Bab 25

1611 Kata
Alana masuk ke ruang kostum bersama Bu Hilda dan Brian. Alana menjamah pandangannya ke segala penjuru, dia berdecak kagum pada ruangan yang mewah dan elegan. Pandangan Alana terkunci pada wanita yang berpenampilan anggun, tubuh semampainya membuat kecantikannya semakin terpancar. Ditambah lagi rambut panjangnya dengan ujung rambut di curly, wajahnya pun putih bersih membuat Alana mundur satu langkah. Sebagai wanita, Alana merasa malu dan tak pantas berkumpul dengan orang besar.  "Neva, kamu sibuk nggak sayang?" tanya Bu Hilda seraya menghampiri Neva, kakak perempuan Brian.  "Sesibuk-sibuknya aku, selalu ada waktu buat Mami. Emangnya ada apa Mi," sahut Neva ramah.  "Mami minta tolong, kamu cariin pakaian yang pas buat Alana ya," ungkap Bu Hilda, meraih lengan Alana dan membuat Alana berdiri di hadapan Neva.  Neva tak berkomentar, dia hanya memandang Alana dari ujung kaki sampai kepala. Awalnya raut wajahnya memang ramah saat berbicara dengan Bu Hilda, namun saat memandang Alana berubah jutek. Bahkan, sorot matanya tampak menghina penampilan jadul Alana.  "Memangnya, apa yang perlu diubah Mi? Wanita ini siapanya Mami?" tanya Neva merasa kalau penampilan Alana tak harus di rubah.  "Alana temen aku Kak. Ubah penampilannya ya, biar makin cantik," ucap Brian menggoda sang kakak.  Neva menghela napas. "Oke, kamu ikut saya pilih dress." Neva langsung melenggang pergi tanpa memandang Alana, tentunya membuat nyali Alana menghilang.  "Alana, ikutin Neva gih," perintah Bu Hilda ramah.  Alana mengulum senyum, dia akhirnya berjalan mengejar Neva. Alana merutuki dirinya karena bersedia menemui keluarga Brian, mendadak hatinya ragu mengenal Brian lebih jauh karena sikap angkuh Neva. Neva pasti menolak mentah-mentah jika adiknya menjalin hubungan dengan gadis sederhana yang tak pandai merias diri. "Harusnya aku nggak kesini, mending balapan daripada tertekan kaya gini." Batin Alana. Sementara itu, Neva berdiri di deretan dress malam yang indah dan mempesona. Neva langsung mengambil dress berwarna hitam dan menyerahkannya pada Alana tanpa mengucapkan sepatah katapun.  "Aku pakai Kak?" Alana akhirnya bertanya lebih dahulu karena Neva hanya memandangnya dengan tatapan tak suka.  Neva hanya mengangguk, kemudian dia memainkan ponselnya seraya bersandar di dinding yang berwarna cream tua. Alana pun dengan ragu masuk ke ruang ganti dan dan keluar dalam hitungan detik memakai dress itu.  "Sudah Kak," ucap Alana seraya mengulum senyum.  Lagi-lagi Neva tak langsung berkomentar, hanya memandang Alana dari kaki sampai kepala. Kemudian berdecak kesal karena melayani Alana seperti mendapat beban berat.  "Nggak cocok ya Kak," ucap Alana lagi.  Neva menghembuskan napas kesal. "Banget! Mending kamu di rumah belajar pakai high heels dulu deh, latihan tuh naruh buku tebal di kepala biar hafal. Setelah itu datang kesini lagi," ucapnya ketus lalu melenggang pergi tanpa berpamitan dengan Alana.  Hati Alana teriris mendapat perlakuan tak suka dari Neva. Hatinya hancur dan keinginannya menjadi kekasih Brian sepertinya langsung kandas karena penolakan tegas dari Neva. Alana mendongak ke atas dengan tujuan menghalau buliran bening yang menggenang di matanya. Apakah Alana memang tak ditakdirkan tak boleh merasakan indahnya cinta? Apakah keputusan Alana membuka hati salah?  Ya Allah, sakit banget," lirih Alana.  "Alana," panggil Brian seraya menghampiri Alana. Brian mengulum senyum dan kagum memandang Alana mengenakan dress. "Kamu cantik banget Alana," pujinya sampai tak berkedip.  "Bisa aja Kak Brian. Eumm aku pulang dulu ya Kak, ada urusan," pamit Alana menutupi kesedihannya.  "Aku anter ya," tawar Brian cepat.  Alana mengulum senyum. "Makasih Kak, tapi pakai Taxi online aja aku. Kebetulan nggak terlalu jauh kok dari sini." "Ya udah kamu hati-hati ya. Kalau butuh sesuatu langsung kabari aku," pinta Brian tulus.  "Iya, aku duluan ya," pamit Alana dengan hati yang hancur.  *** Alana memilih menyendiri di taman Grenada di kawasan Jakarta Timur. Dia duduk di kursi taman dengan pandangan kosong, ternyata kembali membuka hati membuatnya terluka. Padahal Alana dan Brian belum ada ikatan, namun hatinya sudah terluka karena sikap Neva.  Sementara itu, di sisi berbeda tampak Diaz memegang 2 es krim Cornetto dan 2 balon berwarna biru dan pink. Diaz sebenarnya enggan menghampiri Alana karena gengsi menghampiri Alan membawa balon dan es krim.  "Samperin kali ya, kayaknya dia lagi sedih banget. Kasian juga sendirian," ucap Diaz pada dirinya sendiri. Diaz akhirnya menghampiri Alana dan berdiri di hadapan Alana.  Alana yang mengetahui kedatangan Diaz, langsung mendongak. "Nggak usah ledek, aku lagi nggak mau es krim atau balon. Nggak mood," ucapnya yang mengira balon dan es krim Diaz untuknya.  Diaz terkekeh, dia duduk di samping Alana. "PD banget ngira balon sama es krim nya buat kamu. Ini mah buat orang spesial aku," ucapnya penuh kebanggaan.  Alana mengernyitkan kening, dia kemudian memandang Diaz penuh selidik. "Kamu udah punya pacar?" tanyanya penasaran.  Diaz menelan ludah mendengar ucapan Alana. Haruskah Diaz bercerita pada Alana mengenai suasana hatinya yang tengah galau, suasana hati yang membutuhkan orang lain menerbangkan balon itu bersama-sama. Balon yang telah Diaz tambah tulisan di dalamnya.  Alana mendadak memandang kedua balon yang Diaz pegang. Matanya memicing memperhatikan lipatan kertas di dalam balon itu. "Diaz, di dalam balon ada tulisannya?" tanganya penasaran.  "Iya, setiap tanggal 24 aku selalu menerbangkan 2 balon yang diisi doa di dalamnya. Aku harap doa dalam balon itu terkabul," ucapnya lembut.  Namun Alana langsung terkekeh mendengar ucapan Dias. Laki-laki sok berkuasa itu mendadak romantis dan mellow. "Kayaknya kamu kesambet deh. Sejak kapan kamu nerbangin balon kaya di sinetron," sindir nya pedas.  Diaz menghela napas lalu memandang Alana. "Terserah kamu mau ngatain aku atau apa. Yang penting aku bahagia," sahutnya masa bodo dengan penilaian Alana.  "Iya deh sorry. Mau aku bantu terbangun balonnya?" tawar Alana mengulum senyum.  Diaz ragu menjawab tawaran Alana. Selama ini dia menerbangkan balon seorang diri, tanpa teman dan tanpa penyemangat. Apalah Diaz harus menerima tawaran Alana dengan harapan doanya cepat terkabul?  "Cepetan, mau nggak?" tanya Alana sekali lagi.  "Oke, kali ini kamu boleh bantuin aku nerbangin balon," sahut Diaz akhirnya.  "Asik. Aku pegang balon warna apa nih?" tanya Alana antusias.  "Pink aja, nih. Tapi sebelum di terbangun berdoa dulu ya." Diaz memberikan balon pink pada Alana. "Siap bos!" hormat Alana seraya tersenyum manis.  Alana akhirnya mengikuti Diaz dan berdiri di samping Diaz. Senyuman Diaz mengembang menatap kedua balon, kehadiran Alana membuat hati Diaz sedikit lega karena ada yang menemaninya menerbangkan balon.  "Dalam hitungan ke 3, langsung terbangun ya," ucap Diaz menoleh menatap Alana, kemudian pandangannya mendongak. "Satu, dua, tiga," ucapnya seraya melepaskan balonnya.  Alana tersenyum manis melepaskan balon. Dia dan Diaz memandang 2 balon terbang ke angkasa. Alana merasakan semua masalahnya hilang karena tindakan Diaz berhasil mengobati sakit hati Alana, Alana bahkan sudah melupakan sikap tak suka Neva.  "Aku nggak akan lupain kamu. Ini adalah hari jadi kita, aku harap suatu saat kita dipertemukan," ucap Diaz dalam hati seraya menatap balon yang semakin tinggi di angkasa.  Alana menatap Diaz penasaran. "Apa balon itu dipersembahkan buat pacar kamu?" tanyanya hati-hati.  Diaz mengangguk ragu. "Stop ya, kamu nggak perlu tahu. Kalian nggak saling kenal kok." "Yaelah tanya doang nggak boleh. Memangnya cewek kamu secantik apa sih?" ucap Alana kesal dengan tanggapan Diaz.  "Yang pasti baik, pengertian dan nggak galak kaya kamu," ungkap Diaz bahagia. Namun mendapat cubitan di lengannya. "Alana, sakit tahu," lanjutnya meringis kesakitan.  "Siapa suruh ledekin Aku. Kamu tuh yang galak," ucap Alana tak terima dibilang galak.  Diaz terkekeh. "Bercanda, nih es nya makan. Kamu suka cappucino nggak?" tanyanya cepat.  "Suka banget lah. Makasih ya," ungkap Alana seraya mengambil es krim cappucino dari tangan Diaz.  Diaz mengangguk, kebersamaan dengan Alana memang memberikan dampak positif untuknya. Bahkan Diaz lebih bersemangat menjalani kehidupan yang entah berapa hari lagi, namun apapun yang terjadi Diaz tak akan menjalani kemoterapi karena tak ingin ada yang mengetahui penyakitnya.  "Aku nggak nyangka sumpah, kamu ternyata romantis juga ya," ucap Alana seraya memakan es krim.  "Biasa aja sih." Diaz memandang Alana, kemudian menggelengkan kepala karena bibir Alana yang belepotan es krim. "Kalau makan tuh yang elegan dong, kaya anak kecil aja," ucapnya lembut, kemudian mengusap sisa es krim di mulut Alana dengan jemarinya.  DEG!!!  Jantung Alana berdegup kencang mendapat perlakuan romantis dari Diaz, bahkan mulutnya mengatup sempurna seolah terkunci. "Ya Tuhan, ada apa ini? Kenapa hatiku seperti ini? Mengapa perlakuan Diaz berhasil menyentuh hati aku." Batin Alana.  "Ma-makasih ya," ucap Alana dengan wajah merona.  Diaz mengangguk. "Oya, kamu lagi ada masalah? Kenapa tadi mukanya bete banget?" tanyanya penasaran.  "Nggak ada sih," sahut Alana berbohong.  "Nggak usah bohong. Aku bisa liat dari mata kamu kok, eumm….  mau aku kasih liat tempat yang enak nggak buat ngilangin suntuk kamu," tawar Diaz menggoda.  "Boleh, dimana?" tanya Alana cepet.  "Ayo ikut." Diaz beranjak seraya memegang lengan Alana, membawanya ke parkiran. "Untung kamu nggak bawa motor ya, jadi nggak perlu bawa pulang motor kamu," lanjutnya setelah sampai di parkiran.  "Iya dong," sahut Alana enteng, lalu memakai helm dan naik ke motor Diaz.  "Pegangan ya, perjalanannya cukup curam," pinta Diaz lantang, dia memainkan gas dan siap menancap gas.  "Siap." Diaz melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, sementara Alana merasa nyaman meningkatkan tangannya ke perut Diaz. Alana pikir harinya akan suram setelah pertemuannya dengan Brian di rusak Neva, ternyata dugaannya salah. Diaz justru hadir memberikan warna berbeda di hari Alana. Memberikan kehangatan dan kenyamanan yang selama ini tak Alana dapatkan.  "Diaz, kayaknya kita mau ke bukit?" tanya Alana saat melewati petunjuk jalan arah perbukitan.  "Iya, kamu nggak keberatan kan?" Diaz malah balik bertanya karena tak enak hati.  "Tentu nggak dong. Justru aku pengen banget ke bukit, tapi Kayla sama Vita malah ngajaknya ke Mall terus," sahut Alana bahagia.  "Oke, pegangan yang kenceng." Diaz mengulum senyum dan menunduk, dia melihat lengan Alana yang melingkar di pinggangnya. Setelah itu dia menambah kecepatan.  Diaz bahagia dan sudah ikhlas menjalani takdir. Takdir yang membuatnya menjadi penderita Leukimia, kehadiran Alana membuat Diaz semangat dan ikhlas menjalani harinya yang semakin berat. Hanya satu doa yang Diaz selalu panjatkan, dia ingin bertemu dengan cinta di masa lalunya sebelum pergi selama-lamanya. "Apa aku bisa minta bantuan Alana nemuin cinta lamaku ya? Tapi nggak enak bilangnya, kayaknya dia lagi banyak masalah." Batin Diaz.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN