Bab 23

1964 Kata
Alana dan Diaz menggunakan motor beriringan, namun Alana menyalip Diaz. Sontak Diaz tak terima karena Alana malah mengajaknya balapan, dia balik menyalip Alana karena khawatir pada keselamatan Alana. “Alana, pelankan motormu. Bahaya,” pinta Diaz cepat. “Enggak! Aku pengen kita balapan,” sahut Alana mantap. “Aku nggak mau. Bahaya Alana, kamu nggak boleh kebut-kebutan,” nasihat Diaz bijak. Alana terkekeh. “Justru ini seru, ternyata kita sering balapan tapi tidak saling mengenal. Pokoknya, siapa yang kalah wajib traktir besok,” ucapnya lalu menambah kecepatan motornya. “Alana,” panggil Diaz khawatir, lalu menyalip Alana. Selama 5 menit, Alana dan Diaz saling menyalip. Alana merasa malam ini menjadi malam terindah setelah bertahun-tahun hidup dalam keterpurukannya. Bahkan, Alana merasa bersama Diaz lebih tenang dibanding bersama Brian. Sayangnya, Alana lebih mencintai Brian dan ingin menjadi kekasihnya. “Akhirnya sampai juga,” ucap Alana masuk gerbang rumahnya dengan bantuan satpam rumah Alana.  “Lain kali jangan ngebut lagi,” pinta Diaz seraya membuka helm dan menghampiri Alana. Namun, Alana malah terkekeh penuh kebahagiaan. Alana malah meninggalkan Diaz dan menghampiri satpam rumah Alana yang bernama Uya. Uya pun langsung menunduk karena Alana selalu memintanya tutup mulut setiap Alana pulang balapan. “Kenapa Uya? Kok mukanya udah nunduk gitu?” sapa Alana menggoda Uya. “Seperti biasa kan Non, Uya nggak boleh cerita ke Ibu kalau Non Alana habis balapan,” sahut Uya percaya diri. “Nah tuh tau, tapi kali ini kamu dapat bonus.” Alana mengambil dompet di saku celana jeansnya, lalu menyodorkan uang seratusan berjumlah 10. “Nih ambil,” pintanya cepat. “Ya Allah Non, uang sebanyak itu buat apa?” tanya Uya memandang uang itu. Baru kali ini Uya melihat uang sebanyak itu, apalagi dari Alana sang anak majikannya. “Ya buat kamu lah. Yang penting jangan ember ya, jangan sampai Mama tau,” pinta Alana memandang Uya tegas. “Udahlah Non, nggak usah sogok Uya. Kan tiap hari Non pulang balapan pun aman,” ungkap Uya karena tak enak hati diberikan uang sebanyak itu. “Nggak papa, aku lagi bahagia aja. makanya terima.” Alana akhirnya menaruh uang di telapak tangan Uya karena Uya tak kunjung menerimanya. “Tidur gih, Mama pulangnya besok,” pintanya seraya berjalan memasuki rumah. “Jadi Tante Rista nggak tahu kamu balapan?” tanya Diaz membuat langkah Alana terhenti. Alana menggeleng. “Kalau nyokap tau, mana boleh.” Diaz duduk di kursi yang ada di teras rumah, Alana pun duduk di kursi kayu dengan meja oval. Diaz langsung menajamkan pandangannya pada Alana, berharap Alana menuruti kemauan Diaz. “Aku saranin sih kamu coba deh hentikan kebiasaan balapan kamu,” saran Diaz hati-hati. “Nggak bisa Diaz. Justru dengan balapan aku bisa tenang, aku bisa lupain semua masalahku,” sahut Alana. “Tapi kamu wanita Alana, sangat berbahaya jika malam-malam keluyuran di luar,” Diaz berusaha menghentikan kebiasaan balapan Alana, namun Alana memasang wajah murka. “Aku pikir kamu bakal dukung aku balapan. Kita bisa balapan bareng dan melakukan semua tentang balapan, aku sudah lega punya temen yang sama-sama suka balapan. Ternyata aku salah,” ucap Alana kecewa dengan sikap Diaz. Bukannya mendukung hobi Alana, Diaz malah meminta Alana berhenti balapan. “Maksudku bukan kaya gitu, aku,” “Udahlah. Percuma.” Alana langsung memotong ucapan Diaz, dia beranjak masuk rumah. Saking kesalnya dia menyenggol Vita dan Keyla yang berdiri di ambang pintu. “Alana kenapa?” tanya Vita memandang Alana yang masuk dan berjalan ke lantai atas. Vita dan Keyla heran melihat sikap Alana, mereka keluar dan duduk bersama Diaz. Diaz pun terkejut karena Vita dan Keyla menginap di rumah Alana. “Kalian ternyata nginep disini,” ucap Diaz ramah. “Tante Rista lagi tugas, kita di suruh temenin Alana di rumah,” sahut Vita cepat. “Diaz, aku heran deh. Tadi Alana pamit mau balapan, tapi kenapa pulangnya sama kamu ya?” tanya Keyla seraya mengernyitkan kening. Diaz menghela napas panjang, dia menceritakan awal pertemuannya dengan Alana di arena balap. Penjelasan Diaz membuat Keyla dan Vita shock, mereka saling memandang karena Diaz dan Alana memiliki hobi yang sama. “Kok dunia sempit banget ya, kalian ternyata punya hobi yang sama,” kagum Vita seraya berdecak pelan. Sementara Keyla tampak menerka-nerka sikap Alana yang penuh amarah. Dia memandang Diaz penuh arti. “Terus kenapa Alana ngambek, padahal pas kita ngintip kalian ngobrol sama Pak Uya dia baik-baik saja.” “Oh itu.. Dia marah karena aku suruh berhenti balapan. Terus marah-marah deh masuk,” jelas Diaz. “Pantaslah dia marah. Kita yang tiap hari minta dia berhenti balapan aja diamuk terus, bertahun-tahun kita bujuk tapi selalu gagal,” kenang Keyla. Diaz tampak berpikir, apakah balapan Alana berkaitan dengan masa lalunya yang kelam? Sepertinya banyak rahasia kelam Alana. Diaz memandang Vita dan Keyla dalam, sepertinya Diaz harus mencari informasi masa lalu Alana dari 2 gadis itu. Namun, siapakah yang bisa dipercaya? Vita atau Keyla? “Woi, kenapa malah nglamun?” tanya Keyla menepuk bahu Diaz. “Eh nggak,” sahut Diaz gugup. Vita merangkul Keyla seraya mengedip-ngedipkan matanya. Keyla pun mengetahui kalau sahabatnya itu pasti ingin tidur karena tak bisa tidur di atas jam 3. “Ya udah sana tidur, tapi tenangin Alana. Jangan sampai ngambeknya sampai pagi,” ucap Keyla mengetahui keinginan Vita. Vita terkekeh. “Asik, makasih ya.” Vita memandang Diaz seraya mengulum senyum. “Aku duluan ya, ngantuk,” ucapnya lalu masuk. Sementara Diaz menatap punggung Vita dan pandangannya beralih pada Keyla. Walaupun Vita dan Keyla selalu bersama, tetapi mereka memiliki perbedaan karakter. Diaz yakin Keyla lebih bisa dipercaya dan bijaksana dalam mengambil keputusan. “Diaz, lagi mikirin apa sih? Liatin aku aneh gitu,” sapa Keyla seraya memainkan ponselnya. “Sebenarnya aku penasaran sama masa lalu Alana. Aku ngerasa dia menahan beban berat sampai-sampai jerumusin diri ke balap liar,” sahut Diaz, membuat Keyla gelisah. “Eumm.. kayaknya nggak baik deh kita masih ngobrol gini. Udah pagi buta, ntar tetangga Alana ngira teman-temannya bukan anak baik-baik.” Keyla enggan membuka masa lalu Alana, dia malah bangkit dan hendak masuk. “Key, tunggu. Aku pengen ngobrol sebentar,” pinta Diaz menahan Keyla masuk rumah. Keyla tersenyum. “Sory ya. Lain kali aja ya ngobrolnya, maaf,” ucapnya ragu lalu menutup pintu. Diaz berusaha menahan amarahnya karena Keyla berani menutup pintu, padahal jelas-jelas dia ingin berbicara dengan Keyla. Otomatis, secara langsung Keyla mengusir Diaz. Namun Diaz berusaha sabar, mungkin malam ini bukanlah waktu pas membahas masalah Alana. “Aku yakin Keyla bisa dipercaya. Aku akan cari informasi dari dia,” ucap Diaz lalu beranjak pulang. *** “Alana, kenapa kamu ngambek depan Diaz sih? Kalian lagi berantem?” tanya Vita duduk di samping Alana di tempat tidur. “Aku kesel sama dia. Sekalinya dia tahu aku hobi balapan, langsung minta berhenti balapan. Memangnya dia siapa berani ngatur hidupku,” sahut Alana seraya mengerucutkan bibir kesal. “Kenapa kalian bisa ketemu?” tanya Vita penasaran. Alana menghela nafas panjang, kemudian mulai bercerita. “Ternyata dia juga suka balap liar, bahkan tanpa kita sadari sering balapan. Aku nggak nyangka deh hobi kita sama, tapi kesel karena permintaan mustahilnya.” Cekrekkk.... Alana dan Vita menoleh ke arah pintu, dilihatnya kepala Keyla menyembul di abang pintu dengan senyuman lebar. Alana bernapas lega karena mengira yang datang adalah sang mama, ternyata sahabatnya. “Aku kira kalian udah tidur,” ucap Keyla cengengesan. “Belum ngantuk,” sahut Alana cepat. “Key, kenapa masuk. Emangnya Diaz udah pulang?” tanya Vita heran. “Udah kok.” Keyla berjalan cepat menghampiri Alana, memandang wajah sang sahabat. “Ceritain dong kenapa bisa ketemu Diaz, hebat banget deh ketemu 2 cowok dalam satu malam,” lanjutnya bangga. “Males ah. Mendingan kita tidur aja, ceritanya kalau moodku baik.” Alana mengakhiri obrolan, dia berbaring di atas bed cover dan menenggelamkan tubuhnya dalam selimut tebal. “Tidur gih,” pinta Keyla menatap Vita. “Emangnya kamu nggak tidur?” Vita malah balik bertanya. “Ini mau tidur,” ucap Keyla lalu berbaring dan memejamkan matanya. *** Keesokan harinya, Alana dan kedua sahabatnya bersantai di kantin kampus. Mereka lahap menyantap bakso di hadapan mereka lelah mengikuti materi yang diberikan dosen. Namun, Alana mendadak teringat permintaan Brian yang memintanya mengenakan pakaian feminim. Apakah dia sanggup menuruti kemauan Brian atau tidak. “Alana, kenapa ngelamun lagi?” tanya Keyla penasaran. “Nggak papa kok, aku lagi pusing aja sama praktek tadi. Ternyata jadi dokter berat ya,” sangkal Alana mengalihkan pembicaraan. “Udah deh nggak usah bohong. Cerita aja sama kita, kita bakalan tutup mulut kok,” timpal Vita yakin. Dia penasaran apa yang dipikirkan Alana. Alana menghela nafas panjang, apakah dia ceritakan kebenarannya pada 2 sahabatnya? Tapi, apa Vita dan Keyla bisa dipercaya dan bisa mencari jalan keluar dari kegundahannya menjadi feminim atau tidak. “Alana,” panggil Keyla sekali lagi. “Oke, aku akan ceritain. Tapi nggak disini karena terlalu rawan,” ucap Alana. Dia tak bisa menyimpan permintaan Brian seorang diri, jika membicarakannya dengan Vita dan Keyla mungkin hatinya lebih tenang. “Oke,” sahut Keyla dan Vita serentak. Alana hendak menyuapkan bakso di mulutnya, namun tertahan karena melihat kehadiran Diaz. Diaz pun melihat Alana dan berjalan menghampiri Alana, tentunya Alana kesal karena masih marah akan sikap Diaz yang seenaknya minta berhenti balap liar. “Eumm Vit, aku ke toilet dulu ya,” Keyla ikutan takut bertemu Diaz karena khawatir Diaz meminta penjelasannya akan masa lalu Alana. Keyla pun buru-buru pergi menghindari Diaz. “Lho kok ditinggal. Aku duluan ya guys.” Vita menyeruput es jeruk di hadapannya, dia buru-buru pergi mengejar Keyla. Sementara Alana enggan memandang wajah Diaz karena masih kesal dengan sikapnya. Namun, Diaz justru duduk di hadapan Alana dan menatap wajah gadis itu tajam. “Maaf,” ucap Diaz merasa bersalah. “Buat apa?” tanya Alana kesal. “Maaf karena semalam aku egois minta kamu berhenti balapan. Padahal aku nggak tahu apapun, aku janji nggak akan mengekang atau memintamu berhenti hal yang kamu suka. Yang penting kamu bahagia dan tetap dalam batas wajar,” ucap Diaz lembut. DEG! Alana terlonjak kaget mendengar ungkapan Diaz. Alana tak menyangka seorang Diaz akan berbesar hati dan meminta maaf, padahal jelas-jelas Alana yang marah dan meninggalkan Diaz sendirian. Namun Diaz justru berbesar hati dan mendukung hobi Alana. “Iya,” sahut Alana malas. “Jangan ngambek lagi dong, kan aku udah minta maaf. Kamu maafin aku kan?” Diaz masih penasaran apakah perminta maafannya diterima atau tidak. Dia masih penasaran karena sikap Alana masih ketus. Alana menghela nafas panjang. “Aku udah maafin kamu, Diaz,” sahutnya penuh penekanan. “Nah gitu dong. Tapi kamu harus janji, kamu harus jaga diri baik-baik dan nggak boleh terluka sedikitpun. Oya, setiap pulang balapan harus aku antar,” ucap Diaz berwibawa, “Lho, kok gitu?” protes Alana. “Iya dong. Aku nggak mau temanku yang satu ini yang unik terluka. Kamu boleh melakukan apapun yang kamu sukai, asalkan kamu bahagia dan tetap mawas diri.” Alana akhirnya mengangguk dan mengulum senyum. Dia bersyukur bisa mengenal Diaz, walaupun Diaz terkadang menyebalkan tetapi hatinya lembut dan penuh kasih sayang. Andai saja Brian bersikap seperti Diaz yang tak memaksakan keinginan agar Alana berpenampilan feminim, mengapa Brian tak bersikap Diaz dan mendukung penampilan tomboy Alana. Toh nyatanya Alana menjadi tomboy untuk mengelabui masa lalunya yang kelam. “Satu lagi, kamu harus belajar bela diri. Aku ajarin,” pinta Diaz membuyarkan lamunan Alana. “Eh, aku udah jago bela diri ya. justru kamu pasti kalah,” tantang Alana tak terima dianggap wanita lemah. “Nggak percaya sebelum aku lihat sendiri. Pokoknya ntar sore kita belajar bela diri,” keukeuh Diaz. Alana mendengus kesal karena permintaan Diaz semakin menjadi, namun Alana bersedia mengikuti peraturan Diaz. Yang terpenting hal tersebut termasuk hobi Alana dan tak sulit melakukannya. “Kita belajar di rumahku,” pinta Alana cepat. “Oke,” sahut Diaz mantap. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN