Bab 26

1353 Kata
Setelah melewati perjalanan selama 2 jam, Diaz dan Alana sampai di kawasan pegunungan. Diaz memarkirkan motornya di area parkir, dia memandang Alana yang tengah menjamah pandangannya.  "Udaranya sejuk banget kan, cocok nih buat melepas semua penat," ucap Diaz lembut.  "Iya, kita naik yuk. Sumpah sejuk banget," sahut Alana, lalu berjalan menaiki bukit.  "Alana, tunggu dong." Diaz berdecak kesal karena ditinggal Alana, dia berlari mengejar Alana naik ke bukit.  Selama menaiki bukit, Diaz kerap memperhatikan Alana. Diaz bahagia karena bisa membuat Alana kembali tersenyum setelah Alana bersedih, bahkan dirinya pun ikut bahagia dan berdamai dengan takdir.  "Huh, akhirnya sampai juga ya," ucap Alana seraya mengelap keringat di keningnya. Dia bahagia telah sampai di atas bukit dengan pemandangan alam yang mempesona.  "Mau aku fotoin?" tawar Diaz seraya memegang ponselnya.  Alana terkekeh. "Ogah! Aku bukan Vita atau Kayla yang narsis ya," enaknya cepat.  Diaz duduk di samping Alana dan memandang pemandangan alam. "Bukannya gitu, jarang kan kita ke sini. Apalagi pemandangannya bagus banget, masa sih kamu nggak pengen ada kenangan." Alana tampak berpikir, lalu menganggukan kepala. "Oke, tapi sama kamu ya," pintanya memelas.  "Oke." Alana pun mempersiapkan dirinya, berpose sesuka hati. Sementara itu Diaz mulai membidik Alana, mengambil foto Alana dalam berbagai gaya. Diam-diam, Diaz memperhatikan wajah Alana dalam ponselnya, senyuman gadis itu begitu mempesona dengan kecantikan yang alami. Begitu indah makhluk ciptaan Allah di hadapan Diaz, jantung Diaz sampai berdebar menyaksikan kecantikan alami Alana.  "Maaf Mas, bisa tolong fotoin kami?" Alana menghadang sepasang kekasih yang melintas, dia meminta pertolongan.  "Boleh Mbak," sahut sang laki-laki.  Alana pun langsung mengeluarkan ponsel dari saku jeansnya dan menyerahkannya pada laki-laki itu. "Diaz, sini," pintanya seraya melambaikan tangan.  Diaz menelan ludah karena Alana beraninya meminta orang lain memfotonya bersama Alana. Namun Diaz hanya bisa pasrah, biarlah hari ini menjadi kebahagiaan Alana. Dia akan menjadikan Alana ratu hari ini dan memberikan apapun yang Alana mau.  "Oke tuan putri," sahut Diaz terkekeh. Dia menghampiri Alana dengan raut wajah bahagia.  Alana dan Diaz berdampingan, mereka mengekspresikan berbagai gaya. Raut wajah mereka penuh kebahagiaan, tanpa kesedihan di wajahnya.  "Sudah Mbak, ini hpnya," ucap sang perempuan menyerahkan ponsel pada Alana.  "Makasih ya Mbak Mas, udah bantuin kami," sahut Alana mengulum senyum.  "Sama-sama Mbak. Kalau begitu kami permisi ya," pamit Sanh perempuan lalu pergi bersama sang kekasih.  Kini giliran Alana dan Diaz, keduanya malah tersipu malu karena gaya foto bebas yang mereka ekspresikan. Namun Diaz mencairkan suasana karena tak tahan berdiam terlalu lama.  "Alana, kamu coba teriak sekencengnya deh," perintah Diaz, dia menggandeng lengan Alana dan mengajaknya ke tepi bukit.  "Malu ah, ntar dikiranya gila," tolak Alana cepat.  "Ngapain mikirin orang lain, mereka nggak berhak melarang atau hujat kamu. Toh kita nggak minta makan dari mereka, sedih pun kita tanggung sendiri kan," ungkap Diaz dengan tegas.  "Iya sih, ya udah tapi bareng ya teriaknya," pinta Alana memelas.  Dias mengangguk. "Ayo," ajaknya.  "Aaaaaaaaaaaaaaaaa," teriak Diaz dan Alana serentak.  "Tuhan, izinkan aku bahagia. Jangan kau ambil semuanya sebelum doaku terkabul," pekik Diaz penuh harapan, pandangannya memandang lurus perbukitan.  Sementara Alana tak bergeming mendengar teriakan Diaz, bulu kuduknya langsung berdiri merasakan aura teriakan Diaz. Teriakan itu seperti doa yang Diaz panjatkan.  "Hey, kenapa malah liatin aku," ucap Diaz memandang Alana, menyadari Alana tengah memperhatikannya.  "Eh, enggak kok. Aku bingung mau teriak apa," enaknya cepat.  "Nggak usah bingung. Kamu bisa teriak apapun itu, khususnya apa yang kamu rasain biar nggak mengganjal di pikiran dan jadi beban," saran Diaz lembut.  Alana mengangguk, dia mempersiapkan dirinya untuk berteriak. Alana mengatur pernapasannya agar suaranya lantang.  "Ya Tuhan, izinkan aku bahagia dengan caraku sendiri. Aku ingin menjadi pribadi sendiri, aku nggak suka di paksa-paksa," pekik Alana diiringi senyuman manis.  Diaz memperhatikan Alana, sepertinya Alana tengah menghadapi masalah. Andai Alana mau menceritakan apa masalahnya, dia pasti membantu Alana semampunya. Sayangnya Alana bukan tipe wanita yang mengumbar perasaannya, dia akan menyimpan semua rahasianya sendiri.  "Gimana Alana?  Udah plong kan," tebak Diaz lembut.  Alana mengangguk. "Makasih ya Diaz, sekarang pikiran sama hati aku lebih tenang."  "Sama-sama. Kita makan yuk, tuh ada warung," ajak Diaz seraya menunjuk warung di area perbukitan.  Alana mengangguk, kemudian mengekor mengikuti Diaz ke warung makan. Alana duduk di samping Diaz, suasana warung makan yang hanya beralaskan tikar tanpa kursi membuat Alana nyaman. Ternyata Diaz pintar juga mengajak Alana jalan-jalan yang disukai Alana, pikir Alana.  "Maaf Mas, Mbak, mau pesan apa?" tanya pelayan wanita paruh baya yang menghampiri meja Alana dan Diaz.  "Ikan bakar," sahut Alana dan Diaz serentak.  "Wah Mbak sama Masnya kompak banget ya. Kalian pasangan serasi banget deh," goda sang pelayan mengulum senyum.  "Bu-bukan Bu, kami cuma teman kok," elak Alana cepat.  "Bener Bu, masa pesen barengan langsung di bilang punya hubungan hehe," timpal Diaz terkekeh.  "Saran Ibu sih kalian jadian aja nggak papa. Pasti masih pada jomblo kan . datangnya barengan, kalian itu mirip tau. Banyak banget kesamaannya," saran Bu warung berbinar-binar.  "Bisa aja sih Bu," sahut Alana tersipu malu.  "Sebentar ya. Ibu buatkan pesanannya dulu, kalau minumnya apaapa?" tanyanya sekali lagi.  "Es  jeruk," sahut Alana dan Diaz serentak.  Ibu warung terkekeh karena Alana dan Diaz kembali kompak, namun Alana dan Diaz malah kikuk dan saling mengalihkan pandangan karena malu.  "Eum…  Alana, Mama kamu nggak marah kan aku ajak kesini?" tanya Diaz membuka obrolan, dia ingin mencairkan suasana yang mendadak membeku.  "Nggak dong. Kamu sendiri kok bisa mengelabuhi Mami kamu, bisa ngga ketahuan ikut balap liar. r. Kalau beliau tahu pasti berimbas panjang, pasti kampus ikut kena imbasnya," ucap Alana tegas, seolah menyudutkan Diaz.  Diaz mengangguk. "Aku tahu dan sudah memikirkan itu sejak lama. Tapi apapun yang kita lakukan pasti ada konsekuensinya, baik tindakan baik maupun buruk. Untuk balap liar memang buruk dan memberikan persepsi miring, tapi dengan itu aku bisa bahagia. Walaupun kebahagiaan itu hanya sementara, tapi bisa menghambat kekecewaan. " Hati Alana bergetar hebat mendengar ucapan Diaz. Persepsi Diaz serupa dengannya, ternyata dia  dan Diaz sama-sama orang yang haus kasih sayang. "Mungkin ada masa lalu yang buat dia terjun ke dunia balap." Batin Alana.  Ibu warung dan 1 pelayan menghampiri meja Diaz dan Alana  seraya membawa makanan dan minuman. Mereka meletakkan makanan dan minuman di meja dengan ramah.  "Silahkan di nikmati Mbak, Mas," ucap sang pelayan ramah.  "Makasih ya Bu," sahut Alana tersenyum.  Alana dan Diaz mengulum senyum, kemudian berdoa dalam hati dan menyantap makanan masing-masing. Sesekali, Alana memperhatikan Diaz yang melahap makanan tanpa sambal.  "Kok sambelnya nggak dimakan, biasanya minta yang pedes," tanya Alana heran.  "Eum…  lagi nggak pengen aja," sahut Diaz mengulum senyum.  Diaz ragu-ragu melirik Alana dengan skor matanya, sebenarnya alasannya tak memakan sambal karena mendapat peringatan dari dokter. Dokter menyarankan tidak menyantap makanan pedas untuk kesehatan tubuh Diaz, dia tak ingin kesehatannya menurun sebelum dipertemukan dengan cinta masa lalunya.  Alana meletakkan sendok karena mendengar dering ponselnya, dia menatap nama 'Keyla' tertera di layar ponsel. "Ngapain sih Kayla nelpon." Batin Alana.  "Kok nggak diangkat?" tanya Diaz penasaran.  "Bentar ya aku angkat dulu," pamit Alana, lalu menjauh dari Diaz.  Alana berdiri di antara pepohonan yang rindang, dia menempelkan ponsel pada telinganya. Namun, langsung kesal karena Keyla tak hentinya berbicara.  "Alana, kamu kemana aja sih sama Kak Brian. Nggak tau apa aku sama Vita khawatirin kamu, kita nggak bisa makan nggak bisa minum mikirin kamu. Kamunya enakan pacaran sama Kak Brian," cerocos Kayla di seberang sana.  "Udah ngomongnya? Boleh aku membela diri?" ucap Alana kesel.  Kayla terkekeh. "Iya sorry ya." Alana menghembuskan napas panjang. "Ceritanya di rumah aja ya, aku nggak mood bahas itu. " Lho, emangnya kenapa? Kak Brian nyakitin kamu atau kamu buat masalah?" tebak Kayla penasaran.  "Intinya ntar aja ceritanya. Aku lagi di bukit sama Diaz," ucap Alana cepat, kemudian mematikan sambungan telepon sebelum Kayla melontarkan perkataan.  Alana berdecak kesal dengan sikap ingin tahu Kayla, dia memilih tak menceritakan pertemuannya dengan Brian. Menurut Alana pertemuan itu menyisakan luka karena sikap acuh tak acuh Neva, saat ini Alana ingin menikmati momen kesejukan dan keindahan alam bersama Diaz.  "Ganggu nikmatnya makan aja Keyla" gerutu Alana, lalu menghampiri Diaz.  "Makannya abisin gih terus pulang," perintah Diaz lembut.  Alana mengulum senyum. "Iya."  Diaz memandang Alana beberapa saat, tak terasa kebersamaan dengan Alana sudah berakhir. Padahal dia masih betah menemani Alana. "Ya Allah, semoga pertemuan seperti ini ada lagi agar aku sejenak melupakan rasa sakit ini." Batin Diaz.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN