Kini Wendy dan Lia sudah berada di sebuah cafe yang tak jauh dari supermarket di mana tempat mereka untuk bertemu. Wendy terus memperhatikan Lia yang sedang meminum minumannya dengan sangat anggun. Wendy jadi tau sekarang mengapa dia diselingkuhi dan Alex meninggalkan dirinya begitu saja. Gadis yang duduk di hadapannya ini tentu saja sangat cantik, apalagi Lia ini lumayan aktif di sosial media, mengumbar segala kehidupan mewahnya dan tentu saja kisah 'romansa' nya dengan Alex yang membuat Wendy hanya tertawa ketika melihat semua itu. Kebahagiaan yang Lia dapat sekarang adalah hasil dari merenggut kebahagian Wendy.
"Kamu mau ngomong apa?" kata Wendy langsung pada intinya karena merasa Lia ini terlalu lama untuk membuka percakapan. Rasa takut Wendy sudah berkurang karena di dalam pikirannya dia selalu berkata kalau dia ini bisa lebih keren dari gadis yang duduk di hadapannya sekarang.
Lia tersenyum melihat ternyata Wendy sudah tidak sabar dengan apa yang akan Lia bicarakan. Lia menyenderkan tubuhnya dan melihat Wendy yang hanya menatapnya dengan tatapan tak suka. Melihat tatapan Wendy yang sudah tidak ada rasa takutnya lagi memancing tawa Lia. Wendy mengerutkan keningnya merasa bingung mengapa gadis yang ada di hadapannya ini tertawa secara tiba-tiba padahal sama sekali tidak ada yang lucu. Apakah Lia gila, kalau iya maka Wendy harus menelepon rumah sakit jiwa sekarang.
Lia meredakan tawanya dan menutup mulutnya dengan tangan, lalu wajahnya berubah menjadi sangat serius melihat Wendy. "Kamu nggak usah deketin mas Alex lagi, kamu mau merebut mas Alex ya?" kata Lia dengan penuh penekanan sedangkan Wendy sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Lia.
Merebut? Apa ?
Bukannya terbalik.Lia yang merebut Alex darinya. Rasanya Wendy ingin tertawa sekencang mungkin.
Wendy tertawa hambar, merasa bahwa Lia ini adalah tipe gadis yang tidak tau diri. "Kamu nggak tau diri ya." ujar Wendy dan Lia langsung membulatkan matanya lebar-lebar, tida percaya kalau Wendy akan berkata seperti itu kepadanya.
"Maksud kamu?!"
"Buat apa aku rebut Alex dari kamu? Nggak ada untungnya buat aku, lagipula seharusnya kan kata 'merebut' itu buat kamu, bukan buat aku. Karena pada kenyataanya kan kamu yang merebut." kata Wendy puas melihat Lia yang merasa tak terima dengan ucapan Wendy barusan.
"Omongan kamu di jaga ya." kata Lia gemas. Terlihat dari gelagatnya yang menahan amarah karena ucapan Wendy barusan. Lia kembali memperhatikan Wendy dari bawah sampai atas lalu tersenyum, sepertinya dia punya senjata untuk 'menyerang' balik Wendy.
"Aku tau kenapa kamu dibuang begitu aja." kata Lia santai dan kembali menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Maksud kamu?"
"Kamu dari dulu nggak pernah berubah ya Wen." ujar Lia dan Wendy hanya terdiam tidak mengerti dengan apa yang Lia bicarakan, bahkan sekarang perempuan ini kembali melihat Wendy dari atas sampai bawah dan menahan tawanya pelan.
"Kamu masih sama kayak dulu," ujar Lia dengan nada merendahkan sambil terus melirik Wendy dari atas sampai bawah.
"Lusuh, kucel, liat pakaian kamu. Udah kayak ibu-ibu banget, ya jelas lah mas Alex mau sama aku." ujar Lia dengan entengnya sambil menampilkan senyuman kepada Wendy yang mulai terasa panas dengan kata-kata Lia barusan.
Lia bangkit dari duduknya dan melangkah mendekat ke arah Wendy yang tatapannya terus fokus kepada Lia. Lia duduk di samping Wendy dan kemudian menangkup pipi Wendy. Lia menolehkan wajah Wendy ke sebuah kaca yang ada di samping Wendy, dia juga ikut menolehkan wajahnya dan mensejajarkannya dengan Wendy, membandingkan wajah mereka. Tentu saja Lia sengaja melakukan hal ini, dia ingin Wendy sadar kalau Lia dan Wendy bukanlah orang yang sama, mereka berbeda kasta.
Wendy melihat wajahnya dengan wajah Lia yang sangat-sangat berbeda jauh. Lia tampak sangat cantik dengan riasan nya dan Wendy tampak tidak secantik Lia. "Sekarang kamu tau kan, kenapa mas Alex lebih suka sama aku?" bisik Lia dan kemudian tersenyum lalu menjauhkan wajahnya dari Wendy dan kembali ke tempat duduknya.
Wendy masih memperhatikan wajahnya yang ada di cermin, wajahnya yang masih kalah jauh dengan Lia yang terlihat sangat sempurna. Tentu saja Wendy merasa sangat sadar kalau dirinya ini tidak sebanding dengan Lia yang kelihatan sangat sempurna. Wendy sangat sadar akan dirinya sendiri kalau soal penampilan dia kalah jauh oleh Lia.
"Pasti gara-gara Lino." ujar Lia mulai menyinggung Lino.
Wendy langsung menoleh cepat menatap Lia. "Nggak usah bawa-bawa anak aku!"
"Karena Lino kamu jadi nggak bisa ngurus diri kamu sendiri, dan sekarang kamu malah dibuang."
"Pantas kamu ngomong begitu?"
Lia melirik Wendy dan tertawa. Ternyata emosi Wendy lebih cepat naik ketika Lia menyinggung Lino di dalam percakapan mereka. "Seharusnya kamu salahkan Lino, karena dia kamu jadi terbuang."
"Jaga mulut kamu!"
"Aku bener kan, Wen?" Lia semakin menjadi-jadi, nada bicaranya semakin merendagkan Wendy dan tentu saja itu membuat Wendy kesal.
Wendy mengepalkan tangannya. Jujur saja, dia ingin meninju wajah Lia saat itu juga. Gadis itu tampak sangat menikmati melihat Wendy yang sedang emosi seperti ini. Wendy tidak masalah jika Lia menghina dirinya, mengatakan dirinya tidam sempurna, atau apapun itu. Tapi, jika sudah menyinggung Lino maka sudah tidak ada kata maaf.
"Kenapa Lino nggak kamu kasih ke orang a-"
PLAK!
Wendy langsung berdiri dan menampar pipi Lia karena baginya ini sudah kelewatan. Dadanya naik turun karena merasa sangat emosi. Wendy dan Lia mendadak menjadi sorotan di cafe itu, semua pengunjung langsung menatap mereka berdua. Termasuk seorang laki-laki yang duduk di pojokan. Dirga langsung tidak fokus kepada tabletnya dan melihat pertengkaran yang tidak jauh darinya dengan tatapan penasaran.
Lia memegang pipinya yang memerah dan kembali menatap Wendy. "Berani kamu nampar aku!" bentak Lia merasa sangat malu ditampar seperti ini oleh Wendy, apalagi ini di depan umum.
"Iya, saya berani!" bentak Wendy penuh dengan amarah. Tatapan matanya menusuk Lia penuh dengan kemarahan, rasa benci dan kesal bercampur menjadi satu. Ingin rasanya Wendy menghabisi gadis ini dengan tangannya sendiri.
Lia tertawa hambar dan menatap Wendy dengan tatapan tajam. "Kalau kamu sudah bawa-bawa anak aku, aku nggak akan diam Lia." Gumam Wendy penuh penekanan.
Lia berdiri dan mengambil tas tangannya, dia melihat Wendy dengan tatapan marah, "Inget ya. Kamu nggak akan bahagia kalau penampilan kamu kayak gini, nggak akan ada oranhg yang suka sama kamu, ditambah kamu sudah punya anak! Seharusnya kamu ngaca dengan kondisi kamu dan jangan pernah ganggu mas Alex lagi!" kata Lia penuh penekanan dan langsung pergi meninggalkan Wendy.
Wendy terdiam dan langsung terduduk lemas saat Lia sudah pergi dari cafe itu, rasanya hatinya sangat sakit saat Lia mengatakan itu. Wendy menahan air matanya yang hendak jatuh karena merasa sangat sakit hati dengan ucapan yang Lia katakan tentangnya tadi. Maka, Wendy ikut berdiri dan meraih tas totebag yang berisi gula dan langsung pergi dari cafe. Semua orang lansung memperhatikan Wendy yang keluar dari cafe sekaligus merasa kecewa karena tontonan drama mereka sudah selesai.
Dirga terus memperhatikan sosok perempuan tadi yang tampak sangat tidak asing di matanya. Dirga langsung membulatkan matanya saat menyadari kalau ternyata perempuan yang tadi bertengkar di cafe adalah Wendy.
Dirga langsung menjadi panik sendiri dan mengambil ponselnya cepat, dia harus menghubungi Lucas untuk hal ini, karena kelihatannya Wendy tidak baik-baik saja. Panggilan pertama tidak diangkat oleh Lucas. Dirga sangat mengerti kenapa Lucas mengabaikan teleponnya karena sekarang dia sedang bertugas dengan papahnya.
***
Lucas baru saja tiba disebuah hotel yang akan dia tempati dalam beberapa hari. Hari ini sampai lusa dia akan stay di sebuah kota untuk menjalankan bisnis, ayahnya ada di lain kamar yang tepat bersebelahan dengan Lucas. Lucas baru saja tiba beberaoa menit kemudian namun ponselnya sudah terus bergetar daritadi. Sebenarnya Lucas bisa saja menjawab panggilan itu, tapi dia terlalu malas dan juga dirinya sedang lelah.
Lucas membuka jasnya dan melemparkan asal ke atas ranjang, mengambil ponselnya yang terus bergetar karena adanya panggilan masuk berkali-kali. Lucas tau siapa orang yang terus membombardir dirinya dengan sebuah telepon. Siapa lagi kalau bukan Dirga.
Dan ternyata benar, Dirga yang terus meneleponnya tanpa henti. Maka Lucas langsung mengangkat telepon itu dan menempelkan ponselnya di telinga. "Apa? Ada apa tengah hari bolong gini?" tanya Lucas agak sedikit kesal dengan Dirga yang terus memberinya panggilan telepon tanpa henti.
"Gawatt!"
Terdengar Dirga tampak panik di sana sedangkan Lucas hanya mengusap wajahnya kasar, pasti Dirga akan mengatakan hal yang tidak penting lagi. Terkadang, Dirga memang suka terlalu lebay saat menghadapi sesuatu.
"Apa?" ujar Luca santai sambil melonggarkan dasinya pelan, rasanya Lucas seperti tercekik.
"Wendy!" Dirga berkata lantang sekaligus terdengar cemas.
Lucas langsung terdiam saat Dirga mulai menyebutkan nama Wendy, matanya membulat. "Wendy kenapa?" tanya Lucas nada bicaranya berubah menjadi sangat khawatir. Mendengar Dirga merasa panik seperti itu tentu saja bukan pertanda yang baik.
"Tadi gue liat dia berantem di cafe sama cewek lain. Satu cafe heboh sama dia doang. Dan kayaknya sekarang Wendy nggak baik-baik aja Cas, lo di mana?"
Lucas terdiam dan melihat sekitar. "Gue di Malang." katanya dengan nada lirih.
"Oh iya lo lagi study tour ya?" kata Dirga menganti istilah perjalanan bisnis dengan study tour.
Lucas menghela nafasnya panjang, entah kenapa dia menjadi ikut cemas dan mengkhawatirkan Wendy karena Dirga mengatakan kalau sepertinya Wendy tidak dalam kondisi baik-baik saja. Kalau Lucas punya kekuatan teleportasi mungkin dia akan kembali ke Jakarta untuk menghibur dan memastikan apakah Wendy baik-baik saja.
"Lucas, ayo kita harus cepat nak." Lucas menoleh ke arah pintu. Papahnya sudah datang dan mereka akan melakukan pekerjaan bisnis mereka sekarang. Tidak ada waktu bagi Lucas untuk memikirkan Wendy sekarang.
"Thanks Dir, nanti gue telepon lagi." ujar Lucas lalu segera menutup teleponnya dengan Dirga secara sepihak. Lucas buru-buru mengambil jas yang sempat dia lempar ke atas ranjang tadi dan langsung memakainya kembali.
"Lucas, kamu ketiduran ya?" tanya ayahnya dan terus memencet bel kamar Lucas tanpa henti. Lucas semakin terburu-buru memakai jasnya, memakai sepatunya kembali dan menyelipkan ponselnya di mulut.
"Iya pah!" Lucas menyahut dari dalam dan langsung keluar dari kamar, segera meninggalkan kamar hotelnya. Lucas berjalan di belakang papahnya dan terus mengikuti langkah papahnya dengan perasaan tak tenang. Lucas harus menghubungi Wendy untuk bertanya pada gadis itu nanti, jika pekerjaannya di sini sudah selesai.
***
Wendy masuk ke dalam rumahnya dengan air mata yang terus mengalir. Kata-kata Lia kepadanya tadi tentu saja sangat berbekas di dalam hati Wendy dan membuatnya luka.
"Bundaa?" Lino melihat Wendy yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan tatapan khawatir. Ibunya tiba-tiba masuk rumah sambil menangis tentu saja hal itu membuat Lino merasa sangat bingung dan khawatir.
Lino melangkah pelan dan langsung menyentuh tangan Wendy yang terasa sangat basah, mungkin karena tadi Wendy sempat mengusapkan air matanya di tangan itu. Wendy membuang muka sambil mengigit bibirnya pelan. Dia tidak mau terlihat lemah di depan anaknya sendiri. Wendy tidak mau anaknya ini tau kalau dia sedang bersedih.
"Karena Lino kamu jadi nggak bisa ngurus diri kamu sendiri, dan sekarang kamu malah dibuang."
Wendy semakin mengigit bibir bawahnya saat kata-kata Lia tadi terngiang-ngiang di dalam otaknya. Entah kenapa Wendy merasa sangat sakit hati ketika mendengarnya lagi. Tapi, di dalam pikiran Wendy apakah kata-kata Lia benar, apakah karena Lino semuanya ini menjadi kacau.
"Bundaa." Lino memanggil dengan suara lembutnya dan itu membuat Wendy sadar. Wendy langsung melihat Lino yang sedang menatapnya dengan tatapan khawatir. Wendy langsung berlutut dan memeluk tubuh Lino erat sembari terus menangis kencang. Tidak seharusnya Wendy memikirkan hal-hal aneh seperti itu.
"Maafin bunda sayang, maafin bunda." ujar Wendy lirih sambil terus mengeratkan pelukannya kepada Lino. Anak berumur lima tahun itu juga membalas pelukan ibunya dan mengangguk memaafkan, walaupun sebenarnya Lino juga tidak tau apa salah ibunya, mengapa ibunya meminta maaf.
Wendy mengelus kepala Lino dan menangis sejadi-jadinya. Mungkin ini pertama kalinya bagi Wendy menangis seperti ini di hadapan Lino, anaknya sendiri. Wendy ingin sekali menahan tangisnya sedari tadi, tapi Wendy tidak bisa menahan rasa sedihnya dan malah memuncak saat dia melihat Lino seperti ini.
Di lain sisi, Lucas sedang mondar-mandir terus menempelkan ponselnya di telinga, nomor yang dia tuju sekarang adalah nomor Wendy. Gadis itu tidak menjawab telepon darinya sama sekali dan itu semakin membuat Lucas cemas. Pasti sekarang kondisi Wendy sedang tidak baik-baik saja.
Wendy yang terus menangis sambil memeluk Lino itu tidak sadar kalau ponselnya yang ada di dalam totebag terus bergetar, tanda kalau ada panggilan masuk dari sana, dan panggilan masuk itu ternyata berasal dari Lucas yang terus menelepon Wendy brkali-kali, karena Lucas sangat mencemaskan bagaimana kondisi Wendy sekarang.
Wendy tidak menyadari panggilan Lucas itu dan terus mengeratkan pelukannya pada Lino sambil menangis tersedu-sedu. Mengabaikan panggilan Lucas.