bc

For Someone in Somewhere (Bahasa Indonesia)

book_age16+
363
IKUTI
1.3K
BACA
fated
drama
twisted
bxg
childhood crush
first love
friendship
love at the first sight
like
intro-logo
Uraian

Ngomong-ngomong, ini adalah sebuah cerita klasik, tentang dia yang buta dan dia yang tak sempurna. Ketidaksempurnaan itulah yang menyatukan mereka untuk mengisi ruang kosong satu sama lain. Mereka adalah dua anak manusia yang merasa cukup bahagia karena pernah berbagi tawa yang sama sehingga merasa utuh.

Bagaimanapun, takdir selalu ingin ikut campur dalam kehidupan setiap manusia, dua anak manusia ini pun demikian. Mereka dipertemukan oleh takdir, dan dipisahkan pula oleh takdir. Namun mereka sama-sama berjanji, untuk saling menemukan kembali entah siapapun yang lebih dulu, dan dimanapun itu.

chap-preview
Pratinjau gratis
00. The Beginning
"You should never regret anything in life. If its good, Its wonderful. If its bad, Its experience." . . Jakarta, 20 Oktober 2011. Sore itu, halaman belakang rumah sakit tidak begitu ramai oleh beberapa orang berseragam putih ataupun orang berpakaian layaknya pasien rumah sakit ini. Halaman belakang ini tidak terlalu luas, tapi juga tidak bisa dibilang sempit. Bentuknya seperti taman kecil yang biasa didatangi orang-orang yang merasa frustasi dengan bau antiseptik atau bosan dengan kamar inapnya sendiri sehingga tempat ini pas untuk dijadikan pelarian. Ada sekitar enam atau tujuh orang yang sedang berada di sini. Beberapan diantaranya ada yang duduk melamun di kursi, menyuapi orang berseragam pasien yang duduk di kursi roda, mengobrol dengan sesama pasien lain dan ada juga beberapa perawat yang mungkin sedang menghabiskan jam makan siangnya di tempat ini. Suasananya sedikit segar karena sekitar pukul sebelas siang tadi awan mendung dan pada akhirnya hujan, sehingga membuat rumput pendek di halaman belakang sedikit lembab. Sehabis hujan, sinar matahari sore kembali muncul, namun sama sekali tidak muncul pelangi. Udara pun menjadi lebih segar, ketimbang tadi siang saat hujan belum mengguyur langit Jakarta. Setiap melakukan check-up bulanan, Gema selalu menyempatkan diri ke sini. Entah sejak kapan tempat ini masuk ke dalam daftar tempat favoritnya untuk menyegarkan pikirannya. Kali ini, anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu melangkahkan kedua kakinya lalu kemudian mendudukan dirinya di salah satu kursi tembaga yang tak berpenghuni. Gema menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Pikirannya lansung terbang seiring tatapan matanya yang kosong. Banyak sekali hal yang membebani otaknya, membuat kepalanya seolah ingin pecah. Padahal apa yang ia pikirkan bahkan belum tentu ada di pikiran anak seumurnya. Gema merasa hidupnya berantakan, Bahkan sejak ia dilahirkan. Mungkin termenung sama sekali tak membuat jalan keluar muncul dihadapannya dalam satu kedipan mata, namun hanya itu yang bisa ia lakukan. Tiba-tiba, ia mendengar suara tangisan. Bulu kuduknya langsung meremang saat itu juga. Ia langsung tersadar dari lamunannya dan segara mengedarkan pandangannya ke sekitar. Orang-orang masih berada di sini, dan ayolah, ini bukan waktunya ketakutan di bawah langit sore yang cerah. Suara itu seperti suara isakan cengeng khas anak perempuan. Dan yang ia pikirkan sama sekali tidak meleset, karena benar saja, kedua matanya mendapati seorang anak perempuan berpakaian seragam pasien rumah sakit, duduk di sebelahnya sambil menundukan kepala. "Heh," Awalnya memang ragu, namun pada akhirnya, Gema memanggil anak perempuan itu. Tidak mendapat respon, sebaliknya justru isakan tangisnya semakin mengeras, Gema menggaruk tengkuknya, simpatinya langsung muncul ke permukaan karena melihat anak perempuan menangis, Maka Gema berdiri dari duduknya lalu melangkahkan kakinya dan mendekati anak perempuan berambut kecokelatan dengan panjang sebahu itu. Gema meninggalkan kursinya dan beralih duduk di kursi yang sama dengan anak perempuan itu, tepat di sebelahnya. "Kenapa lo?" Butuh dua detik, sampai anak perempuan itu menggeleng dan mengusap sisa air mata di pipinya. Wajahnya terangkat, dan Gema benar-benar melihatnya. Pantulan sinar matahari sore mengenai kulitnya yang pucat, matanya menatap lurus ke depan. Detik itu juga senyum Gema tertarik sedikit dan ia ingin memuji anak ini dalam hatinya. Cantik. Bahkan dengan perban luka di kepalanya, anak perempuan itu terlihat sangat cantik. Diumurnya yang ketiga belas tahun ini, jantungnya berdegup kencang hanya karena menatap anak perempuan itu dari sisi sampingnya. Gema yakin, ini bukan tanda serangan jantung, atau akhir dari hidupnya. Detak yang berbeda dari apa yang biasa terjadi pada jantungnya. Tapi, tunggu, Gema mengenali anak perempuan ini. "Ngomong-ngomong, kayaknya kita pernah ketemu, iya nggak, sih?" "Apa?" Anak perempuan itu bersuara, membuat Gema semakin yakin bahwa ia mengenalinya. Pandangannya masih lurus ke depan, "Gue nggak tau. Salah orang kali." Karena Gema pun tidak yakin, ia jadi salah tingkah sendiri. "Gitu kali, ya? Hehe." Setelah itu, mengisi dua sisi kursi tembaga yang berlawanan. Tidak ada yang berbicara, dan Gema bahkan tidak tahu alasan kenapa ia tidak kunjung beranjak dari tempat duduknya meskipun anak perempuan ini sama sekali tidak menganggapnya ada. Ia masih terus menangis, dan Gema hanya bisa memandanginya dari jarak kurang lebih satu meter. Gema terlalu gugup, dan ia tidak tahu harus melakukan apa, kecuali menepuk punggungnya pelan. Sangat pelan, atau bahkan mungkin tak terasa sama sekali pada punggung anak perempuan itu. "Udahan nangisnya, gue jadi nggak tega." "Kenapa, sih? Tuhan nggak bikin gue mati aja sekalian. Daripada hidup nanggung-nanggung kayak gini?" Anak perempuan itu tiba-tiba bersuara, suaranya lirih dan sarat akan keputus-asaan. Gema berkedip, gerakan tangannya berhenti dan anak laki-laki itu kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana biru tua khas seragam siswa SMP yang sedang ia kenakan. "Kok lo ngomong gitu? Gue baru denger ada orang yang bisa-bisanya nolak apa yang Tuhan kasih." "Ya sekarang buat apa gue hidup? Nggak ada yang bisa gue liat! Papa juga udah nggak ada, kenapa nggak sekalian aja gue perginya bareng Papa biar nggak usah kejebak di tempat gelap kayak gini!" Gemas tebalnya bertaut, Gema benar-benar tidak mengerti apa yang gadis ini katakan sampai tangannya bergerak terulur untuk melambaikan tepat pada wajah gadis itu. Baru sekarang ia mengerti, hal apa yang membuat anak perempuan ini lebih memilih lenyap dari dunia daripada berada di sini tanpa cahaya. "Gue pengen hidup lebih lama, tapi lo malah pengen cepet mati." kata Gema, ia menyandarkan punggungnya ke kursi tembaga dan menatap langit sore yang lumayan cerah. "Bukannya itu hadiah? Lo bisa ngabisin waktu lebih lama sama orang-orang yang lo sayang? Sementara gue sendiri aja nggak yakin, besok gue masih ada di sini atau enggak." Gema dapat mendengar decihan dari bibir orang yang berada di sebelahnya. "Nggak usah ngeliatin sisi menyedihkan dari diri lo sendiri, gue nggak kasian sama sekali." Mendengar itu mata Gema membulat sempurna, tiba-tiba pandangannya berubah. Ia sekarang menjadi tidak yakin anak perempuan ini adalah orang yang sama yang beberapa hari lalu memberinya foto polaroid di lapangan berumput dekat komplek rumahnya. Gema masih ingat tingkah laku gadis itu yang polos dan manis, lalu sekarang berubah menjadi arogan dan sentimen. "Ya udah, gini aja, seandainya kita bisa tukeran badan gimana? Lo jadi gue, biar gue yang jadi lo?" Gadis itu malah tertawa sinis, menganggap kalimat Gema adalah omong kosong. "Dengan senang hati, gue mau." "Meskipun, lo punya penyakit jantung?" Seketika bibir anak perempuan itu langsung merapat dan Gema tersenyum penuh kemenangan. "Gimana? Lo bisa liat gimana cerahnya langit hari ini, tapi besok lo nggak yakin, lo bisa liat langit yang sama atau enggak. Mungkin aja malem ini lo kena serangan jantung, terus udah deh, kelar hidup lo." Ketika ia tak mengeluarkan sepatah kata pun, Gema tersenyum. "Lo cuma belum menerima, tapi suatu saat nanti gue yakin, Tuhan bakal tunjukin alesan kenapa lo masih dikasih napas buat hidup lebih panjang meskipun di dunia yang gelap." "Lo sendiri?" "Gue?" Gema menunjuk dirinya sendiri. "Gue juga pernah ada di masa-masa frustasi kayak lo. Sampai sekarang gue masih marah sama diri gue sendiri dan gue nggak bisa tidur tiap malem, karena gue takut kalau seandainya waktu gue bangun, gue udah ada di dunia yang beda." "Bukanya seharusnya orang yang punya penyakit jantung kayak lo itu nggak boleh banyak pikiran, ya? Hidup lo makin pendek kalau lo sering stress kayak gitu. Orang kayak lo itu harus sering rileks dan have fun." Kali ini gantian Gema yang bungkam, dahinya berkerut dan berusaha mencerna kalimat gadis di sebelahnya, lalu diam-diam menyetujuinya dalam hati. Kedua matanya memandangi fitur wajah anak perempuan dengan hidung mancung dan kulit pucatnya. Satu senyum dari bibir tipisnya itu bisa membuat Gema berhenti berkedip, ia benar-benar tersenyum dan kali ini memutar wajah ke arah Gema untuk pertama kalinya selama percakapan mereka tadi. "Lucu ya? Kita ini sama, dan kenapa nggak lo simpen kata-kata bijak lo yang tadi itu buat diri lo sendiri?" "Iya, sih. Ya, berarti lo juga dong, lo harus simpen kata-kata lo buat diri lo sendiri. Have fun buat hidup lo yang sekarang!" Balas Gema, kemudian ia beranjak dari kursi dan berdiri tepat di hadapan anak perempuan yang masih berpakaian seragam pasien rumah sakit. Bayangan tubuh Gema menghalangi wajahnya, namun meski begitu, kulit pucatnya masih tetap bercahaya. "Gue duluan," Kata Gema, saat melihat seorang wanita dengan kemeja biru navy  sudah berdiri menunggunya dari kejauhan. Senyuman penuh kerutan dikulitnya yang tidak lagi sekencang dulu itulah yang masih membuat Gema ingin bertahan lebih lama. "Inget, lo harus bertahan." "Lo juga," Tanpa persetujuan, Gema langsung melangkah keluar dari area halaman belakang rumah sakit menyusul wanita yang kini sedang merapatkan hoodie abu-abu yang Gema kenakan untuk merangkap kemeja putihnya. "Yang tadi itu temen kamu?" tanya Sandra, sambil membuka pintu mobil dan duduk di balik kemudi. Gema menggeleng, ia fokus memasangkan seat-belt . Lalu ia menahan napas ketika ia melupakan sesuatu tentang anak perempuan yang baru saja ditemuinya. Siapa tadi namanya? Saat itu juga rasanya Gema ingin turun dari mobil dan berlari kencang, berharap anak perempuan tadi masih ada di sana. Namun Mamanya sudah terlanjur menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya keluar dari halaman parkir rumah sakit. Juga sayangnya, ia belum terlalu berani melakukan hal senekad itu. (TBC)

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

CRAZY OF YOU UNCLE [INDONESIA][COMPLETE]

read
3.2M
bc

Perfect Revenge (Indonesia)

read
5.1K
bc

Saklawase (Selamanya)

read
69.7K
bc

Super Psycho Love (Bahasa Indonesia)

read
88.6K
bc

Perfect Honeymoon (Indonesia)

read
29.6M
bc

Stuck With You

read
75.7K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
39.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook