Bab 21

1365 Kata
Brian mengajak Alana duduk di meja di dekat kolam renang, area romantis yang megah. Tak heran senyuman indah Alana tak pudar memandang desain interior Restoran, bahkan dia berpikir Brian meminta pegawai Restoran mendesain romantis sebagai penyambutan Alana. “Gimana? Suka nggak?’ tanya Brian, memperhatikan Alana yang memandang takjub interior Restoran. “Sumpah Kak, bagus banget. Kenapa kamu buat seindah ini? Padahal Cuma dinner biasa,” sahut Alana tak enak hati. “Sini duduk.” Brian meraih lengan Alana, membiarkan gadis itu duduk. Kemudian, Brian duduk berhadapan dengan Alana. “Bagi aku, yang pertama wajib istimewa. Hal itu menandakan awalan yang baik, aku nggak mau dinner pertama ini buat kamu kecewa. Ntar di ajak dinner lagi nggak mau,” ungkapnya lembut. Alana membelakakan mata mendengar ucapan Brian. Dinner lagi? Memangnya, akan ada dinner kedua dan seterusnya? Jika benar, artinya Brian mencintai Alana. Diam-diam wajah Alana merona dan tersenyum sendiri, dia tak menyangka cintanya pada Brian tak bertepuk sebelah tangan. “Pelayan,” panggil Brian pada pelayan yang berdiri tak jauh dari mejanya. Beberapa pelayan langsung menghampiri meja Brian membawa aneka makanan dan minuman. Alana yang memandang aksi pelayan hanya berdecak kagum, mengapa semua pelayan tunduk pada perintah Brian. Padahal Brian belum mengucapkan daftar menu yang di pesan. “Silahkan di nikmati Pak Brian, ini semua menu favorit di Restoran ini,” ucap sang pelayan seraya meletakan makanan di atas meja. “Terima kasih ya,” ucap Brian mengulum senyum. Setelah meletakkan semua hidangan, para pelayan bergegas pergi. Gantilah laki-laki pemain biola menghampiri meja Brian dan Alana, laki-laki itu langsung memainkan biola tanpa Brian suruh. Alhasil Alana semakin dibuat bingung dengan dinner itu. “Alana, ayo makan,” pinta Brian lembut. “Iya Kak,” sahut Alana gugup. Alana dan Brian memulai aktivitas menyantap makanan. Saking gugupnya, Alana sampai gemetar memegang sendok. Hal tersebut diketahui Brian. Alana semakin malu saat Brian menyantapnya tajam. “A-apa aku makannya belepotan kak?” tanya Alana menelan ludah. Brian tak bergeming, hanya menggelengkan kepala. Sejurus kemudian, uluran tangannya menggapai sendok Alana dan menyuapi Alana. Mau tak mau, Alana membuka mulutnya dan membiarkan suapan laki-laki di hadapannya terus masuk ke perutnya. Sungguh! Malam ini adalah malam terindah untuk Alana. Alana tak pernah membayangkan malam romantis kembali menghampirinya, debaran jantung Alana pun semakin menderu dan Alana siap membuka cinta untuk Brian. “Alana, apa aku boleh minta satu permintaan?” tanya Brian memastikan. Alana membelalakan mata, 1 permintaan? Apa yang Brian inginkan dari Alana? Ya Allah, mengapa secepat itu Brian meminta pada Alana. Apakah Alana sanggup menuruti permintaan Brian. “Alana,” panggil Brian lagi. Alana tersadar dan mengulum senyum. “Pasti kak. Kakak mau apa?” “Aku pengen penampilanmu lebih feminim. Besok ke kampus pakai baju feminim ya,” pinta Brian, membuat Alana tersedak. “Sorry Alana.” Brian buru-buru memberikan minum pada Alana. “Nggak papa kok kak. Eumm... kenapa kakak minta itu?” tanya Alana balik, dia penasaran alasan Brian meminta itu. “Aku nggak maksa kamu sepenuhnya berubah menjadi feminim Alana. Kamu boleh tetap pakai motor gede atau hobi kamu, ya paling nggak aku pengen kamu berpakain feminim di satu kesempatan setiap harinya. Misalnya saat ke kampus karena aku pengen antar jemput kamu,” jelas Brian lembut. Alana tak langsung menjawab, butuh beberapa menit menjawab permintaan Brian. Apalagi permintaannya terbilang berat, bagaimana bisa dalam sekejap merubah penampilannya. Walaupun hanya di kampus, tetapi semua pakaian feminim Alana telah di sumbangkan ke orang yang membutuhkan. Belum lagi, sudah bertahun-tahun Alana tak berpenampilan feminim. Alana harus memulai dari nol kembali. “Kalau kamu keberatan, aku nggak maksa kok. Kamu bisa melakukannya setelah siap,” ucap Brian mengalah. Alana memandang Brian, semua nasihat Vita dan Keyla menyeruak di pikirannya. Nasihat yang mengatakan agar Alana menuruti semua kemauan Brian karena malam ini malam penentuan Alana siap membuka hati atau tidak, jika Alana menyia-nyiakannya maka pelabuhan cinta Brian bisa gagal pada Alana. “Sama sekali nggak kak. Eumm.. tapi jangan besok ya kak, soalnya pakaianku yang feminim udah nggak ada. Eum... aku minta satu minggu buat persiapin ya kak,” ucap Alana mengulum senyum. Brian mengulum senyum. “Oke! Aku setuju.” Alana mengulum senyum, dia melanjutkan makannya. Alana berharap keputusannya merubah penampilan sudah benar, dia tak ingin mengecewakan Brian dan mengabaikan nasihat sahabatnya. “Kamu pasti bisa Alana. Ayo bangkit, lupain masa lalumu yang kelam.” Batin Alana menguatkan dirinya sendiri. *** “Kenapa aku jadi mikirin Alana terus ya,” lirih Diaz sesaat di sela-sela makan malamnya bersama sang mama dan Alvar. “Apa bro?” tanya Affar seolah mendengar ucapan Diaz. “Apa?” Diaz malah balik bertanya heran. “Ya kamu tadi ngomong apa, aku kaya denger nama eumm.. Alana,” tebak Alvar menggoda Diaz. “Siapa yang ngomong kaya gitu, tadi aku Cuma ngucap makanan Mama enak banget. Ngarang kamu,” elak Diaz mentah-mentah. “Bukan! Aku yakin tadi kamu ngucap ada nama Alana,” Alvar tak mau kalah, dia yakin pendengarannya tidak salah. Diaz kesal karena Alvar mendengar ucapannya, padahal dia mengucapkannya pelan. Sang mama saja tak mendengar, bagaimana sepupunya itu mendengar? Apakah sepupunya itu memiliki pendengaran ganda. Ya Tuhan, Alvar merutuki kebodohannya sendiri karena mengucapkan nama ‘Alana’di depan Alvar. “Sudah sudah, kenapa kalian jadi berdebat. Ntar nafsu makannya hilang,” ucap Bu Maria menenangkan Alvar dan Diaz. “Alvar yang mulai Ma,” sahut Diaz kesel. “Enak aja! Tadi aku beneran dengar nama Alana. Makanya penasaran tanya,” Alvar tak terima disalahkan. Dia masih sangsi dengan pendengarannya. “Ya udah, jangan dibahas lagi,” pinta Bu Maria. “Iya, maafin aku Ma,” sesal Diaz. Bu Maria mengangguk, dia menatap Diaz seraya melemparkan seulas senyum. “Oya Nak, besok sore kamu ada acara nggak?” tanyanya antusias. “Nggak ada Ma. Memangnya kenapa? “Tolong anterin Mama ya. Mama mau ke rumah Om Danu,” pinta Bu Maria lembut. “Iya Ma, nanti aku anterin ya,” sahut Diaz, lalu menyendokkan nasi dengan lauk rawon ke mulutnya. *** Setelah dua jam menikmati makan malam bersama, Alana merasa waktunya bersama Brian sudah habis. Apalagi jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Alana pun mengutarakan keinginannya untuk pulang walaupun masih ingin bersama Brian. “Kak Brian, maaf nih. Apa kita pulang aja?” tawar Alana ragu. “Kamu udah pengen pulang Alana?” Brian balik bertanya, padahal dia masih betah bersama Alana. “Ya enggak sih Kak. Cuma udah malam, kamu pasti kecapean. Besok kan kamu banyak pekerjaan,” nasihat Alana bijak. Brian menganggukan kepala. “Kamu bener Alana. Masih banyak waktu untuk pergi, oke. Aku selesaikan makanannya dulu ya, sayang,” ucapnya diakhiri dengan tawanya yang khas. Alana seakan kehabisan oksigen memandang wajah tampan Brian, bahkan tawanya yang khas meluluhkan hati Alana. Jantung Alana pun kembali menderu seakan genderang mau perang, andai saja dia bisa lebih lama bersama Brian. Pastinya Alana akan bersemangat menjalani kuliah kedokterannya. “Janji deh, kalau bisa dekat dengan Brian bakalan belajar lebih giat.” Batin Alana. “Oya Alana, kamu bahagia kan ambil kedokteran?” tanya Brian membuat Alana kembali tersedak. “So-sorry Kak.” Alana buru-buru mengambil air mineral di hadapannya dan meminumnya pelan. Alana menelan ludah karena Brian seakan mengetahui isi hatinya, setelah dia berucap dalam hati. “Sory ya jadi keselek deh,” sesal Brian. “Nggak papa kok Kak. Eumm... aku bahagia kok Kak,” sahut Alana berbohong. Brian tersenyum. “Iya, aku minta kamu fokus kuliahnya ya. Banyak loh orang yang berambisi masuk kedokteran tapi gagal, bahkan banyak yang menyuap. Tapi kamu enggak, kamu bisa masuk kedokteran dengan kecerdasanmu,” kagumnya. “Iya Kak, Alhamdulilah,” sahut Alana cepat. Alana merasa bersalah telah membohongi Brian, padahal dia tak pernah sungguh-sungguh menjalankan tugasnya sebagai mahasiswa kedokteran. Hanya keberuntungan yang Alana dapat karena selalu mendapat nilai baik, padahal Alana berusaha agar nilainya anjog. Entahlah... Mungkin Allah SWT menakdirkan Alana kuliah kedokteran sehingga dia cerdas walaupun tak belajar. “Ya udah, pulang yuk. Lain waktu, jangan nyesel ya aku ajak jalan lagi,” ucap Brian terkekeh. “Kak Brian bisa aja,” sahut Alana tersipu malu. Brian bangkit dan menggandeng Alana, mereka berjalan keluar Restoran. Sementara Alana bahagia karena makan malamnya berjalan lancar tanpa hambatan. “Ya Allah, terima kasih untuk kebahagiaan malam ini.” Batin Alana. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN