Luka lama

1078 Kata
Ananda Rhea Prahadi “Kunupu rumuhmu supu bungut?" Dengan mulut penuh aku bertanya pada Rehan yang asik membuat suara perang dengan piring. "Apa sih Da, kalau mau ngomong itu nasinya telen dulu!" jawabnya tanpa menoleh. Ah iya, aku lupa kalau saat ini aku sedang bersama Rehan. Bukan dengan Allan. Kalau Allan, dia akan langsung menangkap setiap kata yang keluar dari mulutku, meski tak jelas. "Rumahmu, kenapa sepi banget. Orangnya pada kemana?" Ku ulang pertanyaan standar yang sejak tadi ingin ku tanyakan. Ya karena, emang aneh. Rumah kok sepi banget kaya gini. "Ohh, abangku lagi di bengkel. Istri sama anaknya jam segini ikut nemenin. Maklum lah, abangku ganteng, persis aku. Jadi takut ada yang goda." "Hueee.” Aku berpura pura ingin muntah, mendengar tingkat kepedeannya yang super keren itu. Ditambah raut wajahnya yang tanpa ekspresi itu, seolah itu adalah hal biasa. Please ya Rehan, kamu itu orang macam apa? "Jangan pura pura muntah Da, aku tahu kamu mengakui itu. Kalau nggak, mana mau kamu ku ajakin jalan. Padahal kita baru kenal." Skakmat! Bagaimana ia bisa tahu. Logikanya memang benar sih, hal pertama yang kulihat selain matanya, ya memang karena dia itu ganteng. Ganteng banget, sepasang mata coklat, beradu dengan kulit yang putih, hidung mancung, dan bintik bintik hitam kecil di sekitaran pipinya. Rehan ini lebih mirip pria bule dengan sedikit sentuhan bumbu Indonesia. "Sorry ya, kesannya kaya aku tuh, cewek yang suka mandang fisik. Nyebelin banget sih. Kamu harusnya terima kasih, mulai besok seisi Resto, bakal surprise banget. Karena aku jadi pemecah rekor." "Pemecah rekor apa?" "Ya karena aku, cewek pertama yang kamu ajak pulang bahkan jalan. Reputasi kamu sebagai homo akan hilang dengan sendirinya." "Sialan, aku nih normal kali. Kamunya aja yang nggak tahu." "Yakin kamu normal? yakin kejutekan kamu yang tiba tiba berubah itu sebuah kenormalan?" "Kamu akan kaget, kalau tahu seberapa normalnya aku Da." Pria itu meletakan sendoknya di atas piring dan mengalihkan perhatiannya padaku. Matanya menatapku dengan intens. Dan aku amat nggak suka. Kenapa? Ya karena mata coklatnya selalu membuat aku kikuk. Untuk pertama kalinya mungkin aku harus mengakui, kalau aku jatuh cinta. Jatuh cinta pada sepasang matanya yang coklat. Tapi ini terlalu cepat nggak sih. Dan sebentar, tiba tiba saja, tatapannya membuatku takut. Aku menghentikan suapanku dan mengikutinya meletakan sendok. "Apa liat liat?" "Galak bener Da. Perasaan kemaren nyuruh aku senderan." "Uhuk ..." reflek perkataan Rehan barusan membuatku tersedak. Lagi lagi skakmat untuk Ananda. "Kok kamu jadi bawel gini sih!" "Nggak tahu, mungkin karena kamu enak diajakin bawel. "Kalau orang tuamu kemana?" Aku kembali memasukan satu santapan terakhir ke dalam mulut, saat menyadari Rehan tak menjawab pertanyaanku. Mataku melirik pada seraut wajah yang malah berubah. Apa pertanyaanku ada yang salah ya. Ini kan pertanyaan normal. Kembali aku mengingat, bahwa aku tak menemukan satupun foto lelaki atau wanita yang bisa menjadi kandidat orang tuanya. "Han, kok kamu diem. Apa ada yang salah?" Rehan membalas tatapanku dan melemparkan senyum yang manis. Sayangnya, senyum ini tak menggetarkan hatiku. Entah karena setelahnya ia justru mengambil piring kami yang telah kosong tanpa berkata kata, atau karena ekspresinya yang malah membuat aku bertanya tanya. Ohhh, ini salahku. Kenapa aku terlalu kepo jadi orang. Mendadak rasa canggung hadir diantara kami. Aku menyusulnya ke dapur. Ia sedang berdiri menghadap wastafel, dan membersihkan peralatan makan kami