MASIH NAGITA HARJONO PART 2

1372 Kata
"Kamu sakit, kak?" Suara Nel membuyarkan pikiranku yang berkelana gak tentu arah. Malas menanggapi aku semakin bergelung rapat di balik selimut menyembunyikan hampir seluruh bagian tubuhku. Sejak pulang tadi aku gak melakukan apapun, berganti pakaian pun enggak. Aku sempat nyaris tertidur, tapi suara ketukan di pintu membatalkan perjalananku kealam mimpi. Naren yang langsung pulang setelah mengantarku kedepan pintu senja tadi, kembali sejam kemudian, mengetuk pintu dan mendial ponselku seperti penagih hutang. Aku gak punya pilihan selain meninggalkan tempat tidurku yang nyaman demi menemuinya di ambang pintu masih dengan pakaian yang sama dan kantong plastik terjinjing di tangan. Naren kembali cuma buat mengantar bubur jagung yang dari bungkusan dan baunya aku tau dia beli dari rumah makan gak jauh dari kampusnya dulu, bubur jagung kesukaanku sejak dulu. Niat banget, aku jadi merasa sangat merepotkan, karena jarak dari kampusnya dulu kerumah ku butuh waktu seenggaknya empat puluh lima menit bolak-balik. Aku menawarinya untuk ikut makan tapi dia bilang sudah kemaleman. Aku menaruh bubur itu di atas meja makan sepeninggalan Naren. lalu melanjutkan tidurku yang tertunda walau pada akhirnya aku tetap gal bisa tidur sampai akhirnya Nel pulang. "Ck, Sakit beneran nih, kak?. Jelek banget muka mu" komemtarnya setelah berhasil menyibak selimut yang menutupi kepalaku. "Berisik!" Tukasku. "Itu bubur mau di makan sekarang gak?,biar ku angetin" Nel mendudukkan diri di samping tempat tidurku. Dia masih memakai setelan kerja berwarna abu-abu yang di kenakannya sejak pagi tadi. "Gak selera makan, simpen aja di kulkas" "Beli jauh-jauh tapi ujung-ujungnya gak di makan, aneh kamu kak" "Di simpen makanya, ntar juga kalau laper aku makan." ku pejamkan mata untuk mencegah Nel berkomentar lagi, seakan mengerti aku sedang gak dalam mood yang baik untuk di ajak mengobrol, Nel menutup mulutnya, hanya tangannya saja terus bergerak memijat kakiku, menimbulkan sensasi nyaman, membuaiku menuju alam mimpi. Sayangnya mimpi yang ku alami semalam penuh kegelisahan dan melelahkan, aku terjaga keesokan paginya dengan kondisi lebih buruk dari sebelumnya. Tubuhku seakan kehilangan tenaga, masih gemetaran, kepala pusing, tenggorokan sakit dan mag kambuh. Intinya aku terkapar tak berdaya di saat seharusnya aku bekerja lebih keras lagi untuk mendapatkan sebanyak mungkin uang. Air mataku tak kuasa menyeruak juga di sudut mata dan aku gak berusaha sama sekali mencegahnya. Mengingat deretan angka yang masih menanti untuk segera di lunasi, uang yang ku tilap dari pemasukan Salon, Wajah Alin, Jessy, Noel dan Bree yang berkelebat berputar-putar dalam kepalaku membuat tangisku kian menjadi. Aku gak bisa mengerti kenapa diriku bisa membuat masalah sebesar ini, satu keputusan bodoh yang menyeret diriku hingga terpuruk sejauh ini. "Ya Tuhan. kamu kenapa,kak? " Nel menyibak selimutku dengan panik. Tangisku tak kunjung reda, tubuhku berguncang hebat oleh isakan tak terkendalai, segala emosi, rasa bersalah, ketakutan serta banyak lagi seperti air bah menjebol bendungan mencari jalan keluar. "Kak, kita ke rumah sakit ya. aku gak bisa biarin kamu sendirian." ujar Nel dengan suara memelas. " Atau ke salon aja, biar ada yang nemenin, ntar siang aku jemput. hmm? " Tangannya mengusap lembut kepalaku. Lalu setelah itu apa, aku sudah gak ingin menghadapi masalah ku lagi, aku gak ingin turun dari tempat tidur lalu harus kembali mencari cara menyelesaikan segala kekacauan yang ku buat. Aku juga terlalu malu mengakui ketololanku. "Gak papa kalau kamu mau nangis sampai puas sekarang kak, tapi habis ini kita cari jalan keluarnya, oke?. Aku kekantor sebentar aja buat minta ijin bang Ian. Kamu mesti kuat dan berpikiran jernih. Kamu kan gak sendirian, ada aku lho, aku bakal bantu gak akan pergi kemana-mana. " Aku tau Nel gak akan berpaling dan meninggalkanku tanpa dia katakanpun. Tapi pernyataan tulus itu mampu meredakan tangisku, Aku gak bisa menyebutnya lega, mungkin lebih di bilang harapan yang bikin rasa frustasiku berkurang. Nel menarikku ke dalam pelukannya, menepuk-nepuk punggungku seperti sedang menenangkan bayi. "kamu ingat kan kutipan di buku the lost world 'setiap kehidupan pasti akan menemukan jalannya'. Selagi kita masih hidup dan mau usaha kita pasti bisa ngelewatin ini" ujarnya panjang lebar. "Kamu mikir aku mau bunuh diri?" gumamku tercekat. Aku gak terpikir akan separah itu diriku terlihat di mata orang lain. "Enggak lah, kamu kan takut mati kak" sanggahnya enteng. "Aku masih belum makan cheese fondue di lereng alphen tau" "iya, kamu juga belum selesai baca Harry potter" "Penting ya?" "Enggak sih. " kami lalu terkekeh pelan seraya melerai pelukan. "Mandi kak, kau bau sampah" ujar Nel seraya beranjak menuju pintu kamar. "Aku panasin bubur semalam ya. Ntar di makan" Alih-alih menuruti perkataannya aku kembali merebahkan tubuhku dan menarik selimut. Anggap ini persiapan menghadapi badai, setelah ini aku gak ingin jadi lemah seperti ini lagi. **** "Huanjiir kak, kamu ngajuin di semua aplikasi ini secara sadar kan?, bukan lagi mabok kiranti? " seru Nel tertahan, matanya melebar gak percaya menatap kertas yang beberapa menit lalu ku berikan padanya. Kertas berisi daftar aplikasi pinjol beserta jumlah pinjaman dan jatuh temponya. "Harapanku gitu" Dengusku memijit pelipis yang sejak kemarin terus berdenyut menyakitkan. Nel mengembuskan nafas berat, keningnya berkerut dalam upayanya berpikir atau mungkin mencoba meyakinkan diri kalau dirinya gak sedang bermimpi buruk. Karena itulah yang ku harapkan, semua episode bertema jeratan pinjol ini hanya mimpi buruk. "Jumlahnya lumayan ini kak, kita sama-sama gak punya uang sebanyak ini. Gak ada yang bisa di jual. uhmm. motor mu gimana? " "Bisa sih, tapi bisa laku berapa, umurnya udah hampir 10 tahun." "Di anggunin juga paling dapat lima juta" "gak ada cara lain. cari pinjaman lunak, yang gak pake bunga gitu, trus bisa di cicil " Nel mengacungkan- acungkan pena selagi bicara. "Memangnya ada? " "Ya pinjamnya sama orang yang kamu kenal, lah" Aku dan Nel mendadak terdiam, aku tebak dia memikirkan hal yang sama karena kemudian dia menyebutkan orang itu. "Minta tolong ibumu, dia gak mungkin deh ngebiarin kamu jatuh terpuruk." Aku menggeleng lemah, Hubungan ku dengan ibu gak bisa di bilang baik tapi juga gak buruk sekali. Sejak kecil aku nyaris gak memiliki kedekatan dengannya. aku lebih dekat dengan Ayah. Setelah mereka bercerai, hubungan kami pun jadi semakin renggang, karena ibu menolak hak asuh atas diriku, dia meninggalkanku untuk di besarkan ayah. lalu menikah dengan pria yang katanya cinta pertamanya. Aku gak membenci ibuku, sungguh. Tapi, sikapnya yang selalu menjaga jarak dariku membuatku takut untuk bersikap layaknya seorang anak. jadi intinya opsi ini mesti di eliminasi. "Tante Wanda? " Suara Nel terdengar ragu-ragu. Dia sendiri sudah tau apa jawabannya. Tante Wanda adik ayah ku, Dia yang banyak mengurusku sejak orang tuaku berpisah, saat ini Tante ku itu juga sedang menghadapi masalahnya sendiri, aku gak bisa menambah bebannya. "Bang Tora? " Alisku terangkat, Dari sekian banyak orang yang coba ku ingat gak sedetik pun terlintas nama itu. Aku mengeliminasinya jauh sebelum ini. Yang benar saja, masa aku minta tolong sama mantan suami. Masalah finansial pula. Tora mungkin gak akan menertawakanku, tapi tetap saja betapa memalukannya situasi yang harus ku hadapi. "Dia gak akan nolak" Nel berkata dengan yakin. "Dia masih merasa bersalah" "Opsi terakhir deh, aku gak siap menjatuhkan harga diriku di depan abangmu. lagian ini Tora, dia gak akan ngasih bantuan gitu aja." "memangnya ada opsi lain? " Aku terdiam, Aku gak bisa menemukan satu nama potensial untuk menyelamatkanku. Aku bukan seorang introvert, aku senang menjalin pertemanan terutama pekerjaanku memang mmenuntut ku untuk mudah akrab dengan orang lain. Tapi seperti kita ketahui dengan jelas, teman bisa aja menghilang bagai mbak kunti di bacain ayat kursi kalau kau lagi terpuruk. "Kalau mau pinjam uang buat ngelunasi pinjol mu ini, kamu mesti pinjan dua kali lipat jumlah yang di butuhin" Nel mencoret-coret kertas daftar pinjol itu sambil bicara. Aku menunggu saja dengan gelisah dia meneruskan. "Tujuannya biar kamu bisa bernafas beberapa bulan, uang yang tersisa bisa dipakai untuk cicilan awal jadi kakak bisa memikirkan cara cari tambahan pendapatan buat bayar sisa utang" Segala sensasi yang kualami kemaren sore di Bank kembali muncul mendera hingga punggungku gak mampu menopang tubuhku. ku rebahkan kepala ku di atas meja makan di antara lembaran kertas. Aku sudah tau, semua ini gak akan bertambah mudah sekalipun sekarang Nel ikut terlibat. "Di coba aja kak, Bagi bang Tora kebahagianmu masih tanggung jawab dia, buktinya dia masih rajin kontak dan tiap pulang kamu duluan yang di cari. seenggaknya dia bisa menebus rasa bersalahnya dengan bantu dirimu sekali ini" Aku tercekat, mungkin Nel lupa, Tora bisa menunjukkan kepribadian berbeda 180° dari dirinya yang biasa kalau menyangkut uang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN