“Kak, thanks ya udah anterin aku pulang,” ucap Alana melangkah ke teras rumah. Dia tak jemu memandang wajah tampan Brian.
Brian mengulum senyum. “Sudah kewajibanku mengantar princes pulang. Kalau nggak ntar nggak punya kesempatan lagi,” sahutnya seraya terkekeh.
Alana terkekeh dan tersipu malu. “Apaan sih kak.”
“Ya udah, aku pulang dulu ya. Kamu cepetan tidur, jangan sampai larut malam,” pamit Brian.
“Siap Pak Bos.” Alana memberikan hormat pada Brian, seketika Brian menurunkan lengan Alana.
“Jangan gitu, aku aja yang hormat pada tuan putri,” Brian balik memberikan hormat pada Alana dan mengundang tawa diantara keduanya.
“Udah gih, sana pulang. Ntar kemalaman malah ngantuk, nggak fokus nyetirnya,” pinta Alana lembut.
Brian mengangguk, dia berjalan mundur karena belum puas memandang wajah cantik Alana. Sementara Alana menatap kepergian Brian sampai laki-laki itu masuk mobil dan melajukan mobilnya.
“Alana,” pekik Vita dan Keyla membuka pintu, membuat Alana terlonjak kaget.
“Kalian bener-bener ya! Ngagetin orang saja,” tukas Alana.
“Habisnya kamu enak-enakan dinner. Nggak tau apa kita lumutan nungguin, sampai ngantuk,” kesal Vita seraya mengerucutkan bibir.
“Iya, aku sampai laper. Untung di kulkas banyak makanan,” timpal Keyla tak kalah kesal.
Alana menghembuskan napas kesal. “Siapa suruh nungguin. Harusnya tidur, tanya-tanya kan bisa besok.”
“Sekarang!” ucap Keyla dan Vita serentak.
Alana mengernyitkan kening melihat sikap kedua sahabatnya, dia hanya menghembuskan napas dengan kelakuan sahabatnya.
“Ceritain dong, tadi dinnernya ngapain aja,” pinta Keyla penasaran.
“Ntar aja ah! Bete aku, mau balapan dulu.” Alana buru-buru masuk dan melepaskan high heelsnya. Ia mengerang kesakitan karena ujung jari kakinya memerah akibat high heel yang terlalu kecil.
“Kenapa malah balapan? Emangnya dinnernya nggak lancar?” tanya Vita penasaran.
“Lancar kok, tapi aku butuh pencerahan. Cuma balapan yang bisa cerahin pikiran aku,” ucap Alana duduk di sofa ruang tamu. Meluruskan kakinya beberapa detik untuk menghilangkan rasa sakit akibat memar.
“Apa Kak Brian ucapin kalimat yang nyakitin kamu?” tebak Vita cemas.
Alana menggeleng kuat, pandangannya fokus pada jari kakinya yang memar.
“Kamu tolak keinginan Kak Brian?” balas Vita bertanya.
Lagi-lagi, Alana hanya menggelengkan kepala.
“Terus apa dong yang buat kamu pengen balapan? Harusnya kamu ke kamar tiduran. Bayangin wajah Kak Brian dan suasana dinner tadi,” ucap Vita heran dengan sikap Alana.
Alana menghembuskan napas panjang. “Aku bukan kalian ya. Udah ah, aku pergi dulu ya mumpung Mama tugas malam,” ucap Alana lalu berjalan ke lantai dua.
Kini, giliran Vita dan Keyla yang saling memandang. Mereka heran dengan tingkah laku sahabatnya, padahal mereka sudah bahagia berhasil membuat Alana mengenakan dres dan make up untuk dinner bersama laki-laki. Namun, kenapa Alana malah ingin balapan?
“Vit, menurut kamu dinnernya gagal nggak sih?” tanya Keyla bingung.
Vita mengangkat bahu pertanda tak mengerti. “Bingung aku. Menurutku sih berhasil, kalau gagal udah pasti Alana sedih. Kan Alana kayaknya cinta sama Brian,” tebaknya.
“Iya sih, tapi apa yang buat Alana malah pergi balapan?”
“Mungkin dia shock karena berhasil buka hati buat cinta,” tebak Keyla akhirnya.
“Guys, aku pergi dulu ya.” Alana berkata lantang seraya menuruni anak tangga, dia sudah mengenakan celana jeans lengkap dengan jaket kulit andalannya saat balapan.
“Kita ikut ya biar nemenin kamu,” pinta Keyla berdiri.
“Nggak usahlah! Aku pengen sendiri. Kalian jagain rumah aku aja.” Alana mengulum senyum, dia mengenakan helmnya dan keluar dari rumah.
***
Di perjalanan, Alana kepikiran dengan permintaan Brian yang memintanya menjadi feminim. Jujur, Alana belum siap merubah kepribadiannya seperti dulu. Kepribadiannya sekarang dia jadikan sebagai penyemangat melupakan masa lalu, tetapi Brian malah memintanya berubah feminim.
“Ya Allah, apa aku sanggup berubah kaya dulu? Aku takut bakalan sedih berkepanjangan lagi,” ucap Alana bimbang.
Alana memandang lurus ke lajur jalananan yang sudah sepi, sementara pikirannya menerawang jauh ke masa lalu. Masa lalu di saat dia dan sang kekasih merajut indahnya asmara. Namun, Alana segera membuyarkan lamunannya karena tak ingin kembali terpuruk.
“Aku nggak mau ingat itu lagi! Masa depanku hampir normal. Aku nggak mau terpuruk lagi.” Alana berusaha tegar dan tak menoleh ke masa lalu, dia menambah kecepatannya dan menyalip pengendara lain dan membuat pengendara itu terkejut.
“Sial, siapa sih dia. Beraninya main salip-salipan,” ucap pengendara motor gede yang tak lain adalah Diaz.
Diaz tak terima disalip Alana, dia tancap gas mengejar Alana dengan kecepatan maksimal. Alhasil, Alana dan Diaz saling salip karena tak ada yang mengalah. Bahkan keduanya murka karena belum menyadari siapa pengendara sebenarnya.
“Cowok itu siapa sih? Beraninya mepet-mepet,” ucap Alana, dia menambah kecepatannya.
“Kayaknya dia ngajak balapan nih. Oke, siapa takut,” Diaz tak terima dikalahkan pengendara lain. Dia menancap gas lebih kencang.
Beberapa menit sudah Alana dan Diaz balapan, sampai akhirnya Alana berhasil masuk ke arena balap lebih dulu. Alana berhenti di kubu tim balapannya, sementara Diaz enggan menghampiri Alana. Diaz lebih memilih berkumpul dengan rekan balapnya.
“Guys, cowok yang tadi di belakang gue siapa sih?” tanya Alana pada Riko, teman balapnya.
“Dia Diaz lah salah satu pembalap handal disini,” sahut Riko cepat.
Alana mengernyitkan kening mendengar nama ‘Diaz’ namun Alana langsung membuang pikirannya. Diaz yang di maksud Riko bukanlah Diaz temannya, mana mungkin Diaz jadi pembalap. Walaupun penampilan Diaz macho, namun anak seorang Rektor tak mungkin menjadi pembalap liar.
“Loe penasaran ya? Temuin dia gih,” pinta Riko merangkul Alana.
“Malas banget temuin cowok duluan. Emangnya gue cewek apaan,” tolak Alana tak sudi.
“Ya loe anak kedokteranlah,” goda Riko.
Sementara itu, di lokasi berbeda tampak Diaz dan temannya membahas Alana. Sama seperti Alana, Diaz pun kaget karena mendengar nama Alana yang dikatakan teman pembalapnya.
“Loe bilang ada temen yang namanya Alana kan, siapa tau bener. Coba gih loe temuin,” pinta Bagas, cowok macho dengan anting di bibir tengahnya.
“Menurut gue nggak mungkin Alana temen gue deh. Emang sih dia tomboy, tapi nggak mungkinlah dia sampai gabung balap liar gini. Apalagi dia anak kedokteran,” sangkal Diaz yakin.
“Justru itu bro, anak kedokteran tuh lebih banyak anak yang stres karena pelajarannya berat banget sumpah. Gue aja kalau di suruh ambil kedokteran mending bunuh diri,” ungkap Bagas, merasa kuliah kedokteran sebagai momok menakutkan dalam pendidikan.
Diaz terkekeh dengan asumsi Bagas. “Itu sih loe. Beda kalau Alana, Nilai dia selalu bagus bro, jadi mustahil dia stres terus terjerumus balap liar.”
Bagas menghela napas. “Itu sih terserah loe, kalau gue jadi loe udah gue temuin dia. Apalagi dia sudah beraninya ngalahin loe pas balapan dulu,” ceritanya.
“Jadi, cewek itu yang bisa ngalahin gue?” tanya Diaz tak percaya.
Bagas mengangguk. “Iya! Mana harga diri loe sebagai pembalap sejati yang bisa dikalahin cewek yang nggak dikenal.”
Diaz tampak berpikir, ucapan Bagas benar juga. Tak ada dalam kamusnya dikalahkan oleh wanita di arena balap, seperti saran Bagas harus dilakukan. Diaz harus mengetahui siapa wanita yang berani mengalahkannya saat tanding balap.
“Oke, gue temui dia dulu,” ucap Diaz akhirnya.
***
Awalnya Diaz kesal karena mencari Alana sang pembalap tak ketemu juga, ternyata gadis itu menyendiri di taman tak jauh dari arena balap. Diaz berdiri di belakang gadis itu, sementara kedua tangannya mengepal karena tak terima pernah dikalahkan seorang wanita. Bahkan wanita itu tadi menyalip Diaz sehingga emosi Diaz semakin memuncak.
“Permisi,” ucap Diaz ketus.
“Iya,” sahut Alana, dia menoleh ke belakang dan shock melihat Diaz.
“Kamu,” tunjuk Alana dan Diaz serentak.
“Diaz, ngapain malam-malam disini?” tanya Alana shock.
“Ka-kamu juga,” ucap Diaz menelan ludah, dia tak percaya wanita itu adalah Alana. Temannya di kampus.
“Bentar-bentar.” Alana tampak berpikir, dia mengingat perkataan Riko mengenai sosok Diaz yang menjadi pembalap. Alana memandang Diaz tajam, mencari kebenaran di mata laki-laki di hadapannya. “Jadi kamu ikutan balap liar,” ucapnya tegas.
Diaz tersenyum ragu. “Iya. Kamu juga ternyata balapan liar, gimana kalau Mama sama sahabat kamu tau,” ucapnya memojokkan Alana.
Mata Alana membulat, sepertinya Diaz akan mengadu pada keluarganya mengenai dirinya yang mengikuti balap liar. Tentunya Alana tak ingin sang mama tahu, dia segera memegang lengan Diaz dan mengedip-ngedipkan mata pada Diaz.
“Ngapain kedip-kedip gitu? Lagi cacingan,” sindir Diaz pedas.
“Jangan aduin semua orang kesayangan aku ya tentang malam ini. Sumpah, Cuma Vita sama Keyla yang tahu,” pinta Alana memelas.
Diaz menghela napas. “Tapi kamu jangan bilang sama nyokap aku ya, kalau Alvar sih udah tahu.”
“Siap. Jadi, kita saling jaga rahasia besar kita ya,” ungkap Alana sumringah.
Diaz mengangguk. “Ya udah, duduk sini.” Diaz meraih lengan Alana dan mengajaknya duduk di kursi taman.
Diaz memandang wajah Alana, mendadak kebahagiaan menyelimuti hatinya. Disaat dia merindukan sosok Alana, ternyata Alana datang membuatnya terkejut. Alana ternyata memiliki hobi balapan.
“Diaz, dari kapan kamu main balap liar?” tanya Alana penasaran.
“Sejak 3 tahun lalu,” sahut Diaz lirih.
DEG!!
Alana menelan ludah gusar, ternyata Diaz menekuni balap liar selama 3 tahun. Sama sepertinya dirinya, saat dimana dia terluka karena cinta dan pengkhianatan cinta pertama Alana. Mendadak, mata Alana berkaca-kaca.
“Alana, kamu kenapa? Kok nangis,” ungkap Diaz khawatir.
Alana menggeleng kuat. “Nggak papa kok. Cuma aku nggak nyangka aja, waktu kita terjun balapan sama. Aku juga udah 3 tahun,” jujurnya perih.
“Wah, kok lama-lama kita banyak kemiripan ya,” celetuk Diaz bangga.
“Iya. Ya semoga saja persahabatan kita langgeng ya,” harap Alana.
“Amin.”
“Diaz, kayaknya udah malam banget nih. Udah jam 2, aku pulang dulu ya.” Alana pamit seraya melihat jam di pergelangan tangannya.
“Aku anter ya,” unjuk Diaz, dia berdiri dan bersiap mengantar Alana pulang.
“Oke deh, tapi kamu langsung pulang ya,” pinta Alana.
Diaz mengangguk, dia mempersilahkan Alana berjalan lebih dahulu mengambil motor di area parkir. Sementara senyuman Diaz mengembang sempurna, senyuman kebahagiaan karena bisa bersama Alana di tengah malam. “Kayaknya bakal seru nih kalau sering balapan sama Alana.” Batin Diaz.
***