56

3009 Kata
Sepanjang perjalanan pulang Eza benar-benar tidak berhenti tersenyum, tangan kirinya terus menggenggam tangan kanan Alya. Mereka berdua kini sudah sampai di depan rumah Irgi, Alya tampak melihat jam di pergelangan tangannya, jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, Irgi pasti sudah pulang, pikir Alya. "Kita masih bisa pergi," ajak Eza. "Gak mungkin Za, tante pasti khawatir." "Kalo gitu kamu telfon tante kamu." "Gak perlu Za, aku gak mau tante khawatir." Eza tampak belum mau menyerah. "Gimana kalo kamu tinggal sama aku, kita kembali ke rumah kita." Ajak Eza tiba-tiba. "Rumah kita?" "Iya rumah kita." Alya tampak berpikir sebentar. "Maksud kamu apartemen?" "Dy, kamu inget apartemen kita?" "Bukan," Alya menggeleng sebentar. "Tadi pagi Irgi ngajak aku ke apartemen itu. Banyak banget foto kita, maksud aku, foto aku sama kamu." Alya membenarkan ucapannya. "Iya, karena itu rumah kita." Eza mengelus pipi Alya pelan. * * * Mobil Irgi hampir sampai di pelataran rumahnya, mungkin hanya tinggal jarak seratus meter lagi. Mata Irgi menatap ke arah mobil yang tidak asing lagi bagi Irgi. Ya, Irgi melihat mobil Eza berhenti tak jauh dari pelataran rumahnya juga hanya saja posisinya berlawanan arah. Irgi menghentikan mobilnya dan tak langsung masuk ke rumahnya. Irgi hendak menelfon Alya tapi ternyata Alya lebih dulu menghubunginya. "H-halo ..." Kamu masih di rumah sakit? Irgi tidak langsung menjawab, dari mobilnya Irgi bisa melihat Alya ada di dalam mobil Eza. Gi? "A ... belum, Te. Kenapa?" Irgi berbohong. Aku gak pulang malam ini. Irgi menghela nafasnya, ia tidak akan bertanya ataupun melarang Alya, mungkin sudah saatnya Irgi perlahan melepaskan Alya. "Hmm ..." Irgi mengangguk, "iya, nanti aku pamitin sama Mama." Makasih. Irgi mendengar suara sambungan telfon yang sudah terputus. "Sama-sama Te, sama-sama." Gumam Irgi sembari meremas setir mobilnya. Kenapa hati Irgi terasa sakit saat tahu kalau Alya sudah mulai dekat dan menerima Eza begitu saja, seharusnya Irgi tidak boleh merasakan itu semua. * * * Sesampainya di rumah Irgi tidak melihat mamanya, ruang makan pun tampak sudah gelap, lampu di sana sudah dimatikan. Irgi lalu menaruh tasnya di meja ruang tamu, ia lalu bergegas ke kamar mamanya untuk mengucapkan selamat malam. Begitu Irgi membuka pintu kamar mamanya, ternyata mama Irgi belum tidur, mama Irgi sedang berdiri di depan jendela, matanya menatap ke arah luar. "Ma ..." Irgi mencoba memanggil mamanya, Irgi berharap mamanya tidak melihat mobil Eza di luar, tadi. "Akhirnya Terra pergi juga, mama pikir Terra bakal tepatin janjinya." Gumam mama Irgi. Irgi bisa mendengar nada kekecewaaan dari ucapan mamanya barusan. "Terra bilang dia mau temenin kamu, dia akan selalu ada buat kamu." Irgi menghela nafasnya pelan, ia harus bisa menjelaskan pada mamanya apa yang sebenarnya terjadi. "Ma ... cepat atau lambat, Terra akan ingat semuanya dan kita gak bisa buat nahan dia terus di sini." "Tapi, Gi ..." "Ma, Irgi gak mau kalau Irgi malah bikin Terra merasa terkekang, Irgi mau Terra dapetin kembali hidupnya, Irgi mau Terra bahagia." "Tapi gimana sama kamu?!" Irgi mendekat pada mamanya, ia kemudian memegang kedua tangan mamanya. "Ma, ini satu-satunya cara Irgi buat nebus semua kesalahan Irgi, Irgi yang salah karena Irgi sembunyiin Terra dan malah jadiin Terra sebagai orang lain. Irgi mohon, gimana pun Terra nanti, mama jangan pernah ngerubah sikap mama ke Terra, mama mau janji itu?" Mama Irgi tampak menatap Irgi sebentar, mama Irgi benar-benar tidak tega melihat Irgi. Mama Irgi kemudian mengangguk pada Irgi. Irgi tersenyum lalu memeluk mamanya, "makasih ma," Irgi harus berlapang d**a. Terra harus kembali pada kehidupannya, semuanya tak sama lagi, begitupun Irgi, Irgi harus mulai merubah caranya memperlakukan Terra. * * * Frea masih berada di kediaman Rahardian, ia baru saja selesai bekerja bersama ayah Eza. "Tante, Frea pamit pulang dulu." Mama Eza menaruh majalah yang sedang ia baca di meja ruang tamu, "makan dulu, baru kamu pulang." Meski dengan nada sinis namun Frea tersenyum mendengarnya. "Frea rasa Frea harus segera pulang, Frea gak mau Eza ngerasa keganggu dengan keberadaan Frea di sini." Mama Eza tampak tertarik dengan jawaban Frea, "memangnya kenapa?" Frea kembali tersenyum, setidaknya dengan cara seperti ini Frea bisa mendekati calon mertuanya itu. "Frea sama Eza lagi nyoba buat gak ketemu dulu, Frea kasih waktu Eza buat berfikir dulu." "Berfikir buat mengakhiri hubungannya sama elo?" Rissa memang tahu cara merusak suasana, dia datang di waktu yang tepat. "Ikut gue, ada yang mau gue obrolin sama elo." Rissa menatap Frea sombong, ia melipat kedua tangannya di depan d**a. "Kalo ada yang mau kamu omongin, aku rasa kita bisa omongin di sini." Frea menatap ke arah mama Eza. "Kalo gitu mama mau ke ruangan papa dulu," entah memang sudah di rencanakan atau bagaimana, Mama Eza segera saja meninggalkan Frea dan Rissa di ruang tamu. Kini di ruang tamu, hanya ada Rissa dan Frea, Frea duduk berhadapan dengan Rissa. "Apa yang mau kamu bicarakan?" "Gue gak mau basa-basi lagi Fre, elo juga pasti tahu gimana situasi sekarang. Alya udah mulai inget semuanya, bahkan sekarang gue yakin perasaan Eza ke Alya lebih besar dari sebelum kejadian ini. Elo tahu kan kalo sekarang Eza ngejar-ngejar Alya lagi? Gue udah bilang ke elo, elo gak akan bisa jadi kaya Alya, elo gak akan bisa gantiin posisi Alya di hati Eza." "Langsung ke intinya Sa," Jawab Frea. "Intinya gue gak mau kalo sampe ada kejadian kaya di rumah sakit kemarin terulang lagi." Frea masih terdiam, mendengarkan dengan seksama. "Elo pasti tahu kan maksud dari pembicaraan gue apa?" "Kenapa kamu harus lakuin ini Sa?" Frea terdengar lebih tenang kali ini. "Karena gue mau sodara kembar gue bahagia. Ok, kali ini gue gak akan berpihak sama siapapun, gue bakal memposisikan diri gue sebagai seorang adik, seorang adik yang mau kakaknya bahagia." "Dan seharusnya kamu dukung hubungan aku sama Eza, Sa. Kalo aku sama Eza nikah, kami akan jadi keluarga yang utuh, aku bisa kasih keturunan buat Eza, darah daging Eza, Sa. Itu kan yang mama kamu inginkan? Bahkan papa kamu sekalipun." Rissa menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Frea, "ini bukan persoalan keturunan Fre, tapi apa kamu bisa hidup dengan orang yang bahkan sedikitpun gak bisa kasih kamu rasa cinta? Elo nahan seseorang cuma karena elo suka sama dia, karena elo mau