yang kotor. Ehm, kelihatannya, Rehan adalah tipe lelaki yang mandiri. Tapi bukan itu intinya. Ia sedang menghindar dari pertanyaanku. "Ini pertama kalinya aku bawa cewek lagi ke rumah," ucapnya dengan nada datar tanpa menoleh. Aku nggak berniat meneruskan suasana yang mulai nggak kondusif ini. Karena itu meski ada di sampingnya, aku tetap diam. "Dan, udah lama banget nggak ada yang nanya, dimana orang tuaku." "Iam sorry soal itu. Aku nggak ada maksud kok ..." "Its ok Da. Aku nggk papa. By the way, apa tawaran sender senderan itu, masih berlaku. Soalnya mendadak aku butuh bahu nih!" *** Aku baru saja selesai mengisi absen pagi saat tiba tiba tanganku tertarik menjauh dari Pos Security. Untunglah belum ada karyawan lain yang datang. Sepertinya aku karyawan pertama yang mengisi absen. Eh tidak, pasti Allan yang pertama, karena ia tiba tiba saja muncul. Ia menarikku menuju area kerjanya alias Dapur 1, merapatkanku pada pintu lemari es yang besar dan dingin. Pergelangan tanganku sakit di buatnya. Dan sejujurnya ini aneh. Ada apa dengannya, ini pertama kalinya Allan begitu kasar padaku. Dia adalah orang yang lemah lembut dan terlampau mengerti tentang semua keinginanku. Melihatnya begini, membuatku sama sekali tak mengenalnya. "Apa sih Lan. Tanganku sakit." Aku mulai marah, karena ia tak juga melepas cengkramannya. Ada apa dengannya? Pagi pagi sudah membuat masalah. "De, aku udah coba menghindar dari kamu dan ternyata nggak bisa." Nadanya terdengar parau. Allan memalingkan wajahnya. Tangannya terulur, diletakan pada kedua sisi kanan dan kiri wajahku yang kemudian bertumpu pada pintu lemari es tempatku bersandar. "Jawaban kamu saat nolak aku bikin sakit hati. Karena itu sebisa mungkin aku menghindar dari kamu. Aku nggak mau mengecewakanmu apalagi diriku sendiri. Tapi nyatanya, sehari aja aku nggak liat kamu di belakang meja operator itu, mood ku jadi kacau," tambahnya lagi. Wajahnya tertunduk dan membuatku iba. Tapi bukan begini cara yang baik untuk bicara. "Allan udah deh. Nanti ada orang dateng, malu Lan." Aku takut jika ada Karyawan atau Security datang lalu melihat posisi ku dan Allan yang nggak banget. Ini akan menimbulkan masalah. "Nggak, kamu denger aku dulu. Kamu bisa tanya anak anak De, kemaren aku dapet beberapa komplen dari pelanggan karena orderan yang salah. Pikiranku kacau De, aku nggak bisa masak apapun dengan bener. Apalagi kalau ingat malam kemarin. Bodohnya aku, ninggalin kamu malam malam sendirian. Kamu pasti kesulitan buat pulang. Maafin aku De, maaf." Allan, kenapa kamu seperti ini? Kenapa harus membuat ku merasa bahwa aku yang paling jahat. Semua perasaan yang selama ini aku inginkan, kenapa justru membuat luka dan batasan diantara kita. Apa yang salah dari semua ini. Kamu tetap Allan dan aku tetap Nanda. Tapi hubungan kita kenapa jadi berbeda. "Udah lah Lan. Lupain semuanya. Sekarang waktunya kerja, jangan kaya gini." Aku enggan berlama lama membahas masa lalu. Tidak ada kisah antara aku dan Allan lagi. Semua terjadi karena ulahnya. Tapi kenapa sekarang aku merasa sakit. "Jadi kamu pulang sama siapa?” kedua matanya menatapku tajam. Aku tak bisa menebak ia marah, penasaran atau bagaimana. Haruskah ku jawab? Akankah jadi masalah jika aku berkata mengenai semua yang terjadi. "Aku pulang sama ...." tenggorokanku tercekat. Kalimatku tak tuntas, mataku melebar saat mendapati Rehan yang melihatku dan Allan dalam posisi yang pasti terlihat tidak pantas. Ia menggelengkan kepala, lalu meninggalkanku begitu saja. Tidak, Rehan pasti salah paham
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN