Sekretaris

995 Kata
Adam menarik rambutnya hingga terlihat mudah. Lelaki itu terlihat frustasi. Melihat Hanin memuaskan nafsu laki-laki hanya menampilkan Adam .. Astaga, bahkan Adam tidak tahu harus menamakan perasaan ini apa. Tahu Adam hanya Adam marah, marah sampai rasanya ia ingin membunuh lelaki b***t bernama Alfin. Adam terdiam seribu kata. Bahkan Hanin di sebelahnya juga tampak tak bertanya-tanya tentang Adam. Hanin diam. Tapi air mata terus menetes. Pikiran perempuan itu berkecamuk. Apakah Adam malu dan jijik melihat Hanin setelah tadi keluar kekasihnya itu melihat dengan mata diterima sendiri? "Dam, makasih." Hanin Buka suara. Perempuan itu melirik Adam lewat ekor, "Aku .. Minta maaf. A-aku mau pulang sama taksi aja." Hanin Buka pintu mobil, Keluar dari mobil Adam. Namun Adam segera mencekal melepaskan membuat Hanin menoleh, "ya?" Suara gadis itu bergetar. Adam tahu benar Hanin memegang tangis. "Aku gak marah sama kamu. Aku marah sama Alfin, sama diri aku sendiri." jelas Adan seperti tahu apa yang dipikirkan oleh Hanin sampai perempuan itu ditentukan dari mobil. Satu tetes air mata berakhir keluar kembali. Hanin menggigit bibir bawahnya, takut jika tangisannya semakin kencang. Adam menggeleng lemah, ia menarik Hanin ke pelukannya. "Semuanya udah selesai. Gak akan ada Alfin di hidup kamu," bisik Adam puas. Tangan Adam bergerak. Meski Adam sendiri perlu ditenangkan karena emosinya bisa dihancurkan-ledak. Adam melepaskan pelukannya, memindahkan bergerak mengusap pipi Hanin dan menghapus air melihat. "Jangan nangis lagi," Hanin menunduk. Tidak menggeleng juga tidak mengangguk. Perempuan itu tidak tahu harus apa. Seperti, ia layak tidak layak Jika ini Adam masih saja ingin kembali bersamanya padahal Hanin kotor. "Aku anter kamu pulang," ucap Adam lalu menghidupkan mesin mobilnya. // Adam meninggalkan rumah Hanin setelah menjelaskan semua kepada Anisa, Mama Hanin. Setelah berhasil memecahkan Alfin dengan perempuan itu, tugas Adam adalah membentengi Hanin agar tidak terlibat dengan Alfin lagi. Karena Adam yakin Alfin tidak berhenti begitu saja. Tentang mengharapkan yang ingin dilakukan Adam, tenang. Itu masih akan terus berlanjut. Laki-laki itu merebahkan punggung di sofa Rumah. Iya, rumah Bundanya, bukan apartemen Adam. Kejadian-kejadian hari ini membuat Adam tiba-tiba merindukan Bundanya. Bunda berjalan mendekat dan buka gelas berisi jahitan hangat di depan Adam. "Tumben kamu kesini?" tanya Bunda sambil duduk disamping Adam. Adam menoleh dan tersenyum kecil, "Kangen Bunda aja." katanya seraya memeluk Bunda dari samping. Bunda tertawa, "kayak anak kecil aja kamu, Bang. Ga inget berumur udah 23 gini?" "Emang apakah umur udah 23 gak bisa meluk Bunda?" Bunda mengusap rambut jahat, "Ada masalah, ya?" Adam menggeleng. "Hanin, ya?" Adam diam. "Memang kenapa Hanin?" Adam memang tidak pernah bisa lepas dari rasa penasaran. "Gak papa. Aku cuman lagi mikir aja, mau PDKT sama dia ngawalinnya darimana?" katakan lelaki itu sambil menunjukkan cengirannya. "Ih. Mana nih yang katanya Adam itu penakluk wanita? Masa gini doang gak tau." "Gak gitu, Buuun. Tapi Hanin sekarang kan udah beda sama Hanin yang dulu. Sekarang dia lebih dewasa, lebih .. Apa ya, pasti gak gampang balik sama dia lagi. Dia udah pernah aku sakitin." Bunda membuka tubuh sepenuhnya menghadap Adam, "Dulu, pas Ayah kamu sama Bunda sempet putus kayak kamu gini, Bunda lulu karena Ayah berhasil meyakinkan Bunda untuk mendukung hubungan bukan sebagai pacar, tapi rumah tangga. Bagaimana gak coba gitu aja?" Adam mengernyit, "Hanin jadi pacar aja belum tentu mau. Gimana mau jadi istri aku?" "Makanya, Abang. Di-co-ba-du-lu. Kamu ngeyakinin dia kalau kamu bukan mau jadi pacarnya lagi, tapi jadi pasangan hidup. Tujuan kamu bukan untuk balikan dengan Hanin, tapi untuk menerimai dia." Adam diam. Seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Kemudian lelaki itu tersenyum pada Bunda. "Terimakasih, Bun. Aku pulang dulu." kata Adam sambil mengecup pipi Bunda. "Loh gak jadi nginep di sini?" "Aku emang niatnya mau mampir doang." Bunda melirik malas, "Dateng kalau ada maunya doang, ya, Bang." Adam tertawa sambil melompat dari arah pintu, "Love you, Bun!" teriak lelaki itu. // Adam tidak berniat mengajak Hanin keluar hari ini. Lelaki itu tau Hanin butuh pertimbangan sebelum memulai hari. Adam menyandarkan punggungnya di kepala tidur dengan tangan yang sibuk mencari kontak Hanin di ponsel. Jam masih menunjukkan pukul 8 malam, Hanin pasti belum tidur. Dengan itu, Adam memilih menelepon Hanin. Agak lama Adam menunggu untuk disetujui, membuat Adam berpikir bahwa Hanin sudah tidur. Namun ternyata tidak. "Lingkaran cahaya?" Suara Hanin terdengar serak. Entah karena bangun tidur atau selesai menangis lagi. "Halo, Nin. Lagi ngapain?" Adam menepuk keningnya, kok kayak topik telepon anak SMA aja sih? "Ha?" "Kamu lagi ngapain?" Adam keukeuh dengan pertanyaannya. "Lagi baca-baca aja." "Baca novel?" Adam karena tahu hobi Hanin sejak SMP. "Enggak. Baca koran." Adam mengenyit, "Ngapain baca koran?" "Lagi cari lowongan kerja." Adam diam. Kenapa ia bisa lupa dengan Alfin, artinya Hanin juga kehilangan pekerjaannya. Adam memutar otak untuk mencari solusi. "Kamu mencari rumah sakit yang lagi buka loker?" "Enggak sih. Cari kerjaan apa aja yang penting cocok ke aku." "Berarti gak berhubungan sama medis gak papa?" Disana, Hanin mengangguk, "Gapapa." Mendengar itu Adam tiba-tiba memiliki ide brilian. Cerdas banget sih lo, Dam. Batin Adam menghargai diri sendiri. "jadi sekretaris aku mau?" tanya Adam. "Apa?" Hanin menjawab dengan cepat. Seperti tidak percaya dengan kalimat Adam. "Emm .. Gini, maksudnya, aku kan-- eh, perusahaanku kan butuh sekretaris lagi. Nah dari pada ini dikasih ke orang lain buat kamu aja, kan? Lagian aku juga tau kemampuan kamu di bidang beginian tuh bagus." Adam ini memang berbakat sekali dipahami. Di taruh di mana posisi Ardi sebagai sekretaris Adam jika Adam menyuruh Hanin mengisi posisi itu? Ah, biarlah. Itu bisa dipikir nanti. Yang penting adalah Adam yang membuat satu kemajuan agar Adam dan Hanin bisa sering bertemu. "Tapi, Dam. Aku gak punya pengalaman di peru--" "Tidak apa-apa. Aku bisa ngajarin kamu pelan-pelan." "Ini berarti aku menunggu kirim CV ke kantor kamu gitu, ya?" Adam tersenyum lebar. Menerima Hanin menerima penawarannya. "Iya, besok. Langsung wawancara sekalian." katakan Adam. Gila, semangat banget dia. "Aku ngelamar jadi sekretaris-- kamu?" "Iya." "Emang gapapa?" "Ha?" sekarang Adam yang bengong. Maksud Hanin gak papa nih gimana? "Enggak. Gak jadi." Adam tersenyum kecil, "ya udah. Kalau gitu kamu sekarang istirahat. Jangan lupa siapin buat besok." Hanin tidak menjawab apa pun. "Aku matiin, ya?" tanya Adam. "Iya." " Aku cinta kamu, " ujar Adam cepat lalu segera menutup telepon. Setelah memanggil terputus, Adam melempar ke ranjang dan tersenyum lebar. Ia suka remaja yang sedang kasmaran. Tak peduli Hanin terkejut dengan kalimat cinta dari Adam di detik terakhir sebelum ia menutup telepon, yang penting Adam senang. Membayangkan Hanin menjadi sekretarisnya di kantor membuat Adam bersemangat tidak bisa bahagia lebih dari ini. Ah, bukankah Tuhan sangat baik untuk Adam? tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN