PROLOG
Diani menatap sekelilingnya. Temaram lampu taman yang tadinya redup mulai terang. Itu artinya, dia sudah dua jam duduk diam disini tanpa melakukan apapun selain melihat orang-orang yang sedang lalu lalang di taman tersebut.
Satu setengah jam yang lalu, Diani kembali beradu mulut dengan bundanya. Alasan percekcokan yang sangat sepele, bunda ingin Diani memperkenalkan seseorang kepadanya untuk dijadikan menantu.
"Cinta itu bakalan tercipta setelah kamu ijab kabul dan sah menjadi suami istri. Bunda nikah sama ayah kamu juga tanpa cinta dulunya, lalu kami saling belajar mencintai. Indah bukan?"
Siapa sih wanita yang tak ingin menikah? Batin Diani meronta.
Gadis itu semakin meragukan kata cinta diumurnya yang tergolong dewasa. Mengucapkan memang perkara mudah, tapi bagaimana dengan menjalaninya? Tentu tak semudah saat diucapkan, begitulah menurut Diani. Pemikiran Bundanya itu juga membuat Diani berpikir.
Menikah itu apa sih?
Apa cinta benar-benar bisa bisa hadir setelah menikah?
Apa perasaan cinta bisa semudah itu semua orang rasakan? Kalau setelah menikah cinta tak kunjung datang, apa pernikahan tak akan karam?
Pertanyaan itu malahan membuat Diani semakin pusing. Diani menghela napas, tanpa sengaja pandangannya melihat pasangan yang duduk bermesraan tak jauh darinya. Jemari mereka saling bertautan dan beberapa kali terkekeh pelan. Terkadang, si pria membenarkan tatanan rambut si wanita yang tertiup oleh angin atau mencubit gemas pipi wanita yang sedang merangkul manja tubuhnya.
Mendadak dia merasa iri dengan pasangan tersebut. Karena sampai saat ini Diani belum merasakan cinta, bahkan belum menemukan lelaki yang benar-benar disukainya.
Diani diam-diam mengerucutkan bibir, sambil menghela napas pasrah. Dia hanya bisa berharap suatu saat dia akan seperti itu, bisa merasakan indahnya kasmaran.
Kapan aku akan bertemu dengan pasanganku? batin Diani lirih.
~
"Dari mana aja sih?!"
Alaric menyambut Diani di lobby kantornya. Dengan dahi yang mengkerut dan tangan yang bersedekap di d**a, Alaric masih menunggu jawaban Diani yang masih bungkam dan memilih berlalu dari hadapan Alaric.
"Ada deh, enggak semua urusan gue lo harus tau kan, Ric?" Diani tersenyum simpul, meninggalkan Alaric yang terdiam menatap punggung gadis itu semakin menjauh.
Jawaban Diani membuat Alaric kesal tapi, perkataan gadis itu ada benarnya. Saat ini, jam kerja mereka sebenarnya sudah habis. Tapi, kerja di Wedding organizer tidak mengenal waktu. Apalagi tim khusus seperti mereka yang project-nya lebih banyak.
Memang, Alaric tak harus tau semua yang dilakukan oleh Diani. Apalagi beberapa hari ini sikap Diani berubah menjadi lebih pendiam. Alaric benci fakta bahwa dia tak tau apa yang membuat sahabatnya itu berubah.
Alaric tak bisa diam saja karena saat tim WO-nya sedang rapat. Dia butuh Diani—yang menjabat sebagai Assistant Project Manager—karena dialah yang lebih tahu konsep yang ingin dipakai pada project baru.
Alaric menghela napas sebal lalu mengikuti Diani ke ruang rapat. Di dalam sudah ada kerabat lainnya yang sore itu merelakan waktunya untuk lembur.
"Duh, Diani kemana aja sih lo?" Gadis yang sedang menggambar beberapa desain baju pengantin di sketchbook, Lulla, melirik Diani sambil menghela napas lega.
Dia menggelung rambut panjangnya yang tergerai dan tersenyum, membuat lekukan di pinggir bibir tercetak dan mempermanis dirinya.
"Tau nih, gue kan ada janji sama Bu Ibeth, langganan catering."
Darin menimpali, "Kalau bukan Bu Ibeth sendiri yang nanganin, gue gak percayaan sih. Lagian, gue udah janji dari kemarin lusa." Gadis berkerudung itu mengerucutkan bibirnya tanda ia sedang kesal. Berulang kali dia melirik jam merah jambu yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Darin paling tidak suka keterlambatan, baik pada dirinya ataupun terhadap orang lain.
"Maaf banget, gue tadi ada sedikit masalah," dusta Diani yang akhirnya dimengerti oleh teman-teman yang lainnya, walaupun wajah mereka masih menampakkan sisa-sisa kekesalan yang tercetak jelas.
"Emang masalah apa sih sampai-sampai lo gak angkat telpon lo?" Rama nyeletuk, yang membuatnya di hadiahi tatapan Lo-kepo-banget-sih! dari Darin yang duduk tepat di depannya. Rama menjulurkan lidahnya, meledek Darin dan membuat gadis itu semakin keki dibuatnya.
Diani menghela napas, rasanya dia muak dengan pertanyaan yang membuat kepalanya semakin pusing. Lagipula, Diani baru kali ini keluar sebelum rapat. Dia merasa harus merenung dan menghirup udara segar ketika menghadapi masalah yang bergulat dengan pikiran. Memang, ini tidak terlalu penting tapi pertanyaan Bundanya tadi cukup membuat isi kepala Diani dihantui pertanyaan itu.
"Kamu kapan nikah?"
"Kapan kamu bawa calon kamu ke rumah?"
"Kalau tidak ada kejelasan, Bunda mau ngenalin kamu sama anak temen Bunda."
"Ya udah Di, gak usah didengarin si Rama. Kita ngerti kok lo lagi ada masalah. Mendingan bahas kerjaan kita aja yuk, gimana?" Sendy, pria dengan rambut poni yang mirip sekali dengan tokoh Sasuke di film animasi Naruto itu tersenyum, membuat Diani tak ragu menyimpulkan seulas senyuman di wajah lonjongnya yang terlihat lelah.
"Oke, kita akan mulai Rapat." Alaric yang sedari tadi memperhatikan Diani kini tak sabar untuk menyelesaikan rapat ini. Segudang pertanyaan berputar acak dikepala Alaric saat ini.
Setelah ini, gue akan menginterogasi Diani dengan pertanyaan dan gue nggak mau tau, Diani harus jawab! batin Alaric.
~