Chapter 10. Undangan

1035 Kata
Sesuai dengan apa yang Narvi dan Harpa terka, acara wisuda gempar akan keberadaan Harpa di sana. Padahal sudah banyak yang mengira Harpa tidak akan lulus tahun ini. "Papanya orang berpengaruh. Enak juga lulus modal duit," komentar seorang mahasiswi yang duduk tak jauh dari Harpa. "Makanya dia di kelas belajar saja santai. Dia tahu enggak perlu kerja keras tetap lulus." Mendengar itu, Harpa sama sekali tak merasa terganggu. Untuk apa menjelaskan pada orang yang sudah membenci karena pada akhirnya akan terus begitu. Harpa hanya memiliki keyakinan, mereka yang berkomentar buruk hanya iri dengan apa yang dia miliki sekarang. "Harpa, makasih banyak sudah beliin aku baju ini, ya?" ucap Narvi. "Kamu itu kenapa? Sudah berkali-kali kamu bilang gitu. Nanti kedengeran orang lain tahu! Satu lagi! Kamu itu sudah kayak saudara aku, Narvi," tegas Harpa. Meski banyak yang berkomentar buruk, sebagian masih terpaku akan kecantikan Harpa hari ini. Gadis kaya yang biasanya cuek dengan penampilan kini terlihat anggun mengenakan kebaya berlengan panjang dengan ekor gaun di belakangnya dan berwarna merah muda. Walau tertutup baju toga hitam dan topinya. Thyon hadir dalam acara itu. Berjalan ke kursi orang tua, dia bertemu dengan CEOnya yang tengah duduk sendiri. "Selamat pagi, Pak. Bagaimana kabar Anda?" tanya Thyon. "Aku baik, Thyon. Putramu hari ini juga wisuda?" jawab Chaldan. "Benar, Pak. Dia lulus menjadi mahasiswa terbaik angkata ini. Jadi dia akan menerima penghargaan. Karena itu saya izin tidak masuk kerja," jelas Thyon. "Putramu memang luar biasa. Ucapkan selamat untuknya dariku. Nanti aku akan kirimkan hadiah untuknya," ucap Chaldan. "Terima kasih banyak, Pak. Kebaikan hati Anda tidak mampu saya balas," timpal Thyon. "Kamu bekerja denganku bukan hitungan hari. Anggap saja anakmu pun anakku juga. Aku harap dia suka dengan hadiah pemberian dariku." Thyon pamitan karena dia harus duduk di kursi yang sudah disediakan untuknya. Chaldan memang memiliki tempat istimewa dekat dengan jajaran dosen dan rektor. Acara wisuda berlangsung dengan formal. Satu per satu mahasiswa dipanggil ke atas panggung. Orang pertama yang dipanggil Adrasha. Saat dia berjalan naik, semua orang bertepuk tangan. "Aku dengar dia dapat beasiswa ke Cambridge," ungkap Narvi. "Hubungannya sama aku apa? Itu urusan Okna," timpal Harpa dengan nada sewot. Dan hingga giliran Harpa yang maju, mendadak ballroom kampus sepi. Sepertinya mereka semua janjian sebagai protes atas lulusnya Harpa yang dianggap tidak wajar. Namun, Harpa tetap maju. Hanya Narvi, staf kampus dan Chaldan yang memberikan tepukan tangan. "Aku sudah berusaha keras meski hanya diriku sendiri yang tahu," batin Harpa. Selesai rangkaian wisuda, keluarga mengambil foto di luar gedung. Harpa dan Chaldan pun sama. Meski nilai Harpa pas-pasan, dia masih mendapat buket bunga besar dari Papanya. "Dengar! Di London kamu harus lebih rajin lagi. Papa tidak bisa bantu kamu lulus di sana!" omel Chaldan. "Baik, Papa." Harpa peluk erat tubuh Papanya. "Andai kalau Mama di sini, semua akan lebih menyenangkan, kan?" Chaldan tersenyum kecil. "Aku malah kasihan padanya. Apalagi kalau sampai melihat IPKmu. Mungkin dia saja tidak mau datang." "Jangan begitu! Mama pasti datang untukku. Papa justru yang akan banyak alasan. Tadi saja kalau aku tidak menangis di gerbang, Papa tidak akan hadir, kan?" Tangan Chaldan mengusap rambut Harpa dengan lembut. "Semua akan baik-baik saja anakku. Meski kamu manja, aku yakin kamu ini gadis yang hebat." "Harpa!" panggil salah satu teman sekelas. Harpa dekati mahasiswi itu. "Ada titipan. Ini!" Dia memberikan Harpa sebuah undangan berbentuk persegi panjang. "Apa ini?" tanya Harpa bingung. "Loh, kamu enggak tahu? Itu undangan pertunangan Adras dan Okna. Satu lagi milik Narvi. Nanti berikan padanya, ya? Makasih." Dia langsung berlari meninggalkan Harpa di sana dengan penuh tanda tanya. Chaldan melihat Harpa dari kejauhan. Setiap detik perubahan ekspresi di wajah putrinya bisa dia tangkap. Harpa menarik napas. Undangan itu langsung dia masukkan ke dalam tas. "Apa itu?" tanya Chaldan. "Undangan pertunangan putranya Om Thyon. Memang Papa tidak diundang?" tanya Harpa. "Mungkin nanti menyusul. Kemarin kami tidak bertemu karena Thyon sedang mengurus masalah di Surabaya. Kamu bagaimana?" "Bagaimana apanya?" tanya Harpa sewot. "Dia dan kamu pernah bersama." Chaldan sedikit memiringkan wajahnya. "Aku malah lupa itu, Pa. Ayo pulang, aku mau pesan gaun tercantik untuk acara pertunangan mantan kekasihku," ajak Harpa sambil tersenyum. Tiga hari sebelum hari pertunangan Adras mencoba pakaiannya. Dia mematut diri di depan cermin. Berlian memperhatikan putranya. "Kamu bahkan lebih tampan daripada Papamu dulu," puji wanita itu. "Benarkah? Entah kenapa aku ragu. Papa bahkan lebih tinggi dariku sekarang," timpal Adras. "Okna sangat beruntung mendapatkan kamu. Kamu juga beruntung mendapatkan dia," tambah Berlian. "Jangan sedih begitu. Lagipula hari pernikahanku masih lama. Aku dan Okna harus menyelesaikan S2 dulu, kan?" Adras berjalan mendekati ibunya. Dia duduk di samping Berlian sambil memeluk wanita itu. Mereka tengah berada di kamar Adras bersama desainer pakaian. Berlian mengusap bahu putranya. "Pakaian ini sudah cocok. Tinggal menunggu hari pertunanganmu." "Baiklah. Kalau Mama bilang bagus, artinya memang begitu." Adras melepas jas dibantu staf desainer. Setelah berganti dengan kaos, Adras keluar dari kamar mandi. Dia memperhatikan bagaimana pakaiannya akan dikemas untuk dilaundry hingga siap pakai lusa nanti. "Mas, saya pamitan dulu. Nanti saya antarkan kembali pakaiannya, ya?" Izin desainer tadi. "Silakan, Bu. Makasih banyak atas bantuannya." Mereka langsung bersalaman dan desaigner serta staf langsung meninggalkan kamar Adras. "Kamu yakin sudah undang semua temanmu, Dras?" tanya Berlian. "Sudah, Ma. Aku undang semua teman lelakiku. Lagian aku enggak punya teman dekat perempuan. Okna juga katanya hanya mengundang teman terdekatnya," jawab Adras. "Kamu benar mencintai Okna?" Pertanyaan Berlian itu seperti bunyi keras yang terdengar saat Adras melamun. Pria itu sempat kaget. "Tentu saja. Kami bersama sudah beberapa bulan ini. Aku mulai terbiasa dengannya," jawab Adras. "Mama harap kamu tidak berbohong akan hal itu. Jangan memaksakan perasaan jika memang sulit. Ingat Adras, pernikahan bukan permainan. Memang sekarang kalian hanya sebatas tunangan, hanya saja bisa jadi mengikat jika kalian berdua tidak enakan." "Ma, aku pikir pilihan Papa itu yang terbaik untukku," jawab Adras. Tangan Berlian mengusap pipi putranya. "Mama ingin kamu bahagia. Papamu memang keras, dan pikirannya dewasa. Hanya saja apa yang baik menurut dia, belum tentu baik untukmu, Nak." "Kita lihat saja nanti, Ma. Buktinya aku sama Okna selama ini senang saja bersama." Berlian membasahi bibirnya. "Aku seorang Ibu. Meski kamu sembunyikan apa yang ada dalam diri, Mama bisa tahu. Tidak ada ibu yang ingin anaknya tersakiti. Kalau memang kamu keberatan, Mama akan bicara dengan Papamu." Adras menggeleng. "Aku baik-baik saja, Ma."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN