Lagi Manja sama Mama

1600 Kata
Zufar tak balik ke rumahnya melainkan ke tempat Galang. Disana ia langsung mendapat sambutan koor-an dari teman-temannya yang masih berada disana. Aldo dan Iffan. "Weih, yang baru dapat janda. Kenapa itu muka cemberut?" Aldo bersuara langsung untuk menyambut kedatangan Zufar. "Dia nggak jadi janda?" Galang bertanya konyol. "Ditolak, ya?" timpal Iffan dengan nada menjengkelkan. Zufar terdiam, ia mendudukkan diri di sofa samping Galang. Wajahnya terlihat bingung, iya bingung dengan sikap Talitha yang tiba-tiba berubah menjadi seperti sosok yang tak dikenal sebelumnya, ramah. "Gimana, Zuf?" tanya Galang dengan menepuk pundak sobatnya itu. "Entahlah, gue bingung sekarang," ujar Zufar lirih. Lalu ia menatap teman-temannya satu persatu. Dan ungkapan Zufar membuat teman-temannya itu mengerutkan dahi. "Wait." Iffan bertopang dagu menatap Zufar. "Lo bingung karena apa, Bro?" "Yaudin, kalau lo bingung biar si janda itu sama Iffan aja. Pasti wajahnya cantik, anaknya aja cakep begitu, ‘kan?" timbrung Aldo sambil melirik Iffan dengan memainkan alisnya, jenaka. "Disambar mulu, gue ‘kan belum cerita," kata Zufar seraya menegakkan tubuhnya lalu menatap teman-temannya. Dihembuskannya napas dengan pelan. "Tadi itu pas gue pamitan, si Abizard—anaknya minta ikut gue. Karena nggak tega lihat dia mau nangis, gue ajak jalan-jalan dulu sebentar eh pas balik…" Zufar mengingat kejadian beberapa menit lalu. "mamanya langsung ambil paksa Abizard yang lagi tidur, terus masuk rumah tanpa ucapan apapun. Auranya seperti menyimpan sesuatu gitu." terang Zufar. "Bahasa lo, kayak Roy Kiyoshi aja pake aura," cibir Aldo. Dengan seksama teman-temannya itu mendengarkan cerita Zufar yang menurutnya aneh. Kira-kira hal apa yang membuat si janda itu bersikap seperti itu. Sementara di kediaman Talitha, Abizard terbangun dan menangis. Ia mencari keberadaan sosok papa—Zufar lebih tepatnya. Jelas hal tersebut membuat Talitha murka, ia menyesali pertemuannya dengan orang tersebut. Karena mengalihkan perhatian Abizard, selama ini anaknya itu tidak pernah mau mengenal orang lain—seorang laki-laki. "Hei, Abizard. Mama di sini," ujarnya. Abizard masih saja merengek, ia sempat membuka matanya sejenak ternyata yang dilihat hanya mamanya. "Papa." "Nggak ada Papa, Abizard." Talitha pun segera memangku anaknya, memeluknya erat. Batinnya menangis, kenapa harus seperti ini. Baru saja merasa ketenangan, kini sedikit terguncang kenyamanan itu. Karena ia baru saja pindah dari negeri seberang. Terhitung bulan. "Ssst." Abizard kini terisak. "Eh, Abizard mau makan duren, nggak?" kata Talitha mengalihkan perhatiannya. Sembari menggendong, ia pun membawa Abizard keluar kamar. Namun Talitha mengurungkan niatnya, ia beralih untuk keluar rumah—sekadar jalan-jalan di sekitaran kompleks rumahnya. Mengajaknya ke tempat tetangga yang biasa diajak Abizard bermain. "Tumben digendong." itu suara tetangga depan rumah Talitha. Yang sedang menyapu bagian teras rumahnya. "Lagi pinter, Bu," sahut Talitha kalem.  "Sini main sama Ibu, Abi." Bu Rasti panggilannya, mengajak Abizard main ke rumahnya. Bu Rasti ini usianya sudah memasuki kepala empat, lebih bahkan. Dan memiliki seorang cucu laki-laki yang baru saja lahir. Walaupun seperti itu, bu Rasti ini sangat enggan dipanggil nenek atau semacamnya. Talitha menundukkan kepalanya guna menatap Abizard yang masih tampak badmood. "Main ke rumah Ibu, mau?" "Sini, Abi. Ibu punya es krim," bujuknya dan kali ini membuat Abizard bersuara. "Tak oweh emam ais, pilek." dua perempuan beda dekade itu pun terkekeh mendengar penuturannya. Talitha selalu berkata padanya, boleh makan es krim asal jangan sakit setelahnya. Tapi, yang namanya sakit itu tidak bisa dihalangi, ‘kan. Apalagi dilarang kehadirannya. Terdengar aneh memang penuturan Talitha, dan setelah memakan es krim ia sering memberikan minum air putih yang banyak. Sistem kekebalan tubuh Abizard menurun, padahal dulunya ia makan es krim apapun tak masalah. Tapi dengan merk yang ternama sebab branded pasti mengutamakan kualitas, bukan. Sekarang, apapun merk es krimnya tetap saja pada akhirnya flu. Talitha pun melangkahkan kakinya ke rumah bu Rasti. "Di rumah sendiri, Bu?" "Iya, Bapak lagi dinas. Bentar lagi kan mau coblosan Gubernur." Talitha mengangguk saja mendengarnya. Lalu saat hendak menurunkan Abizard dari gendongannya, batita itu malah kembali merengek. Membuat Talitha mengurungkan niatnya. Bu Rasti masuk ke dalam rumahnya sebentar lalu kembali ke teras dengan tangan yang membawa makanan kecil dan memberikannya pada Abizard yang langsung diterimanya. "Ini cah bagus." kemudian mencium pipi Abizard. "Bilang apa?" Abizard diam. "Makasih, Ibu." Abizard masih diam. "Malah melongos." Bu Rasti terkekeh saking gemasnya terhadap Abizard. "Mama, balik." Talitha memutar bola matanya berbarengan menghela napasnya panjang. "Pamit dulu, dong." Abizard enggan dengan perintah mamanya itu, alih-alih mengindahkannya ia malah bersembunyi di d**a mamanya manja. Kumat, deh. "Pamit dulu, Bu." Bu Rasti pun mengangguk memahami, lalu tangannya terulur mengusap kepala Abizard. “Makasih, es krimnya.” *** Sifat manjanya Abizard tak berhenti pada siang tadi saja, malam pun masih berlanjut. Membuat mamanya hanya bisa mengelus d**a, sabar. Batita itu menangis dibalik pintu sambil memanggil—papa. Sementara Talitha yang melihat hal seperti itu tentu jelas merasa gemas, bukannya menenangkan mama muda itu malah merekam tingkah Abizard. Durasinya tak sampai satu menit, Talitha segera mengakhirinya. Karena Abizard menghampirinya kemudian memukul bagian punggung tangan. "Ma-ma." "Apa, Sayang?" Abizard menunjukkan pintu keluar. Ia ingin keluar, tapi keadaan sekarang sudah gelap bahkan pun sepi. Bukan itu masalahnya, hanya saja Abizard tak bisa membuka pintu yang sudah terkunci itu. "Mama takut, ah. Ada momok." menit kemudian Abizard sudah memeluk kaki Talitha. Jelas, karena sering kali mamanya itu menakuti dengan sosok momok—sejenis setan, katanya. Tapi Abizard tak berhenti disitu aksinya, ia menarik kaos panjang yang dikenakan mamanya lalu mengajak ke arah pintu. Dan tepat bersamaan dengan itu pula, pintu terketuk dari luar. Tangisan Abizard mereda dan tergantikan dengan isakan kecil. Tangan Talitha terulur untuk menarik Abizard agar memberi celah pintu yang hendak dibukanya. "Assalamu’alaikum." salamnya riang membuat Talitha sedikit terperanjat karenanya. Namun begitu mengetahui sosok itu ia mendengkus keras. "Wa'alaikumussalam," balas Talitha jutek. Lalu meninggalkannya dan duduk meleseh di ruang tamunya sembari bermain ponsel. Sementara Abizard kini berada digendongan lelaki—sepupu Talitha—Gibran. Sudah lupa akan pencarian papanya. "Pasti minta makan, nih?" dengan kesal Talitha menuduh Gibran tanpa menutupinya. Langsung jleb. "Tau aja." bukannya sakit hati ia malah kekeh lantas melangkahkan kakinya ke dapur. "Masak apa?" "Biasanya gimana? Pake tanya segala!?" jutek Talitha mengikuti Gibran untuk menyegarkan tenggorokannya. Gibran pun segera mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi juga lauk yang dimasak Talitha. Kemudian membawanya ke ruang depan duduk meleseh dan menikmatinya. Sudah biasa Gibran bertandang hanya untuk seperti ini—makan. Tapi hanya sesekali dalam sepekan, dengan niat berkunjung untuk mempererat tali silaturahim juga melihat keadaan sepupunya itu yang jauh dari keluarga. Modusnya, ya... begini makan yang gratis ketimbang makan di restoran. Lebih higenis dan ekonomis, katanya. Spesies jomlo "Dapat undangan dari Satria, nggak?" tanya Talitha dengan berbeda aura. Gibran mengangguk saja karena terlalu menikmati makanannya yang sesekali pun menyuapi Abizard. Satria ini teman SD Talitha dan Gibran, yang dulunya terkenal cengeng tapi otaknya tidak perlu diragukan lagi. Ia selalu mendapat juara di kelasnya—peringkat sepuluh besar, setidaknya. "Mama susu." pinta Abizard seraya mengucek matanya, tanda ia sudah mengantuk. Talitha langsung melesat ke dapur untuk membuatkan s**u. Namun aktivitasnya sedikit terganggu, karena Abizard sudah merengek tak sabar. "Mama," panggil Abizard yang kini ada di belakang mamanya dengan berjarak tiga langkah kaki orang dewasa. "Iya, sebentar." tapi yang dilakukan Abizard terus memanggil mamanya dan begitu selesai Talitha langsung menggendong Abizard. Lalu menidurkannya di kamar. Sebelum itu ia berpesan pada Gibran. "Biasanya gimana, jadi nggak pake ganggu." "Siap!"  *** Hari ini jadwal Talitha dan Gibran bertandang ke acara resepsi Satria. Mereka datang bersama, Talitha sebenarnya sedikit terkejut dengan adanya pernikahan ini. Sebab, usia Satria yang sepantaran dengannya mungkin hanya terpaut satu tahun saja. 25 tahun menikah. Sementara dirinya, ck. Tipe-tipe lelaki yang pemberani, kagum Talitha. Tapi kebahagiaan Talitha tidak berpusat untuk itu, tapi adanya Abizard itulah kebahagiaan Talitha. Semenjak kehadiran Abizarad, hidup Talitha sedikit berubah. Dulunya yang tampak menyedihkan kini pun berganti menjadi suka citanya. Kedua orang tuanya meninggal, ayah dipanggil ke rahmatullah ketika ia baru memasuki bangku SMA. Sementara ibu, meninggal ketika ia sedang menjalani magang. Talitha memiliki saudara perempuan yang hanya terpaut tiga tahun dengannya itu bernama Thalia Zetti. Namun, saudara pun ikut menyusul kedua orang tuanya dan meninggalkan Talitha seorang diri. Tapi sekarang tak lagi karena Abizard yang akan selalu menemaninya. "Mama." suara Abizard memanggilnya membuyarkan lamunannya yang memikirkan tentang kebahagiaan orang lain dengan dirinya. Sama. Sama bahagianya tapi dengan cara yang berbeda. "Abizard mau apa?" belum selesai bertanya Abizard langsung mengulurkan tangannya meminta gendong. Untung saja, ia tadi berpakaian yang simple tentunya jelas sopan dan elegant. "G, ambil makanan, gih! Laper, nih," pinta Talitha setelah itu ia menyengir, karena dengan lancangnya memerintah Gibran—yang lebih tua darinya. Bodo amat dengan kata tua, katanya. Manggil nama Gibran saja tidak memakai embel-embel apapun. "Main suruh aja." "Tega?" Setelahnya Gibran pun melesat untuk mengambil makanan, toh lagian memang Talitha tidak pernah menyuruhnya, kan. Sebab, Talitha selalu mengerjakan sendiri. Mandiri. Selama bisa dikerjakan sendiri, ya lakukan. Prinsipnya. Talitha pun melangkahkan kakinya untuk duduk lalu memangku Abizard. Mengamati setiap sudut ruangan, tampak mewah dan begitu sempurna. Layaknya pernikahan seorang pangeran dan putri. "Mama, inum s**u," kata Abizard dengan memukul pelan dadanya membuat Talitha mengerutkan dahinya, bingung. Karena tak kunjung mendapat tanggapan, Abizard merengek membuat Talitha langsung kewalahan menghadapinya. Tentu saja, sebab apa yang diminta Abizard tak bisa dikabulkannya. "Mama." "Ssst." Talitha meletakkan jari telunjuknya di depan bibir menandakan pada Abizard untuk diam. "Inum s**u, Mama!" Rengekan Abizard membuat para tamu undangan melemparkan tatapan padanya. Talitha semakin kewalahan itu hanya diam bercampur bingung. Akhirnya ia memilih untuk keluar saja. Dengan Abizard yang kini bersimbah air mata. "Hei, anaknya mama ini kenapa, ya?" Dan tampak dari arah jam satu seseorang sedang memperhatikannya. Bahkan sosok itu merasa dirundung rindu selama sewindu. Maka ketika bertemu ia tersenyum dengan lebarnya. "Talitha?" 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN