Makan Sate, Sore Sore

1145 Kata
Ananda Rhea Prahadi "Kamu kok jadi ngatur ngatur gini sih kak!" Allan terlihat agak gelagapan mendengar sentakanku. Habis bagaimana lagi? Nggak semua hal bisa seenaknya di atur. Dan aku juga tidak memiliki kewajiban untuk melaporkan setiap tindakanku pada pria ini. Allan menarik nafas panjang yang terdengar lelah setelah memutar pandangan. "Aku nggak maksud ngatur-ngatur kamu De. Aku cuma heran, sekaligus kawatir. Kamu belum kenal baik sama Rehan De." Apalagi memangnya harus ku ketahui, Rehan memang dingin dan jutek. Tapi dia baik. Aku justru tersentuh karena bisa menjadi satu satunya orang special yang bisa tiba-tiba saja dekat dengannya. "Ya udah, aku masih banyak kerjaan. Kamu hati hati ya De, Kabarin kalau udah sampe rumah!" Aku mengangguk dan berlalu tanpa ingin menambah lagi kalimat basa basi lain. Kadang aku agak heran juga. Kenapa aku seperti tak bisa bebas bergerak disini. Thanks for Allan, karena telah membantuku mendapat pekerjaan. Tapi bukan berarti semua kehidupanku di area kerja ini menjadi tanggung jawab atau berada di bawah naungannya. Mungkin dia akan merasa kesal, tapi biarlah. Aku harus segera bergegas, Rehan pasti sudah menungguku di Pos. "Lama ya?" Aku menghampiri Rehan, yang tengah bersansdar di atas motornya, sembari memegang ponsel. "Nggak. Kamu udah absen?" "Udah." "Nggak ada yang ketinggalan?" "Ada kok ada. Tapi nggak papa, nggak perlu di ambil." "Emang apa yang ketinggalan?" "Jejak kaki!" "Ehmmm ..." Krik ... krik ... krik Ya ampun Nanda, garing banget sih kamu. Udah tahu orang di depan kamu ini bukan cowok humoris, malah dibecandain sesuatu yang sama sekali nggak lucu. Lihat kan hasilnya, raut wajahnya makin aneh. "Ehmmm okey, aku nggak niat ngambilin juga sih. Nih pake!" Rehan menyodorkanku helm dan jaket seperti malam itu. Malam dimana pertama kali ia mengantarku pulang. "Kamu kebiasaan ya, kalau nganterin aku pulang, pasti akhirnya jadi nggak pake apa apa." Aku menggenakan helm dan jaket darinya, karena meskipun aku menolak, sudah pasti dia tidak akan menerimanya. "Emang yang mau nganterin kamu pulang siapa?" "Lah terus?" "Masih sore, kita cari makan dulu." Bagai kerbau di cocok hidung, aku langsung menurut saja. Tanpa banyak protes, segera ku naiki motor yang mungkin hanya ada bekas pantatku di atasnya. Rehan menyalakan motor, namun tak juga melaju. "Nandaa ... " panggilnya lembut. Ahh, iya. Sepertinya aku melupakan sesuatu. Sebenarnya aku enggan melakukan ini jika banyak orang yang melihat. Tapi berhubung di tempat parkir sudah tidak ada orang, ya sudahlah. Ku lingkarkan kedua tanganku pada pinggang pria di hadapanku. Aku melirik pada kaca spion. Dan ya Tuhan, dia tersenyum. Tak lama kemudian, motor mulai melaju. Aku dan Rehan melewati jalanan puncak yang dingin dan masih basah dari sisa sisa hujan siang tadi. *** Bau harum dari asap daging yang dibakar benar benar menggugah selera. Membuat air liurku tanpa sadar menetes. Perutku benar benar kelaparan. Aku nggak sempet sarapan apalagi makan siang. Rehan mengajakku makan di warung sate pinggir jalan. Ini bukan tempat asing. Hanya warung tenda sederhana yang amat jauh dari kata mewah, akan tetapi setiap sore hingga malam, warung sate ini selalu ramai. Rehan dan aku sedang menunggu pesanan kami datang. Sekali kali nggak papa lah ya, kami yang biasanya melayani pembeli, sekarang tengah menjadi pembelinya. "Kamu nggak keberatan kan, ku ajak makan di pinggir jalan kaya gini?" Pertanyaan macam apa itu? Dia pikir aku orang macam apa? Yang gengsi diajak makan ditempat seperti ini. Orang kaya aja, banyak yang nongkrong disini. "Ya kalau makannya di tengah jalan malah bahaya, bisa ketabrak. Aneh aneh aja sih kalau nanya." "Maksudku bukan itu Da." "Iya iya, aku tahu. Kamu tenang aja. Makanan pinggir jalan itu kan enak enak. Dan murah ... meriah. Pas dikantong sama di mulut. Lagian, Allan juga sering ajak aku makan ginian." "Ohh ... Allan ya?" Sial, aku lupa. Pelajaran ke sekian saat kamu sedang bersama cowok lain adalah, jangan pernah membahas cowok yang lain lagi. Rehan memalingkan wajahnya. Aku jadi bingung harus membahas apa. Tapi beruntunglah, nasib baik sedang berkunjung di hidupku, karena tak lama kemudian. Pesanan kami datang. Dua porsi sate maranggi yang masih panas. Dengan saus kecap di tambah nasi putih dan sambal siap menggoyang lidah. Beneran bikin ngiler deh. Tanpa basa basi lagi, mulutku sudah menganga sebelum akhirnya terhenti saat Rehan berkata ... "Erhmm, Bismillah dulu kali." Mataku mendelik agak kesal. Benar benar nggak ada akhlak aku ini ya. Diingatkan pada jalan yang benar, malah protes. "Ck, iya iya. Bismillahirrahmanirrahim Amiin. Udah kan ini. Aku bisa makan kan, sekarang?" "Emang yang larang kamu makan siapa. Aku kan juga mau makan." Rehan mengalihkan perhatiannya dariku, lalu melahap makanan di hadapannya. Sementara aku, ya sudah jelas. Nggak perlu malu malu. "Kebiasaan banget sih. Kalau makan kaya orang kesurupan." Rupanya si mata coklat ini merhatiin makanku toh dari tadi. Tapi aku tidak perduli. Untuk apa, berpura pura sok lenjeh atau manja. Mengosongkan piring berisi makanan, adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Sedang asik asiknya menyantap sate yang nikmat tiba tiba saja. Ada pengamen menghampiri meja kami. Seorang pemuda lusuh dengan gitar membawakan lagu, dengan suara yang jujur saja, nggak banget! Berisik dan sama sekali nggak menghibur. Aku baru saja akan mengambil recehan dari dalam saku rok pendek ku. Tapi Rehan berdiri lebih dulu menghampiri si empunya gitar. Mereka kasak kusuk nggak jelas, kemudian pengamen itu menyerahkan gitarnya pada Rehan. "Buat cewek abal abal, yang lagi makan sate kaya orang kesurupan." Sialan, aku dibilang cewek abal abal. Tapi apa maksudnya ini. Rehan mau bernyanyi? Untukku? "Ananda Rhea Prahadi." Jadi benar, dia menyebut namaku. Ini beneran nggak sih? Rehan yang aneh ini menyanyikan lagu buatku. Aku melihat ke segala arah. Semua orang memandangku dan Rehan. Ya ampun, kenapa dia harus melakukan hal yang memalukan seperti ini. Aku memang tersentuh, tapi menjadi pusat perhatian di antara orang-orang yang sedang memakan sate itu, rasanya amazing banget. Aku rasanya ingin pingsan. Apalagi saat pria itu mulai melantunkan suara. Sebenernya nggak bagus juga sih, tapi ya jelas lebih enak di dengar daripada pengamen tadi. Baru ku sadari ... Cintaku bertepuk sebelah tangan Kau buat remuk Seluruh hatiku Bangke! Kenapa dia harus bikin aku terkesima gini sih? Bagaimana bisa, aku yang memiliki hati rapuh dan mudah tergoda ini bisa bertahan. Pria itu terus bernyanyi sembari menatap ke arahku dengan santai. Dia nggak perduli sama sekali, dengan kegugupanku yang ingin sekali berteriak "Udah donk Rehan. Aku malu!" Riuh tepuk tangan mengiringi petikan gitar terakhir dari Rehan. Ia tersenyum ke arahku, lalu mengembalikan gitar itu pada pemiliknya, beserta lembaran uang, yang tidak bisa ku terka berapa jumlahnya. Lalu dengan santainya kembali duduk dan menyeruput teh tawar hangat di sampingku, bersama wajah datar yang biasa aja. Seolah, nggak ada yang terjadi. Sengaja ku sikut perutnya saat ia sedang minum dan sukses membuatnya tersedak. "Pffttt, kamu ngapain sih Da, untung nggak tumpah!" "Kamu yang ngapain. Bikin malu tahu nggak?" "Yang harusnya malu itu aku. Aku lagi nyany, dan kamu bukannya fokus liat ke aku, malah sibuk kesurupan sama sate!" Bibirku mencebik kesal. Oke Fix, Rehan si Mr. Sok Cool ini udah nggak Cool lagi. Sekarang dia jadi Mr. Rese yang nyebelin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN