Siapa yang Sebar Info?

1701 Kata
Rasanya seperti memakan buah mangga mentah yang sama sekali tidak ada manis-manisnya. Which is, not good. "Kalian kesini, mau ngerjain tugas atau.. cuma main aja?" Lana sebenarnya masih belum bisa mencerna baik-baik apa maksud Kezia dan Aldo yang sama-sama memohon agar diberi kesempatan menutupi status pernikahan resmi mereka. Karena walaupun sejak awal Kezia yang meminta agar tidak diadakan pesta besar-besaran, Lana sama sekali tidak sampai berpikir kalau mereka akan menyembunyikan indentitas pernikahan ini sampai sekarang bahkan pada Galih, Fajri dan Sergio. "Main aja sih Tan." Galih yang menjawab pertanyaan kali. "Emang Aldo kalo ganti baju sekarang jadi lama ya, Tan, Om?" Sergio mempertanyakan hal yang sejak tadi mungkin mengganggu pikirannya. "Perasaan nggak ada semingguan deh terakhir kita main ke sini, jadi aneh itu anak." "Itu nggak aneh, Aldo emang jadi lama ganti bajunya karena mungkin agak males liat wajah kalian tiap hari." Algo jadi ikut bersuara padahal sejak tadi hanya memperhatikan teman-teman putranya mengobrol bersama istrinya. "Makanya sering-sering cuci muka." Fajri buru-buru memberikan respon garing dengan tawa tidak sewajarnya atau mungkin sekadar dibuat-buat saja. "Ah, Om bisa aja. Makasih loh ya, atas kejujurannya." "Iya Om, jadi malu kita." Galih sebagai penutup keheningan yang mungkin tercipta setelah beberapa percakapan garing saling bersahutan. "Sebenarnya niat kalian ke sini mau ngapain sih? Ngajak keluar apa mau numpang makan?" Pertanyaan Aldo langsung terdengar pertama kali ketika baru saja berjalan beberapa langkah dari kamarnya dan kini menuruni tangga. "Kalo pertanyaannya harus dijawab jujur, kita cuma mau ngajak lo main." Galih mulai menjelaskan filosofi bagaimana trio cowok gonjang-ganjing jomblowan setia abadi datang ke rumah Aldo dan menggemparkan seisi kamar pengantin baru. "Tapi kalau emang kita diberi tawaran mau makan di sini apa enggak, ya jelas jawabannya mau." "Pinter banget cari gratisan, Ngap." Sergio langsung menyerbu penjelasan Galih yang ngalor ngidul tidak langsung to the point. "Nggak usah nyusahin nyokap gue lo pada, kita keluar aja gue yang traktir." "Lah, Do? Serius nih?" Fajri masih perlu menanyakan lebih jelas. Aldo menaikkan kedua alisnya dengan mengekspresikan wajah yakinnya yang memang berniat mengusir ketiga temannya itu dari rumah ini. Karena akan benar-benar tidak aman dan bahkan berbahaya kalau mereka bertiga terlalu lama di sini, Kezia bisa-bisa engap di dalam kamarnya. "Udah, ayo jalan!" Aldo langsung mengisyaratkan ajakan keluar dari rumah pada ketiga temannya. Sementara Papa dan Mamanya hanya menatapnya karena entah bingung harus merespon bagaimana. Karena jujur mereka berdua tidak tahu betul atau bahkan tidak tahu sama sekali bagaimana bisa Aldo dan Kezia sama sekali tidak memberitahu pernikahan mereka kepada publik. Sebelum benar-benar pergi dari rumahnya yang mewah ini, Aldo menatap lagi wajah kedua orang tuanya yang duduk di meja makan sana tanpa ketiga temannya ketahui. Yang sempat terpikirkan dari otaknya adalah bagaimana respon mereka berdua saat putra semata wayang Keluarga Raharha tidak berani terus terang mengenai pernikahan resminya dengan Kezia. Putri bungsu Keluarga Mauran. "Yo, tapi lo yang nyetir. Masa gue yang traktir, gue juga yang nyetir." "Yoi, beres bos." Begitu respon Sergio setelah sebuah kunci mobil Aldo di berikan langsung kepadanya. *** Sudah gila. Sejak awal keputusan mutlak Papanya dan Om Algo menjodohkannya dengan Aldo bahkan benar-benar bertekad bulat menggelar pernikahan setelah lulus SMA sudah membuatnya hampir kehilangan seluruh akal sehatnya. Apalagi saat ini ditambah harus mati-matian menjaga rahasia pernikahan resmi yang ia sendiri sebenarnya tidak peduli dari semua teman-temannya semakin membuatnya stress tingkat luar biasa. Padahal ini baru ujian pertama, kalau diperkirakan masih ada banyak sekali ujian-ujian lain yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dipeluk terpaksa oleh Aldo di dalam selimut karena Galih, Sergio dan Fajri tiba-tiba masuk kamar. Kaca jendela ini benar-benar sejernih. Sejernih bagaimana otaknya tiba-tiba berpikiran untuk membuat perjanjian 6 bulan pernikahan dengan Aldo. Segampang itu Kezia merencanakan, tetapi setelah ini di awal percobaan. Gadis bermarga Mauran ini memakai hot pants super pendek dengan atasan oversized T-shirt yang keduanya sama-sama berwarna putih. Rambut panjangnya terurai tidak terlalu rapi dan tidak terlalu berantakan. Pandangannya menatap luar, bercampur antara kesal, lelah dan sedih serta beberapa ekspresi emosi lain yang mungkin juga dirasakannya karena hari ini benar-benar cukup menguras tenaganya. "Anak buah Aldo juga ngapain tadi ke sini, bikin rusuh. Udah tau—" Kezia langsung berhenti di tengah kalimatnya karena ia merasa salah bicara. "—eh mereka nggak tau." Dari awal Kezia sama sekali tidak pernah menyangka kalau pada akhirnya harus terjebak pada pernikahan muda yang memaksanya harus bersikap dewasa atau sedikit lebih cerdas dari biasanya agar apa yang sudah dikatakannya di awal tidak menjadi sekadar omongan tidak berguna. "Zia." Sebuah suara yang terdengar cukup halus memanggilnya dari luar kamar. Pandangannya langsung ditolehkan ke arah sumber suara. "Iya, Tante?" Pintu langsung dibuka setelah seseorang di dalam kamar memberikan respon. "Kamu udah makan siang belum?" "Belum Tante, aku—" Lana tidak langsung membiarkan Kezia mengucapkan jawabannya, langkah kakinya justru bergerak ke depan semakin mendekati Kezia yang duduk dengan mengangkat kedua kakinya di atas frame jendela. "Mau Tante ambilin?" Kezia buru-buru menggeleng. "Nggak usah Tante, nanti aku bisa ambil sendiri kok. Tante nggak perlu repot-repot ambilin segala, Tante kan mertua aku." "Ya, sudah kalau gitu. Tante keluar ya, nggak usah malu mau ngapain aja di sini. Sekarang rumah ini sudah menjadi rumah kamu juga. Karena kamu sudah menjadi bagian dari Keluarga Raharja, ya Kezia ya." Kezia mengangguk ragu-yakin baru yakin-yakin. Baru setelah langkah wanita paruh baya itu benar meninggalkan kamar ini, Kezia langsung berdiri dan berjalan menghampiri pintu lalu menutupnya. Setelah berbalik badan, yang ia lihat pertama kali adalah luasnya kamar yang ia tempati bersama Aldo. Di dalam ini ada barang-barangnya, barang-barang Aldo dan barang-barang mereka berdua. Hati kecil Kezia sedikit tersentuh saat mengingat bagaimana Aldo mengucapkan dengan lantang proses akad di depan kedua Papa dan Mamanya, Tante Lana dan Om Algo, sekaligus beberapa saksi penting yang diwajibkan ada. "Halah! Apaan sih? Ngapain juga gue tiba-tiba kepikiran soal akad itu." Kezia membuang napasnya yang cukup terkumpul banyak di waktu ini. Baru setelah itu memakai slop empuk di bawah meja rias dan membuka pintu kamar lalu keluar dari sana. Tatapan matanya langsung tertuju pada sebuah meja makan mewah yang di sana ada dua orang duduk sambil berbicara santai. Sesaat ia teringat Papa dan Mamanya yang biasanya menunggunya keluar kamar karena sering bangun kesiangan. Begitu anak tangga yang dipijaknya habis, Kezia memasang senyum di wajahnya menatap kedua mertuanya duduk berhadapan di meja makan yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya. "Tante udah siapin ini buat kamu." Lana mendorong sebuah mangkuk berisi sup buntut yang baru dibuatnya sebelum tadi masuk ke kamar Aldo dan Kezia. "Tante pernah nanya ke Mama kamu, apa makanan kesukaan kamu kalau lagi kayak banyak bengong, haha. Katanya kamu bakal makan banyak kalo pikiran juga lagi banyak, tapi makanannya harus sup buntut. Maaf ya Zia, Tante nggak kreatif mainnya nanya-nanya nggak inisiatif sendiri." Kezia memajukan bibirnya dengan manja. Perasaannya langsung luluh ingin menangis saat ini juga entah di hadapan kedua mertuanya atau siapapun. "Tante.." "Kamu nggak suka kalau bukan buatan Mama kamu sendiri? Maaf ya, Tante nggak maksud menjiplak atau gimana kok. Tante cuma mau buat kamu nyaman dan betah aja tinggal di sini sama keluarga ini." Kezia menggeleng dengan mata yang hampir meneteskan air harunya. "Boleh peluk Tante nggak?" Lana buru-buru membalikkan badannya di kursi dan membuka pelukan untuk Kezia lebar-lebar. Sementara Kezia langsung berhambur dan menangis sejadinya karena apa yang ia lakukan benar-benar membuat anak menantunya ini terharu bahagia. "Kezia sayang Tante, makasih ya udah mau jadi Mama yang baik untuk Zia. Zia bener-bener nggak pernah nyangka kalau Tante bakal sedetail itu mau buat Kezia betah di sini." Algo itu mengembangkan senyum bahagia melihat istri dan menantunya bisa sangat akrab selayaknya anak dan ibu kandung. "Jadi Kezia suka?" "Banget Tante, makasih banyak." Lana membuka pelukan ini. Tangannya bergerak menghapus beberapa tetes air mata membasahi pipi Kezia. "Ya, sudah kamu makan ya. Tante yakin kamu baru keluar dari kamar kalau lagi lapar, kan?" Kezia menyelinapkan senyum kecil. "Tante.." "Iya, nggak kok Sayang. Ayo, katanya suka? Habisin dong!" Kezia mengembangkan senyum sekali lagi. Baru menghapus ulang air matanya yang tadi sudah dihapuskan Lana. Sekarang giliran menyikat habis sup buntut yang ada di depannya. *** Aldo sudah di sini. Tempat di mana ia biasa nongkrong bersama ketiga temannya, Rere dan beberapa cewek-cewek yang ingin ikut-ikutan duduk satu meja bersamanya. Untuk saat ini hanya ada dirinya dan ketiga temannya saja, tidak ada Rere ataupun cewek-cewek matre dan kegatelan yang biasanya cari muka terhadapnya. "Tiap hari gini dong, Do seharusnya." Galih tiba-tiba berbicara di tengah asyiknya makan mereka semua, tetapi Aldo hanya menyeruput jus lemonnya. "Udah amnesia ini anak berapa kali gue jajanin di kantin kampus. Gila..." Fajri dan Sergio langsung tertawa meresponnya. "Ya, maksud gue kan siangnya. Di kafe gini kan enak." Sergio membuka handphone, ada chat masuk di sana yang mengatakan kalau seseorang peng-chat itu sudah berada di area yang diinformasikannya. Sergio buru-buru membalas menyuruh langsung masuk saja, tidak akan sama sekali jadi masalah. Tepat sekali! Pintu utama kafe ini terbuka dan menampakkan gadis cantik memakai celana hitam highwaits dan atasan crop putih. Rambutnya berwarna coklat gelap dengan wajah putih cerah under tone pink. Pandangannya langsung di arahkan pada Aldo, sementara si laki-laki yang dipandangnya langsung membalas dengan mata segar. "Yee, giliran liat cewek aja seger bawaannya." Fajri yang pertama kali meledek saat cewek di dekat pintu masuk sana tersenyum ke arah Aldo. "Apaan sih lo, ya namanya juga normal." Mungkin sudah direncanakan sejak awal, gadis rambut coklat itu terlihat berjalan ke arah meja Aldo dkk dan melambaikan tangannya dengan senyum luar biasa manis. Sudah jelas tidak mungkin Aldo menyianyiakan kesempatan, ia memberikan senyuman balik sampai tiba-tiba hilang karena si gadis sedang menyapa pacarnya dan berpelukan di belakang sana. Galih dan Fajri auto dipastikan tertawa terbahak-bahak karena baru pertama kali Aldo benar-benar kepedean soal cewek. "Aldo!" Mungkin yang tidak Aldo sadari sejak memperhatikan cewek rambut coklat tadi, adalah pintu masuk kafe terbuka lagi saat seorang gadis lain membukanya hingga sebuah panggilan itu terdengar di telinganya. Pandangan mata Aldo langsung dialihkan dari si cewek rambut coklat yang memeluk cowoknya, sumpah serapah pada dua orang yang menertawakannya sampai berhenti pada satu titik di mana seorang gadis memakai rok span jeans pendek dan atasan hoodie crop memasang wajah kesal padanya di depan sana. "Siapa salah satu dari kalian yang udah sebar info kalau gue hari ini nggak ada kerjaan di kantor dan malah traktir makan siang kalian di sini? Ngaku!" Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN