"Lo itu enggak capek apa mikirin lomba mulu, Nest? Gue yang liat aja sampai capek, lho! Lo manusia, kan? Bukan malaikat yang diturunkan Tuhan buat jadi jodoh bidadari kayak gue?" tanya Bilqis yang pada saat ini sedang berada di kursi kebesarannya, kursi wakil ketua di ekskul fotografi. Gadis dengan jepitan rambut bermotif kucing itu sembari menggigit roti tawar yang tadi diberikan oleh Abel kepadanya, katanya lumayan untuk menahan rasa lapar saat kantin sudah banyak yang tutup seperti ini.
Ernest menoleh saat gadis di sebelahnya ini mengajak bicara, dengusan sebal sedikit terdengar dari hidungnya, agaknya merasa sebal dengan tingkah Bilqis yang makin ke sini makin tidak karu-karuan. Satu hal yang Ernest tanyakan pada dirinya sendiri, kok bisa ada orang sepercaya diri ini seperti Bilqis? Kok ada orang yang sangat menyebalkan dan sangat berisik serta heboh seperti seorang Bilqis Theta Sarendra?
Astaga! Ernest sangat yakin jika Bilqis ini adalah manusia paling bahagia di dunia karena memiliki sifat ekspresif. Agaknya gadis tersebut tidak pernah merasakan sedih dikarenakan menutupi sesuatu yang hampir membuatnya hancur.
"Ih Ernest mah kebiasaan banget, deh! Gue kesel banget sama lo yang dingin gini! Bisa gak sih sehari aja jadi orang yang bener? Yang ngobrol sama orang lain gitu, Es Batu!" gerutu Bilqis sembari memanyunkan bibirnya. Menghentakkan kakinya beberapa kali supaya Ernest sadar juga dengan apa yang ia lakukan.
"Lo yang aneh!" balas Ernest kesal. "Sehari gak ribut dan gak berisik emang enggak bisa ya?" tanyanya yang sepertinya sia-sia. Sangat membuang waktu sekali bertanya kepada Bilqis Theta Sarendra yang memiliki otak setengah, sedangkan setengahnya lagi ketinggalan di rahim ibunya.
Gadis berusia enam belas tahun itu menyipitkan matanya heran, menyelidik raut wajah Ernest yang terlihat biasa-biasa saja padahal baru saja Ernest berbicara lumayan panjang. "Lo enggak gatel-gatel, Nest?" tanya Bilqis dengan bodohnya.
Pria tampan yang semula fokus pada layar laptopnya seketika menoleh ke sebelah, tak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Bilqis. "Apaan?"
Bilqis tertawa beberapa saat, perutnya terasa sampai keram melihat raut polos dari pria yang notabenenya adalah satu kelas dengannya. "Cowok polos zaman sekarang yang gue temuin baru lo lho, Nest. Dari raut wajah lo aja keliatan banget kalau lo polos-polos gimana gitu." Bilqis menjeda sejenak ucapannya, menarik napas dengan dalam-dalam sebelum mengatakan kalimat yang cukup panjang. "Okay, back to the topic. Emang kepribadian gue itu kayak gini, Ernest. Gue enggak bisa diem dan gue tentu aja ekspresif. Sehari diem itu rasanya enggak banget. Enggak kayak lo yang bisa diem seumur hidup. Justru diemnya orang ekspresif itu yang bahaya, lho."
"Oh."
Astaghfirullah! Sudah panjang kali lebar kali tinggi Bilqis menjelaskan supaya Ernest paham dan Ernest mengerti, ia kira Ernest akan membuat pembahasan demikian menjadi sangat asik sekali, ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Ernest malah hanya mengatakan satu kata keramat yang membuat Bilqis langsung menggeram penuh kesal. Tangannya meremas sebal plastik yang entah sejak kapan ia pegang.
Meruqyah teman sendiri boleh tidak, sih? Rasa hati menggebu-gebu ingin meruqyah Ernest supaya pria tersebut jauh lebih mengerti. Mengapa hidup Ernest harus semonoton itu coba? Hanya diisi dengan kegiatan paling memalaskan di dunia bagi Bilqis. Tentu saja seperti belajar dan mengikuti lomba.
"Lo punya keluarga cewek gak sih, Nest?" Tahan, walaupun rasa hati ingin memaki es batu di hadapannya ini, Bilqis tetap harus sabar dan kembali membuka pembahasan supaya ruangan fotografi ini tidak sepi begitu saja. Intinya jika ada Bilqis, tidak boleh ada yang sepi sama sekali. Bilqis adalah peramai suasana.
"Kalau enggak punya keluarga cewek gue enggak bisa lahir ke dunia."
Hah? Apa? Barusan Ernest menjawab apa? Kalau tidak ada keluarga cewek, Ernest tidak akan lahir di dunia? Memang apa alasannya sampai Ernest tidak bisa lahir di dunia jika tidak memiliki keluarga cewek?
Otak di bawah rata-rata Bilqis mulai memutar dengan sangat cepat, memikirkan balasan membingungkan dari pria tampan di sebelahnya ini. Sungguh, hal seperti ini yang selalu Bilqis benci. Hal di mana Bilqis hanya bisa terduduk diam dan memikirkan apa yang kata orang cerdas katakan. Agaknya benar kata orang, setengah otak Bilqis telah digadaikan.
"Gue gak paham." Menyerah, setelah beberapa saat memikirkan apa yang Ernest ungkapkan, Bilqis tak kunjung menemukan titik terang. Ya daripada ia mati muda karena penasaran, lebih baik ia menyerah dan meminta penjelasan, bukan?
"Makanya, punya otak dipakai."
Innalilahi! Tidak adakah manusia yang jauh lebih menyenangkan daripada Ernest di muka bumi ini? Benar ya kata orang, es batu sekali ngomong sakitnya sakit sekali everybody! Bahkan ingin hati Bilqis mencakarnya sampai pria tersebut kesakitan, namun apa boleh buat? Tak mungkin Bilqis merusak aset berharga milik XI MIPA 4, kan? Yang ada teman-temannya langsung demo kepada Bilqis.
Ya, anggap saja Ernest sebagai salah satu aset milik XI MIPA 4 karena pria tersebut terkadang jika sedang baik hati memberikan jawaban cuma-cuma. Ingat, tolong garis bawahi kata terkadang. Karena terkadang juga pria tersebut menyebalkan sekali, tidak mau membagi dengan orang lain. Padahal kan secara agama, berbagi itu indah. Apalagi berbagi kepandaian. Apakah Ernest tidak diajari agama sedari kecil sehingga ia sangat pelit?
"Gue kesel deh sama lo! Sekali ngomong langsung mak jleb, enggak mikirin perasaan orang lain ya? Wah, gila sih! Gue bisa lapor ke keluarga lo kalau kayak gini caranya. Lo bisa dimarahin abis-abisan sama mereka semua."
"Kayak kenal aja keluarga gue sama orang gila kayak lo."
KAN! Apa Bilqis bilang, berbicara dengan Ernest benar-benar membuatnya emosi. Bilqis tidak tahu harus berkata-kata apalagi. Ia merasa lelah hati dengan semuanya. Sudahlah, lebih baik ia diam saja di ruangan sesenyap ini, daripada nanti hatinya yang harus berkorban karena tersakiti terus-menerus. Ernest memang tidak ada akhlak! Awas saja kalau Ernest meminta bantuan kepadanya, akan ia tolak mentah-mentah.
Eh, tetapi kapan Ernest meminta bantuan kepadanya, ya? Perasaan yang selalu meminta bantuan di sini adalah Bilqis. Bilqis yang selalu merepotkan orang lain dan Ernest justru adalah dewa pembantu yang Tuhan kirimkan untuk bidadari secantik Bilqis.
"Mesin lo abis? Tumben banget enggak nyerocos. Tapi bagusan diem kayak gini, sih. Seenggaknya di saat lo diam, lo enggak keliatan bodoh. Lumayan cantik juga lo."
Coba jelaskan hal apa yang harus Bilqis lakukan saat ini? Di satu sisi Bilqis merasa sangat tersanjung dengan apa yang Ernest katakan, namun di sisi lain hati Bilqis tentu saja merasa terzolimi dengan mulut cabai Ernest.
Es batu yang satu ini maunya apa, sih? Mau diluluhin terlebih dahulu dengan Bilqis? Biar jadi cowok bucin seperti film-film yang sudah Bilqis tonton. Katanya kalau cowok dingin dan ketus jika sudah jatuh cinta kepada seorang cewek akan sangat menggemaskan dan bucin sekali.
"Ernest, gue jatuh cinta deh kayaknya sama lo. Lo jatuh cinta gak sama gue?"