55

2391 Kata
Satu anak tangga lagi, yang perlu Irgi injak untuk bisa lebih mendekat ke arah Terra dan Frea yang saat ini sedang berbicara di balkon. Irgi bisa saja saat itu menarik Frea untuk menjauh dari Terra tapi tidak Irgi lakukan, Irgi kini menatap ke arah Terra, Terra pun sama menatap Irgi. Terra menggelengkan kepalanya memberi tanda pada Irgi untuk tidak menghampirinya. Irgi hanya bisa menahan amarahnya saat melihat Frea berkali menampar wajah Terra, kenapa Frea harus melakukan itu pada Terra, saat ini yang seharusnya Frea salahkan adalah Eza bukan Terra. Eza yang tidak bisa memposisikan dirinya, bukankah seharusnya Eza saat ini tidak lagi mencampuri urusan Terra sekalipun benar Eza adalah mantan kekasih Terra karena posisi Eza saat ini bukanlah lagi pasangan Terra tetapi calon suami dari Frea, Irgi benar-benar tidak mengerti dengan pemikiran Frea dan Eza. * * * Frea baru saja pulang, untungnya mama Irgi tidak melihat kejadian di balkon tadi, jika sampai mama Irgi melihat maka Irgi tidak tahu harus berbicara apa pada mamanya. Bagaimana jika mama Irgi tahu kalau lelaki yang Frea rebut kekasihnya adalah kekasih Terra. Apa mungkin mamanya akan diam saja? Irgi rasa tidak. Setelah mengantar Frea sampai ke gerbang luar, Irgi segera masuk ke dalam rumah, Irgi tak berucap sepatah katapun pada Frea, ia benar-benar marah pada Frea, sebuta itukah Frea hanya karena cinta? Irgi lalu kembali menuju balkon, Irgi hendak menemui Terra menanyakan bagaimana keadaannya. Tapi ternyata Terra sudah tidak ada di sana. Irgi pun berbalik arah, ia berjalan menuju kamar Terra. Tok tok tok ... Irgi segera mengetuk pintu, ia yakin Terra belum tidur. Irgi kemudian membuka pintu kamar Terra sedikit, melihat ke arah dalam dan mendapati Terra yang masih duduk di kursi rodanya. "Boleh aku masuk?" Terra hanya mengangguk. Irgi lalu masuk, ia menghampiri Terra kemudian duduk di tepian ranjang Terra. Posisi mereka saat ini adalah saling herhadapan. "Tante tahu?" Tanya Terra tiba-tiba. Irgi hanya menggeleng pelan pada Terra. "Syukurlah." Terra merasa lega saat tahu bahwa mama Irgi tidak mengetahui kejadian tadi. Tiba-tiba tangan Irgi terulur pada pipi Terra. Irgi hendak mengelus bagian pipi Terra yang di tampar oleh Frea. Terra yang mengetahui hal itu sedikit menghindari tangan Irgi. "Maaf," ucap Terra lirih. Mendengar Terra mengatakan itu, Irgi segera menarik tangannya sebelum ia sempat memegang pipi Terra. Bukan apa-apa, Terra tidak mau jika ia dianggap memberikan harapan palsu pada Irgi. Terra tidak ingin memperkeruh keadaan dengan hanya begitu saja menerima setiap kebaikkan yang Irgi berikan. "Gak apa-apa, aku paham." Irgi tersenyum namun rasa hatinya seolah tercubit dengan penolakan kecil yang dilakukan oleh Terra tadi. "Ya udah, sekarang kamu istirahat, besok kita ada janji sama seseorang." Irgi beranjak dari duduknya, ia tidak mungkin berlama-lama di kamar Terra sedangkan ia tahu Terra tidak menginginkannya. "Seseorang?" Irgi menoleh lagi saat mendengar pertanyaan Terra, "iya," "Siapa?" "Orang yang mungkin bisa bantu kamu, buat cari tahu siapa kamu sebenarnya." * * * Pagi-pagi sekali Eza sudah tersenyum di ruangannya, ia sama sekali tidak merasakan beban soal pekerjannya. "Kenapa elo kelihatan seneng banget?" Rissa meletakkan setumpuk map di meja kerja Eza. "Terimakasih." Eza menyingkirkan map yang baru saja Rissa letakkan di mejanya. Senyum yang merekah terukir di bibir Eza. "Hari ini gue mau ngajak Alya makan siang." "Lo gila ya, Za. Lo tahu sekarang perusahaan lagi kacau banget, belum lagi soal audit perusahaan, dan elo mau makan siang di saat kaya gini?" "Sa, ini kesempatan gue, sebelum dia inget sama semua ingatannya, paling gak gue bisa lakuin hal yang bisa buat dia bahagia." Esa tidak tahu harus menjawabi apa lagi ucapan Eza, mungkin itu juga penting karena secepat Alya mengingat semuanya maka Rissa yakin papanya akan menyuruh Alya untuk kembali ke perusahaannya, tentu saja kembali ke posisinya. "Jadi, gue mohon semua schedule gue siang ini elo cancel." * * * Irgi dan Terra sudah sampai di sebuah gedung apartemen dengan dua tower yang saling bersanding, mereka berdua sudah berada di dalam lift, Irgi menekan tombol lima, yang artinya lift itu akan naik ke lantai lima. "Kita mau ke rumah siapa Gi?" Terra berjalan pelan di samping Irgi, ia kini sudah bisa berjalan tanpa tongkat dan tidak lagi menggunakan kursi roda. Ting! Pintu lift terbuka, tepat di depan mereka terpajang angka lima yang mungkin terbuat dari baja ringan kemudian di cat dengan warna keemasan dan di tempelkan di tembok di lantai itu. "Ayo," "Kita mau ke rumah siapa Gi?" Masih dengan pertanyaan yang sama Terra bertanya pada Irgi. Irgi hanya diam saja, mereka kini berhenti di depan sebuah pintu dengan tulisan 5-D ya, unit di apartemen itu. "Ini," Irgi menyerahkan sebuah kunci pada Terra. Kunci apartemen itu di berikan oleh Almira, Almira bilang jika apartemen itu adalah apartemen yang dulu Eza dan Alya tempati, mungkin dengan berada di sana Alya bisa mengingat sebagian memorinya. Irgi sengaja tidak langsung membawa Terra bertemu dengan Almira, Irgi tidak ingin jika terjadi apa-apa dengan Terra dan Almira memahami itu. "Ini rumah siapa Gi?" Kini nada suara Terra terdengar sedikit kesal. "Masuk, aku nunggu kamu di sini." Terra tampak bingung tapi ia segera membuka pintu itu dengan kunci yang Irgi berikan. Begitu pintu terbuka, Terra menatap ke seluruh isi ruangan, cat dengan warna hitam dan abu-abu tampak menghiasi tembok di ruangan itu, meja makan berbentuk bulat yang ada di tengah-tengah dapur kecil dengan warna hitam itu tampak berdebu, tiga kursi plastik berwarna abu-abu itu di letakkan melingkari meja makan itu. Terra berjalan ke arah pintu yang mengarah ke balkon, ia membuka tirai putih tipis yang menutupi pintu kaca itu. Kini cahaya dari luar sudah bisa masuk ke ruangan itu. Mata Terra menangkap sesuatu, sebuah pajangan yang ada di rak di bawah tv besar yang menempel pada tembok. Sebuah foto yang ada di bingkai berwarna cokelat muda. Dua manusia yang sedang tersenyum lebar, ya, betapa terkejut Terra saat itu, dua manusia itu adalah dirinya dan Eza, perasaan Terra semakin tidak menentu, perlahan ia menggeser pintu kamar berwarna hitam yang ada tepat di samping pintu kaca tadi. Sebuah kamar dengan cat berwarna biru, di sana ada sebuah lemari kecil, ranjang kecil dan beberapa mainan mobil-mobilan kecil yang tersusun rapih, kini pandangan Terra teralihkan pada sebuah tulisan yang membentuk setengah lingkaran pada tembok kamar itu. RAIHAN RAHARDIAN tulisan itu, nama itu, kenapa rasanya Terra tidak asing dengan nama itu. Terra kini menatap kembali sebuah foto, foto sepasang pasangan muda yang sedang tertawa sembari menggendong seorang anak kecil. Air mata Terra tiba-tiba menetes, entah mengapa kakinya terasa lemas. "Me, Mama and Daddy." Suara Terra terdengar gemetar saat membaca tulisan yang ada di belakang foto itu. "J-j-jadi ..." dengan tangan gemetar Terra berpegangan pada ujung lemari yang ada di kamar itu. Dengan perasaan yang terguncang, Terra meninggalkan kamar itu, ia tidak sanggup lagi untuk masuk ke ruangan yang lain, jadi benar, benar kata Eza kalau dirinya adalah Alya Dini Fahreza. Dengan langkah gontai Terra menghampiri Irgi yang ada di luar, begitu sampai di luar Terra terduduk lemas. Irgi yang melihat Terra hampir jatuh segera menahan tubuh Terra. Irgi membawa Terra keluar dari apartemen itu, kini mereka berdua ada di dalam mobil. Irgi perlahan mulai menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Terra. "Kamu pernah bilang, kalau sekarang kamu hidup seperti sedang mengumpulkan kepingan puzzle yang hilang." Mendengar ucapan Irgi, Terra segera menoleh. "Dan mungkin inilah, sebagian potongan kecil puzzle yang kamu cari. Ini adalah rumah kamu dan Eza." Irgi menghela nafas dalam-dalam. "Ya, nama kamu Alya Dini Fahreza, kamu adalah direktur dari Rahardian Group, perusahaan yang sekarang sedang Eza pimpin dan kamu adalah kekasih Eza." Terra terkejut, ia benar-benar tidak bisa memahami ini semua. "Aku gak tahu kalau kebetulan yang seperti disengaja ini bisa terjadi, aku nyelametin kamu, dari seseorang yang jahat yang saat ini juga, akan menjadi calon suami dari sepupuku sendiri." Irgi meeminta maaf pada Terra karena sudah mencuri hidupnya, menjadikan Terra seseorang yang Irgi inginkan bukan malah mencari tahu siapa Terra sebenarnya. * * * "Jadi gimana rencana pernikahan elo sekarang?" Rissa masih duduk di ruangan Eza. "Elo jangan sampe gantungin perasaan dia gitu aja, Za. Kalo emang elo mau balikan sama Alya, elo harus selesein masalah elo sama Frea, dan setelah itu elo juga harus terima konsekuensi kalau Alys udah inget sama masa lalunya." "Gue udah pikirin itu semua Sa." "Jangan cuma dipikirin, elo harus cepet ambil keputusan. Elo bisa lihat kan sikap Frea ke Alya gimana? Dia bahkan hampir aja patahin kaki Alya, dan sekarang kalo dia tahu elo mau batalin pernikan elo sama dia apa elo fikir dia gak bakal bunuh Alya?" "Sa," "Semua kemungkinan bisa terjadi, gue gak akan khawatir kalo Alya jadi dirinya sendiri tapi masalahnya sekarang Alya masih bingung dengan jati dirinya, belum lagi ditambah dengan si dokter itu, elo pikir si dokter itu bakal relain Alya ke elo gitu aja?" Eza tidak menyangka jika Rissa akan memikirkan masalahnya sampai sejauh ini. "Irgi udah nyerahin semuanya ke gue." "Elo lupa kalo dia itu sepupunya Frea?" Rissa menggelengkan kepalanya tidak percaya pada Eza. "Kenapa semuanya jadi rumit gini? Astaga." * * * "Ini," Irgi menyodorkan amplop kecil berwarna cokelat pada Terra. "Apa ini?" "Kartu identitas, alamat rumah, kartu nama, itu semua milik kamu, mulai sekarang carilah diri kamu Te, siapa kamu sebenarnya dan apa yang terjadi sama kamu sampai kamu kehilangan semua ingatan kamu." Irgi tersenyum meski hatinya menjerit menahan tangis, Irgi juga bilang kalau Terra punya kembaran, namanya Almira Mardiya Fahreza. Irgi juga memberi tahu Terra bahwa ia memiliki dua keponakan yang lucu. Mendengar itu semua Terra hanya tertunduk sedih, air mata itu meluncur begitu saja di wajah Terra. Apa yang akan Terra lakukan sekarang. Bagaimana dia harus menjalani hidupnya. Sebagai siapa dia harus berdiri. Terra benar-benar tidak siap dengan segala kemungkinan yang sudah terjadi di masa lalunya. Masa lalu di antara dirinya, Eza dan juga Frea. Bagaimana kalau ternyata dirinya adalah orang ke tiga di antara Frea dan Eza, mungkin itu alasan kenapa Frea begitu membencinya. * * * Sepanjang perjalanan kembali ke rumah Irgi dan Terra hanya saling terdiam, Terra terus menatap ke arah luar jendela, begitupun Irgi ia memilih untuk tetap fokus menyetir mobilnya. Tiba-tiba ponsel di genggaman Terra berdering, Terra tersadar dari lamunannya. Ia segera menatap layar ponselnya, ia membaca nama Eza yang tertera pada layar. Terra menatap Irgi sebentar sebelum menolak panggilan itu. "Kenapa kamu gak angkat?" Tanya Irgi, sebenarnya Irgi tahu dari siapa telfon itu. "Gak penting." Kemudia ponsel Terra kembali berdering namun Terra kembali menolak panggilan itu. Terra kemudian mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas. Irgi tidak mengatakan apapun lagi. Ia hanya terdiam dan tetap fokus menyetir. Tak lama mereka sudah sampai di rumah Irgi, mereka berdua langsung masuk ke dalam rumah, Irgi hanya hendak berganti pakaian karena ia harus segera kembali ke rumah sakit. "Maaf kalau selama ini aku ngerepotin kamu Gi." Irgi berhenti sejenak ketika ia hendak melangkah ke kamarnya, ia kembali menoleh pada Terra yang masih berdiri di ruang tengah. "Maaf kalau selama ini aku menjadi beban dalam hidup kamu." Irgi tersenyum lalu mendekat ke arah Terra. "Sekarang aku mesti panggil kamu siapa? Terra? Atau Alya?" Terra menatap Irgi saat mendengar pertanyaan Irgi tersebut. "Gi," "Kamu harus cari tahu siapa kamu sebenarnya, jangan hindarin siapapun, maka kamu akan tahu semua jawaban atas pertanyaan kamu selama ini, siapa kamu sebenarnya. Temui Eza, temui keluarga kamu, temui saudara kembar kamu." Terra hanya terdiam tak menjawabi lagi ucapan Irgi, mungkin sudah seharusnya ia mencari tahu, tidak hanya berdiam diri dan menjadi seorang lain, dia harus menjadi dirinya sendiri seburuk apapun dirinya di masa lalu. * * * Eza merasa heran kenapa Terra tidak menjawab telfonnya, apa sesuatu sudah terjadi pada Terra. Eza mulai khawatir. Ia tidak bisa berdiam diri dia harus menemui Terra. Ea putuskan untuk menemui Terra malam ini di rumah Irgi. Pukul setengah enam sore Eza sudah keluar dari kantornya, ia bergegas melajukan mobilnya menuju rumah Irgi, rumah Irgi lumayan jauh dari letak kantor Eza. Butuh waktu hampir satu jam perjalanan untuk sampai di rumah Irgi. Setelah sampai di depan rumah Irgi, Eza segera menghubungi Terra. Halo Kali ini telfon Eza tak lagi ditolak, Terra mengangkatnya. "Kamu gak kenapa-kenapa kan Al?" Iya, maaf tadi aku sibuk. "Apa hari ini kamu mulai terapi buat kaki kamu?" Iya, jadi aku gak bisa angkat telfon kamu. Za? Kenapa Eza merasa berbeda saat Terra memanggilnya kali ini, seolah caranya memenggil sudah seperti Alya yang dulu, penuh dengan kedinginan. "Iya," Bisa kita ketemu? Ada yang mau aku obrolin sama kamu. Ada apa ini, pikir Eza. * * * Terra dan Eza kini duduk di sebuah kafe, Eza membawa Terra ke kafe langganan mereka berdua dulu. "Wah ... udah lama banget ya mas Eza sama Non Alya gak ke sini," sapa salah satu pegawai yang ada di kafe itu. Pelayan itu menyajikan secangkir cokelat hangat dan moccalate di hadapan Eza dan Terra. Terra hanya terdiam saat mendengar pelayan itu berceloteh dan memanggilnya dengan nama Alya, apakah dulu dirinya sering kemari bersama Eza. "Ini buat kamu." Secangkir cokelat hangat Eza pindahkan ke hadapan Terra. Terra tidak tahu kenapa Eza memesan cokelat hangat itu. "Kamu gak bisa minum kopi jadi kalo ke sini kamu selalu pesen cokelat hangat, kamu selalu bilang kalo cokelat hangat di sini beda sama di tempat lain, kamu juga-" "Za," panggilan Terra menghentikan ucapan Eza barusan. "Tolong, sekali aja, kamu panggil aku, Alya." Eza menjatuhkan sendok yang ada di sampingnya. Apakah Alya mulai mengingat semuanya . "Mungkin, waktu aku denger suara kamu panggil aku dengan nama itu, sesuatu yang dulu pernah hilang bisa kembali." Eza tak tahan lagi, dengan perasaan yang sesak ia mencoba menyebut nama Alya. "Al ... A-alya." Eza beranjak dari duduknya, ia berlutut di hadapan Alya yang sedang duduk, kemudian memandang Alya, air mata sudah menetes di pipi Eza. "Sayang ..." Alya lalu mengusap air mata Eza, ia memeluk Eza yang sedang berlutut di hadapannya. Mereka berdua berpelukkan, tak peduli dengan suasana kafe malam itu, yang jelas Eza merasa sudah menemukan cintanya kembali dan Alya, Alya sudah tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Dia adalah Alya Dini Fahreza. Kekasih Seorang Eza Rahardian, teman hidup seorang Eza Rahardian . Ia tidak akan takut lagi, yang ia perlukan saat ini adalah mengumpulkan kepingan kenangannya bersama Eza yang mungkin pernah hilang selama tiga tahun ini. "Alya Dini Fahreza itu nama kamu, kamu adalah orang yang selalu ada di hati aku, orang yang selalu sayang sama aku, kalau kamu lupa semua tentang kamu maka kamu hanya perlu tanya aku, karena aku selalu ingat semua tentang kamu. Karena aku adalah satu-satunya orang yang tidak akan pernah lupa siapa kamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN