bc

Suamiku, Duda?

book_age18+
350
IKUTI
5.0K
BACA
contract marriage
family
HE
lighthearted
enimies to lovers
reckless
stepmother
like
intro-logo
Uraian

“Aduh, pelan-pelan dong, Bang, sakit tau.”

“Makanya kamu jangan banyak gerak, susah tau ngelepasinnya.”

“Mana sih, biar aku aja yang lepas.”

Mita ke-gep warga tengah berusaha membuka kancing kemeja yang dipakai Jefry, gara-gara rambutnya yang tersangkut di kancing kemeja lelaki itu saat Jefry hendak mendudukkan Mita di bangku belakang mobilnya.

Peristiwa itu bermula, saat Mita berjalan seorang diri sambil memainkan ponselnya di jalan, dan karena terlalu fokus, Mita sampai tidak menyadari mobil Jefry tengah melaju ke arahnya. Jefry yang juga sedang menerima panggilan dari putranya yang sedang demam itu pun tidak fokus dengan kondisi jalan di depannya, sehingga, dia tanpa sengaja menyerempet Mita hingga gadis itu terluka.

Jefry bermaksud membawa Mita ke rumah sakit, dan karena lututnya terluka cukup parah, Mita tidak bisa berjalan. Jadilah Jefry terpaksa harus menggendong Mita, dan saat hendak mendudukkan gadis itu, tidak sengaja rambut Mita justru tersangkut di kancing kemeja yang dipakai Jefry.

Warga justru mengira gadis itu sedang berusaha menggoda si duda yang selalu menjadi pujaan hati kaum hawa di komples perumahan mereka. Sehingga, warga yang memergoki keduanya, yang kebanyakan adalah ibu-ibu yang baru saja pulang dari pengajian itu menjelek-jelekkan Mita.

Karena terus-terusan di fitnah sebagai perempuan tidak benar oleh warga, kedua orangtua Jefry dan orangtua Mita pun sepakat untuk menikahkan keduanya, supaya tidak ada lagi yang berani menfitnah Mita.

Namun, siapa sangka, Mita justru menolak mentah-mentah si duda rupawan yang digilai banyak wanita, gara-gara sudah memiliki pacar.

Cover by Canva

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1
“Apa?” “Mak mau jodohin aku? Sama si Duda? Anak tetangga sebelah?” Mita yang sedang sibuk mengunyah sarapannya, sontak berdiri sambil menggebrak meja. Dua bola matanya tampak membulat sempurna. Berita ini terdengar seperti sambaran petir. Cepat, dan mengagetkan. “Nggak mau ah!” spontan gadis itu menolak dengan tegas. Dan setelah rasa terkejutnya sedikit mereda, dia kembali duduk. Sudut bibirnya terangkat, mengulas senyum, sinis. Lalu kembali melanjutkan sarapan paginya yang sudah terasa hambar. “Kurang apa sih? Si Jefry. Dia itu kan; baik, ganteng, anak orang kaya, pinter lagi.” seorang perempuan paruh baya tampak menghitung dengan jarinya, kelebihan-kelebihan dari sosok yang digadang-gadang akan dijodohkan dengan Mita. “Pokoknya kalau Mita nggak mau, ya nggak mau!” Mita membanting sendok di tangannya dengan keras sehingga menimbulkan dentingan yang cukup memekakkan telinga. Lalu berdiri dan berjalan menuju kamar, menghiraukan panggilan sang ibu yang terus saja meneriakkan namanya. “MITA, MAU KEMANA KAMU, MAK BELUM SELESAI BICARA.” Sayangnya, yang diajak bicara enggan menoleh. “Dasar anak jaman sekarang, nggak pernah diajarin sopan santun apa sama orangtuanya.” lanjutnya ngedumel. “Eh, dia, kan, anakku, jadi yang nggak ngajarin sopan santun, aku dong?” tunjuknya pada diri sendiri lalu menggelengkan kepalanya, heran. Setibanya di kamar, Mita membanting pintu dengan keras. Kemudian bersandar dibaliknya. Setelah apa yang dikatakan Mak Anggi. Ibunya tadi. Mita begitu kesal, dia tidak mau jika harus menikah dengan lelaki yang sudah pernah menikah sebelumnya, alias, duda. “Aaah… nggak mau nggak mau… pokoknya Mita nggak mau nikah sama si Duda.” Ujarnya mencak-mencak sendiri di balik pintu yang tertutup rapat. Lalu matanya mengedar, mencari keberadaan benda super canggih yang biasanya disimpan di atas nakas. Begitu benda tersebut ketemu, Mita segera mencari nomor kontak seseorang, mendialnya dengan terburu-buru. “Kita harus ketemu, hari ini juga!” begitulah Mita berkata setelah panggilan tersambung. “Nggak ada penolakan! Ada hal penting yang harus kita bicarakan.” Tambahnya setelah memberikan sedikit jeda, namun, tak memberikan kesempatan sedikit pun pada lawan bicaranya untuk mengatakan sesuatu karena setelahnya Mita segera memutus sambungan secara sepihak, tau betul jika seseorang yang diajaknya bicara pasti menolak ajakannya mengingat dia sangat sibuk. Setelah panggilan terputus, Mita mengetik sesuatu; semacam waktu dan tempat dimana mereka harus bertemu. *** Pukul satu siang, di kafe. Mita duduk sendiri sambil memilin jemarinya, gelisah. Satu menit, dua menit, hingga lima belas menit telah berlalu, bahkan coffee latte yang tadinya hangat kini terasa dingin, namun, seseorang yang ditunggunya masih juga belum menampakkan diri. Kesabaran Mita yang hanya setipis tissue itu nyaris habis. Jika saja seseorang yang ditunggunya tidak tinggal di asrama kampus, Mita sudah pasti mendatanginya saat ini juga. Di menit ke dua puluh. Mita yang sudah habis kesabarannya itu hendak berdiri dari tempat duduknya. Namun, telapak tangan tiba-tiba menutupi kedua matanya, membuatnya berjingkit, dan nyaris ingin meng-karate seseorang itu dengan sikunya, jika saja dia tidak segera menyebutkan namanya. “Sayang, ini aku, Kama.” Akunya kemudian. Mita berdecak sebal, kekesalannya bertambah berkali-kali lipat berkat perbuatan Kama. “Galak bener sih?” katanya mengerucutkan bibir. “Suka banget sih, bikin orang jantungan!” sungut Mita berapi-api. Dan beruntungnya Kama, karena Mita bukan terlahir dari keturunan naga, bisa-bisa tubuhnya hangus terbakar akibat semburan api yang keluar dari mulut dan hidung gadis itu. “Nggak usah senyum-senyum.” Semburnya lagi memperingatkan, melihat Kama duduk cengengesan di kursi depannya. “Maaf, gitu aja marah sih,” katanya mencari posisi duduk ternyaman. Duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, dan kedua tangan menopang dagu. “Katanya ada yang mau diomongin, apa?” tanya Kama kemudian. Mita terlihat menarik napas dalam-dalam. Mengatur degup jantungnya yang serasa ingin meledak. Lalu menatap dalam sepasang manik mata coklat di depannya selama beberapa menit. “Kamu sayang nggak, sama aku?” tanyanya membuka suara. “Ya sayang lah, kalau enggak, ngapain aku bela-belain bolos kuliah demi ketemu kamu.” ujarnya santai, tanpa mengerti beban berat yang sedang dirasakan Mita. “Kalau gitu, ayo kita menikah.” Kata Mita tiba-tiba. Dan beruntungnya Kama, lagi, dia tidak memiliki riwayat penyakit jantung, bisa-bisa dia pingsan akibat serangan jantung mendadak. “Kenapa tiba-tiba pengen ngajakin nikah?” tanya Kama masih tidak mengerti. “Pokoknya, kalau kamu sayang sama aku, ayo kita nikah.” Keukeuhnya. Kama tampak terdiam, mencerna ucapan Mita barusan. “Ya, nggak bisa buru-buru gini dong, Mit. Aku harus tau dulu, alasan kamu pengen cepet-cepet nikah apa?” tanya Kama pada akhirnya. “Aku mau dijodohin sama orangtuaku.” Ungkap Mita jujur. Kali ini, Kama berhasil dibuat terdiam. Tidak dapat dipungkiri, lelaki itu sangat terkejut mendengar pengakuan Mita. Sebagai kekasih yang sudah menjalin hubungan sejak kelas dua belas SMA, tentulah kabar itu bukan sesuatu yang mudah diterima oleh Kama. “Sama siapa?” tanyanya sedih. “Kamu tau Bang Jefry, kan?” jawab Mita hati-hati. Kama tampak mengangguk. Lantas meneguk salivanya susah payah. Jefry bukanlah lawan yang mudah. Tidak ada satu pun wanita yang tidak akan terpesona dengan wajah gantengnya. Dan tidak ada satu pun orangtua yang akan menolak menjadi mertuanya. Kekayaan, wajah rupawan, dan sikapnya yang selalu ramah terhadap masyarakat selalu berhasil mencuri perhatian. Sekalipun terkadang sikapnya sangat dingin terhadap perempuan-perempuan genit yang berusaha merayunya, atau perempuan-perempuan yang dikenalkan oleh kedua orangtuanya. Dari sekian banyak perempuan yang dikenalkan oleh ibunya, tak satu pun ada yang berhasil mencuri perhatiannya. Hingga kemudian, suatu kejadian membuat kedua orangtua Mita dan Jefry sepakat untuk segera menikahkan keduanya. “Aku nggak mau nikah sama orang lain, Kama. Aku mau nikahnya cuma sama kamu.” Mita kembali buka suara. “Kama!” seru Mita lagi sambil mengguncang lengan lelaki itu, membuatnya tersadar dari lamunan. “Kamu denger aku ngomong nggak sih?” “Denger.” Lirihnya galau. Jika ditanya apakah Kama sedih? Tentu saja. Tapi, sebagai seseorang yang belum matang secara materi maupun mental, Kama bisa berbuat apa? Dia bukan tandingan Jefry, tapi dia juga tak mau kehilangan Mita secepat ini. “Jawab dong!” sungut Mita lagi penuh emosi, membuat Kama tersadar sepenuhnya dari lamunan. “I-iya,” balasnya gagap. “Jadi?” tanya Mita lagi. “Jadi apanya?” balas Kama dengan pertanyaan. Saking syok-nya, dia sampai melupakan pertanyaan Mita sebelumnya. “Kamu mau apa enggak, nikahin aku?” Mita kembali mengulang pertanyaannya. “Aku mau banget nikahin kamu, tapi gimana caranya?” Jawabnya bingung. “Ya kamu datang dulu kek, ke rumah, ngomong sama ibu bapakku. Bilang kalau kamu serius mau nikahin anaknya. Masak gitu aja nggak ngerti, kamu kan, pinter.” Ketus Mita emosi. “Ya mungkin aku memang pinter di bidang pelajaran, tapi untuk urursan berumah tangga, aku juga nggak ngerti. Lagian, menikah itu bukan dijadikan permainan.” Kama tampak menghela napa panjang. “Menurut kamu, apa mungkin orangtua kamu bakal nerima aku sebagai suami kamu, dengan kondisi aku yang sekarang?” lanjutnya bertanya. “Kita nggak bakal tau, kalau kita nggak mencari tau.” jawab Mita. “Kalau ternyata nggak diterima?” sambung Kama yang kemudian segera disahuti oleh Mita dengan berkata: “Kok kamu pesimis gini sih, biasanya kamu juga ambis kalau pengen ngedapetin sesuatu? Kenapa kalau aku, kamu justru terkesan nggak mau peduli.” sembur Mita marah-marah, bahkan mukanya sampai memerah menahan tangis. Kama tampak menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk bersikap tenang. “Aku bukannya pesimis, Mit, aku realistis aja. Dimana-mana orangtua pasti pengennya yang terbaik buat anaknya. Di antara dua pilihan; antara aku yang masih mahasiswa nggak ada penghasilan, dan Bang Jefry calon suami kamu yang sudah dipilih sama orangtua kamu yang jelas sudah berpenghasilan, mereka sudah pasti milih yang sudah berpenghasilan.” Terangnya. “Terus kamu nggak mau perjuangin aku?” Mita kembali bertanya dengan emosi meletup-letup. “Kalau kamu minta aku perjuangin kamu, aku pasti bakal berjuang mati-matian buat ngedapetin kamu. Tapi sebelum itu,” Kama tampak menjeda ucapannya selama beberapa saat, “aku juga harus memantaskan diri terlebih dulu.” “Maksud kamu?” tanya Mita tidak mengerti. “Setidaknya, aku harus punya penghasilan sebelum aku menghadap ke orangtua kamu.” jawabnya yakin. “Aku nggak mau, kamu jadi susah gara-gara hidup sama cowok miskin kayak aku.” Jelasnya. Inilah yang Mita sukai dari Kama, cara berpikir cowok satu ini selalu ke depan, dan apa adanya. Selalu menginginkan yang terbaik untuk Mita. Bagi Mita, cowok seperti Kama satu banding seribu di dunia ini. Maka tak heran, kenapa setiap saat Mita dibuat semakin jatuh cinta dengan cowok satu ini. “Janji dulu,” kata Mita mengacungkan jari kelingkingnya kehadapan Kama. “Janji apa?” balas Kama mengernyitkan kening. “Janji setelah ini kamu bakal perjuangin aku, dan kamu harus nikahin aku setelah kamu lulus dan punya penghasilan.” Terangnya. Dengan penuh keyakinan, Kama menyahut jari kelingking Mita. Menautkan jari kelingkingnya disana. Serta senyum bulan sabit terkembang dikedua sudut bibir, menghiasi wajahnya yang tampan. Kemudian dengan penuh keyakinan Kama berkata: “Iyaa… aku janji.” Mita tersenyum senang. Beban berat yang sempat dirasakannya kini seolah mengikis tersapu udara. Benar-benar ringan. Kama selalu berhasil membuatnya tenang dan bahagia. “Kalau sampai kamu mengingkari janji yang sudah kamu sepakati, aku bakal benci sama kamu seumur hidup.” Kata Mita penuh emosi. “Pernah, aku nggak nepatin janji yang sudah kubuat?” balas Kama dengan pertanyaan. Mita tampak terdiam sambil berpikir keras. Dua bola matanya tampak bergerak memutar. Lalu sedetik berikutnya, kepalanya menggeleng cepat. “Nggak.” Katanya full senyum. Kama mengusap puncak kepala gadis itu, membuat tatanan poninya tampak berantakan. “Aaahh… Kama…” rengeknya manja, lalu menyisir poninya dengan jari. “Aku sayang sama kamu,” kata Kama. Mita tampak tersenyum malu-malu. “Aku juga.” Balas Mita full tersenyum, bahkan sampai menampilkan barisan giginya yang putih. Dua matanya menyipit, menatap penuh cinta ke arah kama. “Oh iya, kamu mau makan dulu atau mau langsung pulang?” tanya Kama. Mita menggeleng cepat. “Mau langsung pulang aja. Tadi aku udah pesen minum.” Jawabnya. “Mau dianterin apa pulang sendiri?” Tanya Kama menggoda. “Dianterin dong.” Balas Mita berdecak. “Ya udah, yuk aku anterin.” Ajak Kama kemudian, menarik tangan Mita berdiri dari posisi duduknya. Keduanya tampak keluar dari tempat tersebut sambil bergendengan tangan. Dan tanpa mereka sadari sedikit pun, di meja di belakang tempat yang diduduki Mita dan Kama, duduk sosok lelaki tampan, berkarisma yang sejak tadi ikut menyimak obrolan Mita dan Kama tanpa sengaja. Lelaki yang mengenakan setelan jas berwarna navy itu tampak menerbitkan senyum yang sulit diartikan di bibirnya. “Baguslah, dengan begitu aku nggak perlu repot-repot mencari alasan supaya perjodohan ini batal.” Katanya lagi. “Aku hanya perlu jadi anak baik dan penurut yang tersakiti saja.” gumamnya masih dengan senyum aneh yang terpatri di wajahnya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.7K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.8K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.4K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
59.8K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook