengangguk dan aku melepas tanganku dari mulutnya. Ia menarik nafas, sebelum mulai kembali bercerita.
"Kamu nggak tahu ya, rumahku sama Rehan deketan? Aku sama Rehan itu tetanggaan. Tapi tenang aja, aku nggak akan nyebar gosip murahan."
Bibirnya terbuka, dan memamerkan deretan gigi putih yang ingin sekali ku rontokan. Kenapa aku bisa seceroboh ini sih? Aku nggak berniat membuat skandal sama siapapun. Masalahnya, orang-orang di tempat kerjaku ini tukang gosip semua. Dan aku nggak mau jadi bagian dalam bahan gosip itu. Apalagi semua orang hanya tahu kalau aku dengan Allan pacaran. Padahal tidak terjadi apapun pada hidup kami..
"Jangan banyak omong ya Dion. Please!" ujarku dengan nada memohon. Dion melipat kedua tanganya di depan d**a, dengan gaya sok songong dan minta di jambak, ia agak membungkuk untuk mensejajarkan tubuhnya denganku. Jadi begini ya rasanya, punya tinggi badan di bawah standar. Agak terintimidasi gimana gitu ya!
"Wani pirooo?"
"Issshh Dionn,"
"Ha-ha-ha iya iya deh." Puas sekali rasanya Dion membuat aku ketakutan. Harusnya tidak ada yang perlu kutakuti. Mendekati dan didekati adalah hak setiap orang. Tapi, kenapa aku jadi kepedean? Siapa memangnya yang sedang mendekatiku.
"Operator, mana operator oyyy!"
Dion dan aku menoleh bersamaan pada beberapa waiter yang ternyata sudah mengantri untuk memberikan orderan di belakang kami.
"Gibah mulu, orderan nih!"
Dion dan aku melirik bersamaan, sebelum akhirnya kembali melaksanakan aktifitas. Ini akan jadi hari yang panjang. Tapi baguslah, setidaknya dengan hari yang sesibuk ini, karyawan Pangestu Ibu tidak akan ada waktu untuk bergosip tentang aku, si alis tebal, dan pria bermata coklat.
***
Hujan tengah mengguyur Puncak. Kabut tebal menyelimuti seluruh atap Resto yang notabennya memang ada di dataran tinggi. Aku sedang berada di lantai dua, mengantarkan menu pada salah satu pelanggan. Dari atas sini, kemacetan karena jalan satu arah yang diberlakukan pada hari Sabtu dan Minggu nampak terlihat jelas.
Mungkin sudah satu jam, tak ada pergerakan yang terjadi. Kecuali motor yang memang telah hilai selap selip di sana sini. Aku bisa mengambil nafas sejenak, mengingat tamu sudah mulai banyak yang pergi.
Sebenarnya suasana disini kalau sedang sepi benar benar nyaman. Aksen tradisional begitu kental. Dinding, meja, kursi, hiasan, bahkan atap semua terbuat dari kayu. Warna coklat yang kental, dan memang khas rumah rumah Sunda jaman dulu. Angin yang sejuk, dikelilingi kebun teh dan tanaman warga sekitar. Pantas, kebanyakan para tamu lebih sering memesan tempat di lantai dua. Ya karena, pemandangan disini memang lebih menjanjikan, segar juga menyehatkan mata.
"Lagi ngeliatin apa Da?"
Suara Rehan tiba tiba mengalun, ketika aku sedang menarik nafas panjang. Reflek aku segera berbalik pada sumber suara, bukan reflek untuk berhenti bernafas. Lalu benar saja, ada Rehan yang tengah berdiri di belakangku. Dengan wajahnya yang dingin. Dia sama sekali nggak terlihat bersahabat, seperti waktu mengajak ku jalan kemarin.
Aku harus agak mendongak, untuk melihat eskpresi si tuan sok cool. Tapi yang jadi pertanyaanku sekarang adalah ...
"Kamu ngapain disini Han?"
Ini agak lumayan jauh dari area kerjanya. Karena itu agak heran juga pria ini bisa ada disini. Terlebih lagi, bila manager melihat dia malah kelayaban, itu bukan ide yang bagus.
"Agak sumpek di Pantry. Jadi aku jalan kesini," jawabnya santai.
"Kalo si Botak? Ehh maksudku Pak Ridwan liat kamu, nanti kamu dimarahin."
"Kamu takut aku dimarahin, atau memang males liat aku?"
"Bukan gitu, masa kamu nggak ngerti maksudku sih?"
"Aku udah beresin semua orderannya Da, lagian ada anak anak juga di Pantry, banyak yang gantiin. Tuh liat kan di sekitar kamu, hampir semua pelanggan udah mulai pada pulang."
Aku memalingkan wajah yang awalnya menatap lekat-lekat pada sepasang bola mata coklat itu. Untuk kesekian kalinya, kenapa aku nggak bisa berkutik dengan itu semua.
"Kamu ngapain? Blazermu tipis. Nggak akan bisa nahan hawa dingin di sini."
"Sok perhatian banget sih."
Pria itu masih diam tak menjawab, sementara aku masih kekeh, tak ingin melihat wajahnya. Jadi aku nggak tahu, ekspresi macam apa yang kini tengah mengukir mukanya. Dan dia benar, udara di sekitarku semakin dingin. Puncak tanpa hujan saja sudah amat sejuk, apalagi ditambah hujan seperti ini.
"Ehm ... soal tadi pagi!"
Rehan berhasil mematahkan niatku untuk tak memandangi wajahnya. Soal tadi pagi? Ku pikir dia tidak akan membahas hal ini. Kalau mengingat ekspresi nggak jelasnya di dapur tadi pagi, kupikir dia bakal marah. Mau tak mau, aku langsung melihat ke arahnya. Tangannya terangkat, menggaruk tengkuk belakang miliknya, yang kuyakini pasti sama sekali nggak gatal.
"Tadi pagi Allan cuma ajak aku ngobrol kok. Sama seperti sebelumnya. Kami tetap nggak punya hubungan apapun selain teman. Jangan buat asumsi yang berlebihan ya!"
Astaga, untuk apa aku menjelaskan apa yang terjadi padaku dan Allan. Dia bahkan belum bertanya apapun. Fix Nanda, kamu bikin Rehan ilfil sekarang.
"Ehm thanks ya, kamu udah jelasin sebelum aku nanya. Ya ... diluar perkiraanku sih! Liat kalian seintim itu, ya, gimana ya? Otak ku travelling kemana mana. Tapi lupain aja. Nanti sore kamu ku antar pulang ya!"
"Sore?"
"Iya, kamu jadwal pulang sore kan. Kebetulan aku juga. Atau kalau kamu nggak enak sama Allan, its oke ..."
"Nggak kok, Allan jadwal pulang malem. Biasanya aku naek angkot sih, kalau nggak bareng dia. Tapi karena kamu nawarin, ya mubazir donk kalau di tolak."
"Ya udah, nanti aku tunggu di pos security ya. Aku balik dulu ke Pantry."
Tanpa tersenyum atau menunggu jawabanku, Rehan pergi begitu saja. Aku jadi melongo dibuatnya. Padahal dia yang ngajak ngobrol duluan, tapi kenapa malah aku yang ditinggal. Dasar orang aneh, sok cool, sok dingin, tapi aku suka. Iya, anehnya aku suka semua keanehannya. Jangan terlalu banyak berharap lah Ananda, apa nggak cukup semua masalah mu dengan Allan hanya karena masalah hati.
***
Lima, empat, tiga, dua dan satu. Akhirnya sekarang sudah tepat pukul empat sore. Aku bisa pulang, sangat menyenangkan bisa pulang lebih awal dan pamer senyum kebahagiaan pada kedua rekanku yang akan melewati jadwal pulang malam, yaitu Sella dan Dion. Aku segera merapikan semua barang barang ku dalam tas, sebelum ponsel di dalam saku celanaku bergetar. Satu chat dari aplikasi hijau masuk, dengan nomor yang tak ku kenal.
"Dimana?"
Keningku mengkerut, mengingat ngingat dua belas digit nomor yang terpampang nyata pada layar ponsel ini. Tapi, tak ada satupun nama kandidat yang muncul dalam benakku.
"Ini siapa? Apanya yang dimana?"
"Rehan."
Sebelah alisku terangkat, bersamaan dengan sudut bibirku yang tertarik ke atas. Membentul senyum tipis, saat menyadari, orang aneh ini malah chat aku duluan.
"Aku ke pos sekarang. Tungguin ya."
"Oke."
Apa, orang orang macam Rehan ini susah banget ya bales pesan yang agak panjang sedikit. Benar benar hanya satu kata. Sepertinya aku bisa mati bosan jika saling berbalas pesan dengan orang ini. Tapi tunggu, kini pertanyaanku bertambah. Darimana ia bisa tahu, nomor ponselku.
Sudahlah, aku ingin segera enyah dari tempat ini. Aku melewati Dion dan Sella dengan penuh kebanggaan, sementara mereka mungkin tengah bergelut dalam hati sambil meneriakan "Awas kalau giliran aku yang pulang duluan." Hahaha kenapa imajinasiku jadi berkembang.
Sebelum pulang, aku menghampiri Allan yang sedang menyiapkan bahan untuk menu orderan lain. Dahinya mengkilat di terpa keringat. Aku meraih tisue dari dalam tas, lalu mengelap beberapa bulir air itu.
Ia menoleh, dan mungkin terkejut karena awalnya sedang serius, lalu tiba-tiba seorang gadis cantik dengan sukarela malah membersihkan keringatnya.
"Loh, De? Kamu mau pulang? Duh, aku jadwal balik malem. Gimana donk?" Suaranya terdengar panik, tapi tangannya masih bergerak lihai menggunakan pisau.
"Iya nggak papa, aku tahu kok. Kamu fokus aja kerja."
"Ck, padahal kita baru baikan. Ya udah, aku anterin kamu cari angkot ya."
"Ehh jangan jangan, ngapain sih. Kan kamu lagi kerja, nggak enak donk ama yang lain. Lagipula, aku nggak naek angkot. Aku bareng Rehan kok."
Krek ...
Terdengar suara sisa potongan terakhir dari pisau yang digunakan Allan. Ia melepaskan benda benda yang dipegangnya, lalu mengelap tangannya pada celemek yang ia kenakan.
"Kamu pulang sama Rehan lagi? Ini ada apa sih? Kok kamu jadi deket gini sama Rehan?"
"Deket apa sih Kak, dia kan cuma anterin aku pulang."
"Tapi ini nggak biasa De, Rehan itu anti banget boncengin cewek, apalagi sama karyawan sini! Bilang sama aku De, kamu ada apa sama Rehan?"
Ya Tuhan, ada apa dengan otak para pria ini. Kenapa semua hal sepele di buat rumit. Allan masih belum berubah, ia tetap bersikap seolah aku adalah miliknya. Kukira dia sudah mengerti, bahwa akan ada batasan pada sahabat yang paling dekat sekalipun.