dia selalu ada buat elo tanpa bisa merasakan kehangatan, itu cuma bakal buat hati elo sakit. Dan suatu saat elo bakal teriak kesakitan, Fre. Itulah sebabnya, cinta bertepuk sebelah tangan menyakitkan. Karena cinta kita, kebahagian kita itu malah jadi sumber kesakitan buat orang lain. Lepasin Eza Fre, biarin dia pergi." "Aku punya satu penyesalan, penyesalan yang sangat besar karena udah jatuh cinta sama Eza. Seharusnya dari dulu kami berdua udah nikah." Ucap Frea. "Fre," "Tapi maaf, Sa. Aku rasa aku gak akan pernah bisa buat lepasin Eza, aku gak akan biarin ini semua terjadi, aku gak akan biarin semua ini kembali seperti tiga tahun yang lalu. Aku akan tetap menikah dengan Eza, setidaknya dengan status pernikahan yang sah, aku bisa memohon Eza untuk tetap tinggal bersama aku, untuk tetap di sisi aku." Rissa terdiam, dia tidak pernah tahu kalau cinta akan membuat orang menjadi terobsesi seperti ini. Ya, mungkin dulu dirinya juga seperti ini saat mencintai Eka, dan kini Rissa seolah harus menghadapi dirinya yang dulu, ketika keinginannya yang begitu besar untuk memiliki Eka. * * * Alya dan Eza sudah sampai di apartemen yang dulu mereka tempati, meski penuh debu tapi Eza memaksa untuk pergi ke sana. "Jadi, kita akan tidur di mana?" Alya bertanya penuh keheranan pada Eza. "Di sini," Eza menepuk ranjang yang ada di kamar utama apartemen itu. Mereka berdua mulai membersihkan kamar yang akan mereka gunakan untuk tidur, sebelum ke apartemen Eza meminta pada supirnya untuk dibawakan selimut dan sprei baru ke apartemen, sehingga mereka bisa mengganti sprei yang kotor. Pukul setengah satu pagi mereka baru selesai membersihkannya, karena Eza belum mandi maka Alya menyuruh Eza untuk mandi terlebih dahulu. Alya menaruh celana dan kaos untuk Eza gunakan tidur di atas ranjang, setelah itu Alya naik ke ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana. Keluar dari kamar mandi dengan hanya handuk yang menutupi setengah badan bagian bawahnya, Eza tersenyum begitu hangat. Ingatan Eza melayang saat dulu mereka masih tinggal bersama, Alya selalu menyiapkan pakaian ganti untuknya. "Apa kamu laper?" Tanya Aldy tiba-tiba yang membuyarkan lamunan Eza. "Kenapa? Kamu laper?" Eza malah balik bertanya. "Enggak, aku ngantuk." "Tidur gih, aku ganti baju dulu abis itu aku nyusul." Alya tidak lagi menjawab, ia menarik selimut lalu mematikan lampu meja yang ada di samping ranjangnya. Namun matanya menatap sesuatu, sebuah foto. Foto dirinya, Eza dan seorang anak laki-laki kecil. "Ke mana dia sekarang?" Dengan mata yang masih menatap foto itu Alya bertanya pada Eza. "Maksud kamu?" "Dia," Alya menunjukkan foto itu pada Eza. "Anak kecil ini." Eza tampak ragu menjawabnya, tapi kemudian ia tersenyum dan menghampiri Alya. "Dia ada di tempat yang bahagia. Di tempat di mana dia bisa mendapatkan semuanya." Ya, seperti kata Alya dulu, Eza masih ingat. Raihan sudah ada di surga, Raihan sudah beristirahat dengan tenang. "Kamu mau ketemu dia?" Eza kini sudah duduk di samping Alya. Mereka berdua duduk saling berhadapan. "Kalo kamu mau ketemu dia, aku bisa ajak kamu." Eza kini mencoba menggenggam jemari Alya namun Alya segera menarik tangannya. Irgi tampak kaget dengan sikap Alya barusan. "Maaf," Alya segera meminta maaf pada Eza. Eza tersenyum pada Alya, "gak apa, pelan-pelan aja." "Aku bingung, aku masih ngerasa asing sama semua ini. Aku belum bisa beradaptasi dengan keadaan. Aneh rasanya." "Apa kamu ngerasa canggung? Apa menurut kamu aku ini masih orang asing?" Alya mengangguk, mengiyakan pertanyaan Eza. "Kalau begitu kita harus cari cara," "Cara? Buat apa?" "Buat nyingkirin rasa aneh, rasa asing dan apapun itu yang kamu rasain sekarang." "Caranya?" Eza menarik Alya ke dalam pelukannya, ia memeluk Alya dengan sangat erat. "Apa yang kamu rasain?" Jujur saja, Alya merasa kaget dengan pelukan yang diberikan oleh Eza, namun ia mencoba menikmatinya. "Entahlah, aku gak kenal kamu sebelum ini, aku takut ..." Alya tidak meneruskan ucapannya, ia terdiam untuk sesaat, membuat Eza melepaskan pelukannya, ia kini menatap Alya. "Mungkin seharusnya aku benci sama kamu, Za. Aku gak tahu, aku takut." Mata Eza mulai berkaca, ia menggenggam kedua tangan Alya. "Aku gak tahu apa yang mesti aku lakuin kalo kamu benci sama aku, aku juga takut kalo nanti kamu akan benar-benar benci sama aku di saat kamu ingat semuanya." "Kamu mau kan Za selalu ada buat aku? Bantu aku buat ingat semuanya, aku harap kamu mau bersabar dengan semua perlakuan aku ke kamu." "Aku janji, kali ini aku gak akan merasa capek, aku gak akan marah, aku akan selalu bersabar buat kamu. Apapun yang terjadi nanti aku akan selalu ada di sisi kamu, aku gak akan ninggalin kamu lagi." Eza berjanji pada dirinya juga untuk tidak meninggalkan Alya lagi. "Makasih, Za." Mereka berdua kembali berpelukkan, Eza kali ini tidak akan melepaskan Alya begitu saja. Ia akan bertahan bagaimanapun keadaannya nanti, Eza berjanji akan tetap bersama Alya, selalu bersama Alya. Dia tidak akan lari lagi menjauhi Alya. * * * "Jadi kamu udah ketemu Alya?" Tanya Eka pada Almira. Almira menggeleng, ia baru saja menidurkan Kavin di gendongannya. "Belum, Irgi bilang nunggu waktu yang tepat." "Kenapa dia bilang gitu?" "Dia dokter, dia pasti tahu apa dampak buruknya kalau tiba-tiba saja kita semua muncul dan mengaku kalau kita ini keluarga besar Kak Alya, kamu pikir otaknya tidak akan terganggu?" "Tapi kamu udah kasih tahu Nda kamu?" "Belum juga, tolong tatain bantal Kavin Ka," Eka belum menanggapi jawaban Almira, ia segera menata bantal milik Kavin sesuai permintaan suami kesayangannya itu. "Udah," setelah bantal sudah siap, Almira segera menidurkan Kavin di box bayi. "Kenapa kamu belum kasih tahu Nda? Ya Tuhan, kenapa semuanya harus ditunda-tunda?" "Apa sih Ka, asal kamu tahu ya, sekarang Kak Alya lagi deket sama Eza, aku gak tahu ini salah atau bener, tapi kalau kita buka semuanya sekarang, siapa sebenernya Eza dan apa yang terjadi pada mereka sebelum ini, apa kamu pikir keadaannya akan lebih baik dari tiga tahun yang lalu? Ngembaliin semua ingatan Kak Alya itu gak mudah, apa lagi ingatan itu semuanya tentang kesakitan, kesakitan yang Kak Alya pendam sendiri." Almira menghela nafas sebentar, "Irgi bilang selama tiga tahun ini, Kak Alya selalu bermimpi yang sama, mimpi buruk. Dia bilang Kak Alya selalu nangis di mimpinya, dia terus meminta ampun, meminta maaf. Apa kamu pikir itu semua bukan karena kebencian dan sakit hatinya sama Eza? Bukan juga karena kesikatannya atas kejadian tiga tahun yang lalu?" Eka terdiam, ia tidak menyangka jika Almira bisa sedewasa ini. "Aku mau mas Alya hidup bahagia, aku mau dia hidup sebagai Alya yang baru. Aku gak mau dia ingat semua masa lalunya, masa lalu yang memenjarakan Kak Alya dalam kesakitan. Cukup dia hidup dengan ketidak beruntungan, dari dulu dia selalu hidup dalam kesusahan, dia hidup tanpa Nda dan papa, sampai dia harus koma karena ulah Rissa dan lagi kecelakaan pesawat yang hampir merenggut nyawanya." Almira perlahan mengusap pipinya, ia tidak tega jika harus mengingat semua itu. Eka yangbmelihat lelaki kesayangannya menangis segera menenangkannya, Eka memeluk Almira dengan erat. "Aku mau Kak Alya bahagia, biarkan masa lalunya terkubur, biarkan dia ingat Eza sebagai kekasihnya bukan sebagai orang yang menyakitinya." "Tuhan pasti kasih jalan buat Alya, ada hikmah dari semua ini, Alya pasti akan bahagia." Eka mengecup kepala Alby penuh rasa sayang. Tangannya tak henti-hentinya mengelus punggung Almira, ia mencoba menenangkan Almira. * * * Cahaya mentari menyilaukan pandangan Alya, perlahan ia membuka matanya. Ia mengerjapakan matanya berkali lalu memandangi langit-langit. Ingatannya berputar pada saat Eza menemuinya di restoran waktu itu, melarang Alya untuk memakan udang. Saat Eza datang ke panti asuhan dan terus mengganggu Alya, saat di rumah sakit, saat Alya setengah sadar mendengar percakapan Irgi dan Eza. Dan yang terakhir saat Eza dan dirinya mendengarkan musik di taman rumah sakit. Alya tersenyum, ia merasa aneh namun karena itu semua ia merasa bahwa saat ini dia sedang jatuh cinta pada Eza. Alya kini merubah posisinya, ia memiringkan tubuhnya dan menatap Eza yang masih terlelap tidur di sampingnya. Alya terus menatap Eza tanpa mengucapkan satu hal pun. Alya benar-benar merasa tidak asing dengan wajah Eza. "Mau sampe kapan kamu lihatin aku kaya gitu?" Tanpa membuka mata Eza bergumam, bertanya pada Alya. Alya menjadi salah tingkah, ia kemudian kembali merebahkan tubuhnya dan menutupi wajahnya dengan selimut. "Mandi gih, kamu kan harus kerja." Suara Alya terdengar dari balik selimut. Wajah Alya sekarang benar-benar terasa panas, astaga jadi Eza sudah bangun, pikir Alya. Alya tidak menyangka tiba-tiba tangan Eza memeluk erat pinggangnya. "Sepertinya hari ini aku mau bolos kerja, aku mau jalan-jalan sama kamu, ke manapun yang kamu mau." "Gak, hari ini aku mesti pulang. Aku gak mau tante khawatir." Eza melepaskan tangannya dari pinggang Alya, "mulai sekarang kita tinggal di sini, kita berdua. Jadi kamu gak perlu lagi pulang ke rumah si penjaga kamu itu." "Penjaga?" "Sekarang aku antar kamu ambil semua barang-barang kamu ke rumah dia, setelah itu kita tinggal di sini." Alya memiringkan tubuhnya, ia membuka selimut yang menutupi wajahnya. "Gak semudah itu." "Emangnya kenapa?" "Aku gak mau kalau sampai nyakitin perasaan mama Irgi, butuh waktu Za." Eza tampak kecewa namun ia mencoba menahannya. Ya, Eza kali ini tidak akan memaksakan kehendaknya, ia akan mengikuti kemauan Alya. * * * Pukul sepuluh pagi Eza sudah mengantarkan Alya pulang ke rumah Irgi. Di rumah Irgi hanya ada mamanya, namun Eza tidak ikut masuk ke rumah Irgi. "Tante gak perlu nyiapin ini semua buat Terra," Alya sedang duduk di meja makan sembari memakan sarapannya. "Alya, nama kamu Alya." Mama Irgi mencoba menegaskan, saat ini mama Irgi sedang membaca berkas-berkas tentang data Alya. "Kamu udah ketemu keluarga kamu?" Tangan Alya berhenti menyendokkan nasi goreng di piring saat mendengar pertanyaan mama Irgi. Alya menggeleng, "belum." Mama Irgi tampak tidak percaya, ia meletakkan kertas di tangannya dan menatap Alya. "Kamu harus pergi ke rumah orang tua kamu." Alya terdiam mendengar perkataan mama Irgi. "Bukan tante ngusir kamu, tapi keluarga kamu pasti akan bahagia kalau tahu anaknya selama ini belum meninggal." "Terra ragu tante," "Ragu?" "Gimana kalo dengan kemunculan Terra yang tiba-tiba ini membuat mereka terkejut? Bisa saja ada yang merasa dirugikan karena kemunculan Terra." Mama Irgi menarik tangan Alya, ia lalu menggenggamnya, "hadiah terbesar buat orang tua kamu kalau mereka tahu anaknya masih hidup." Mama Irgi tersenyum hangat pada Alya. "Te, jangan berusaha terlalu keras buat ingat semuanya, kamu harus membiasakan diri mulai sekarang. Tante gak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi tante harap kamu gak akan pernah menyerah. Kamu hadapi apa yang akan terjadi nanti." Air mata Alya menetes begitu saja, ia tidak pernah menyangka jika mama Irgi akan tetap mendukung dan menyayanginya meski saat ini dirinya sudah mulai mengingat semuanya. Rasanya Alya tidak punya malu jika pergi begitu saja meninggalkan rumah Irgi. * * * "Hari ini elo ada rapat sama investor dari luar negri, ini penting Za, elo harus dapetin itu." Ujar Rissa. "Jam berapa?" "Jam dua siang," Esa hendak keluar dari ruangan Eza namun ia mengurungkan niatnya. "Za," "Ya?" Eza mendongak menatap Rissa. "Masih ada lagi?" "Apa yang mau elo lakuin ke Frea?" Ragu tapi Rissa harus tetap bertanya pada Eza. "Gue udah punya rencana jadi elo gak perlu khawatir." Rissa hanya mengangguk lalu pergi meninggalkan ruangan Eza. Rissa hanya berharap cara yang diambil Eza tidak akan membuat Frea untuk mempunyai niat jahat pada Alya. * * * Alya menatap kartu nama miliknya, ia sedang berdiri di sebuah halte, di sebrang jalan ada sebuah gedung menjulang tinggi. Gedung itu adalah gedung yang alamatnya sesuai dengan yang tertera di kartu nama Alya. Ya, Alya akan mencoba mencari tahu tentang dirinya di gedung ini. Alya mencari kontak Eza sebentar di ponselnya. "Halo," Iya, Al? "Apa aku ganggu kamu?" Enggak, kamu mau ketemu aku? "E - enggak, aku cuma mau kasih tahu kalo aku lagi ada di sekitar kantor kamu." Dengan nada penuh ragu Alya berbicara pada Eza. Kamu di mana? Biar aku susulin kamu, kamu sendirian? "Iya, aku ada di halte, di sebrang jalan di depan kantor kamu," Kamu tunggu aku, aku turun sekarang. Jangan ke mana-mana. Setelah itu Alya mematikan ponselnya, ia hendak menyimpan ponselnya di saku namun ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan masuk, betapa kagetnya Alya saat membuka pesan itu. Rasa kecewa tiba-tiba menyeruak begitu saja di hati Alya. Tatapan matanya penuh amarah, pesan dari Frea benar-benar membuatnya marah. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN