Lihatlah ke Dalam

1323 Kata
Kerang-kerang kecil tiba-tiba terbangun ketika ada yang mendekat, kemudian mulai membuka cangkang untuk mengigit. Beberapa kali Velia dan Wanda mengaduh kesakitan karena tergigit padahal sudah berusaha sebisa mungkin untuk menghindar, tapi jumlah kerang itu terlalu banyak. “Kecil-kecil kok ganas sih ini? Mana tidak bisa diajak bicara karena semuanya marah.” Velia berkelit, tapi tetap tergigit juga di bagian lengan. Iseng-iseng diambilnya kerang hitam yang mengatup dengan rapat kemudian  mengamati sejenak dan mengintip bagian dalam kerang kecil. “Wah, mutiaranya bening. Seperti bola kristal berukuran kecil, kira-kira bisa meramal pakai ini nggak ya?” Velia terkagum saat melihat mutiara transparan yang ada di dalam kerang hitam. “Bola kristal? Jangan-jangan?” Wanda terlihat memikirkan sesuatu. Xonxo sudah bergabung kembali setelah mengurung belut-belut itu dalam anemon. Dia memikirkan jebakan yang dapat menghambat gerakan belut dan itu berhasil karena anemon bereaksi pada gerakan yang mendekat. Kalau bukan karena satu belut yang lebih aktif  bergerak di bawahnya, pasti dirinya tertangkap lagi. “Mutiara kerang hitam,” kata mereka bertiga bersamaan. “Ya, aku rasa tadi aku sudah salah menduga. Seharusnya adalah mutiara kerang hitam bukan kerang raksasa.” Wanda mengambil salah satu kerang hitam untuk mengeluarkan mutiara dari dalam kerang. “Lagipula kerang raksasa ini tidak ada isinya,” ujar Xonxo yang sudah membuka kerang besar. “Aku adalah kerang yang berguna sudah pasti yang dimaksud adalah kerang. Jangan lihat aku dari penampilan tapi pandang sisi gelap yang menyinari, ini berarti kerang tidak mencolok dan berwarna gelap tapi isinya bersinar bila terkena cahaya. Waspada dengan lingkaran menari karena membawamu terbuai naik untuk dihempaskan, ini pasti pusaran air yang bisa membawa kita turun ke dasar dan naik ke permukaan. Serupa bola kristal bening yang kecil hingga mudah dibawa, yang dimaksud pasti mutiara dari kerang hitam kecil.” “Apa Xonxo sudah menemukan yang dicari?” tanya Wanda. “Sudah, lalu bagaimana cara kita untuk naik?” tanya Xonxo. “Seperti cara kita turun tadi, kita hanya perlu mencari pusaran yang ke atas.” Wanda menunjuk ke atas. “Seperti lift saja,” ujar Velia kelika mengamati pusaran-pusaran yang terlihat dihindari oleh ikan-ikan. “Ya semacam itulah. Aku sampai pusing pas naik turun dengan pusaran itu.” Wanda terlihat enggan untuk mendekati pusaran Mereka kemudian berpencar agar lebih mempermudah pencarian. Wanda sudah mencoba tiga kali dan itu gagal, Xonxo juga sudah tiga kali mencoba. Velia malah empat kali terpental saat berusaha memasuki pusaran. Velia mengambil ancang-ancang untuk menerobos pusaran kelima, dia tidak ingin terpental lagi. Ketika berada di dekat pusaran tiba-tiba pusaran itu membesar dan menghisap Velia. “Aaaa...” teriak Velia dengan nyaring ketika tubuhnya berputar di dalam pusaran. “Itu pusarannya,” teriak Wanda memberitahu Xonxo agar segera menyusul sebelum pusaran mengecil lagi. Tubuh Velia muncul di permukaan, tapi rasanya seperti masih berputar-putar saja. Bahunya bergerak naik dengan perlahan-lahan kemudian menghembuskan napas dengan cepat untuk menenangkan diri dari rasa panik karena tiba-tiba terseret arus pusaran air. Wanda muncul tak jauh dari tempatnya, disusul oleh Xonxo. “Kita harus pergi ke arah mana?” Wanda melihat ke cakrawala dan menemukan burung-burung camar yang terbang rendah di arah selatan. “Kita berenang menuju ke  selatan.” Xonxo menunjuk sebuah pulau berada tak jauh dari mereka. Velia mengerahkan seluruh tenaga agar tiba di pantai terlebih dahulu kemudian menegakkan tubuh dan menikmati matahari yang menyengat. Dia memiliki elemen api, secara umum api tidak akur dengan air. Itulah sebabnya dia tidak begitu suka berenang karena membuat tenaganya melemah. Velia menggumamkan mantra untuk mengeringkan tubuh dan segala yang melekat, dia melakukan terhadap Wanda dan Xonxo juga. Velia duduk di atas pasir setelah selesai menggunakan mantra itu karena beristirahat sejenak dapat memulihkan tenaga. Xonxo mengamati ada kepulan asap dari kejauhan, cowok itu menduga kalau itu berasal dari cerobong asap milik penduduk setempat. “Sepertinya di dekat sini ada perkampungan nelayan,  kita harus segera mencari penginapan.” Sepanjang perjalanan mereka memetik buah-buahan untuk dimakan karena kejadian di dasar laut sudah menguras tenaga. Beruntung mereka jalan bersama pengendali tanaman hingga dimudahkan dalam mengambil buah-buahan yang mereka inginkan. “Kamu masih butuh bahan apa lagi?” Wanda membuka pembicaraan setelah perutnya penuh terisi. “Tidak banyak sih.” Xonxo terlihat menghindari pertanyaan membuat Wanda tidak jadi bertanya. “Kira-kira kita butuh tunggangan nggak?” Velia yang sedari tadi berjalan di belakang sudah menghentikan langkahnya sambil membungkuk dengan bertumpu pada tangan yang menempel di lutut. “Capek ya, Vel?” Wanda menghampiri sambil membuka tempat minum agar gadis itu bisa menggantikan cairan yang keluar melalui keringat. “Kita sudah hampir sampai. Mending beristirahat di penginapan sekalian. Jangan membuang-buang waktu!” tegur Xonxo yang mulai jenuh karena Velia beberapa kali minta istirahat. Kali ini Velia tidak menanggapi kata-kata ketus Xonxo dan memilih untuk mengecap minuman penambah energi yang diberikan oleh Wanda. Cewek itu pasti memberikannya karena sudah tidak tega melihat keadaan Velia. Mereka tiba di sebuah desa kecil yang sangat sepi karena tidak terlihat aktivitas dari penduduk desa. Hanya terlihat satu dua orang yang melintas. Tak sulit menemukan penginapan karena di ujung desa terlihat plang kayu yang digantung dengan tulisan ‘Penginapan Melati’. Mereka memutuskan untuk menginap saja di sana tanpa harus mencari penginapan lain. Walaupun tampak kecil tapi paling tidak penginapan ini bersih. Bagian lobi terlihat menjadi satu dengan tempat makan dan hanya diisi sekitar sepuluh meja saja tanpa ada orang yag terlihat di sana, ini menunjukkan betapa sepinya penginapan. Mungkin karena belum musim liburan atau karena memang sepi. “Ada yang bisa dibantu?” tanya pelayan yang duduk di balik meja kasir. “Kami butuh dua kamar, yang satu untuk dua cewek ini dan yang satu untuk saya sendiri.” Xonxo memesankan kamar buat mereka bertiga. “Mari saya antar,” kata seorang cewek muda yang tampak pucat. “Apa kamu sedang sakit?” Jiwa penyembuh Wanda merasa terpanggil melihat wajah yang tampak tidak sehat. Cewek itu menggeleng sambil sesekali mencuri pandang ke arah Xonxo. Dia lalu menyerahkan kunci kamar saat sudah sampai di depan kamar Velia dan Wanda, “ Tolong jangan keluar penginapan saat malam hari.” “Apa alasannya?” tanya Velia ketika menerima kunci dengan gantungan kunci yang bertuliskan nomor sepuluh. “Berbahaya,” kata cewek itu setelah menyerahkan kunci nomor sembilan pada Xonxo. Dia kemudian meninggalkan ketiga tamunya tanpa menerima tips yang sudah disiapkan oleh Velia. “Ingat, jangan keluar malam-malam,” ujar Velia mengulangi peringatan cewek pelayan. “Sepertinya peringatan itu berlaku keras untuk cewek ceroboh sepertimu,” sindir Xonxo. “Atau untukmu?” balas Velia. “Aku lihat cewek itu beberapa kali melirikmu. Mungkin itu kode dia takut padamu, mengingat wajahnya memucat setelah melihat kita,” tambah Velia. “Atau dia tertarik padaku yang terlihat lebih tampan daripada cowok yang ada di desa ini?” Xonxo menyugar rambutnya dengan sombong. Wanda bergeming karena tidak mendengarkan pertengkaran kedua temannya. Dia masih merasa aneh karena peringatan dari cewek pelayan, “Apa maksudnya berkata seperti itu? Apa ada hantu gentayangan? Kalau itu sih aku nggak takut.” Tangan Wanda ditarik untuk masuk kamar kemudian Velia menguncinya. “Jangan terlalu dipikirkan, lebih baik kita tidur. Aku sudah sangat mengantuk.” Velia hampir merebahkan diri tapi tangan Wanda lebih cepat menariknya hingga berdiri tegak. “Mandi dulu, kitakan habis berendam di laut selama berjam-jam,” tegur Wanda. “Bajuku sudah kering,” jawab Velia, dia hendak beranjak tidur tetapi Wanda kembali menariknya. “Jorok, memangnya tidak lengket?” “Ya sudah, aku mandi sekarang. Puas?” tanya Velia dengan mata melotot. Selesai mandi Velia langsung tidur padahal masih belum malam, badannya sudah pegal dan dia juga kurang tidur karena mencari mutiara. Dia bahkan tidak tahu kalau Wanda meninggalkan kamar setelah mandi. Wanda menuju halaman belakang yang cukup luas dan sepi, dia ingin berlatih memanah dengan elemen air. Setelah kejadian dikejar naga, Wanda jadi sadar kalau kemampuan sihir yang dimilikinya masih jauh dari sempurna. Dia harus belajar fokus agar bisa menghadapi situasi mendesak. Wanda mengatur beberapa benda seperti tumpukan jerami kering, batang pohon yang sudah mengering, batu besar, dan juga sebuah apel. Cewek itu memberi jarak beberapa langkah kaki untuk setiap sasaran lalu dia sendiri berjalan menjauhi target pertama hingga di dekat seember besar air yang akan digunakan sebagai media. Dia bisa saja mengambil air dari tempat yang jauh tapi itu akan menguras tenaga apalagi kondisi badan yang letih pasti akan cepat tumbang. Wanda membentuk busur dan panah dari air, menarik anak panah yang hampir menempel pipi sampai tertarik ke belakang telinga. Memperhatikan target untuk memperkirakan jarak tempuh, setelah yakin semua sudah sesuai dengan perhitungan maka dilepaskan anak panah itu. Anak panah itu melesat terlalu tinggi hingga melewati jerami kering. Wanda mendesah kecewa tapi tetap mencoba lagi. Wanda mulai jengkel karena tak satupun target yang berhasil dipanah padahal ini sudah kali ke dua puluh dia mencoba. “Cobalah untuk santai, kamu terlalu tegang,” ujar Xonxo mengejutkan Wanda. “Sejak dari kapan kamu ada disitu?” tanya Wanda.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN