Keputusan

925 Kata
Hanin terlonjak karena bangun dan yang didapati adalah ruangan asing. Beberapa saat kemudian ia baru ingat bahwa ia menginap di apartemen Adam semalam. Gadis itu mengedarkan pandangannya tetapi tidak menemukan sosok Adam. Ia bangun dari ranjang dan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Hanin menemukan kaos abu-abu milik Adam yang memang perlu lelaki itu agar Hanin bisa memakai pakaian. Ini membuat Hanin kembali ke atas ranjang setelah dari kamar mandi, ia menyelimuti bantal dan memilih untuk memberi kabar kepada Mamanya. Tepat kompilasi panggilan terhubung, suara derit pintu terdengar. Pintu terbuka menampilkan Adam dengan kaos dan celana pendek membuka ruang. Adam tersenyum seraya ditutup pintu. Kakinya mengayun masuk pada Hanin yang masih sibuk berbicara dengan izin di telepon. "Iya. Nanti Hanin cerita," ujar Hanin sebagai penutup. Adam mengirimkan mug kepada Hanin, "Gimana tidurnya? Nyenyak?" tanya Adam seraya menunduk mendekatkan bibir ke pelipis Hanin, sedikit lagi akan benar-benar mendaratkan Adam tidak langsung sadar sekarang mereka hanya teman Jadi ia memundurkan dulu dan berdeham canggung. Hanin sendiri melirik Adam lewat ekor, kemudian pura-pura tidak tahu. "Nyenyak, kok. Makasih ya udah mau terima tumpangan kamar." "santai. Kayak sama siapa aja." jawab Adam sambil terkekeh. "Jadi hari ini mau langsung ngomong ke Mama soal kamu sama Alfin?" Hanin menoleh menatap Adam. Adam yang ditatap segera meralat, "Ke Tante Ica maksudnya." Hanin memegang tawa melihat Adam gelagapan, "iya. Habis ini aku mau langsung pulang." Adam mengangguk-angguk. "Aku anter, ya." "Gak usah. Nanti mama malah bertanya-tanya mengapa sepagi ini aku lagi sama kamu." "Gapapa. Biar sekalian aku jelasin." Hanin tetap bersikukuh menggeleng. Kemudian Hanin turun dari ranjang Setelah menghabiskan coklatnya. Hanin diam sesaat seperti menyukai sesuatu. Lalu ia kembali menoleh ke Adam yang duduk di tepi ranjang, "Kamu punya sabuk cewek gak?" Adam mengangkat alisnya, tetapi tetap menjawab, "Kayaknya punya kamu yang dulu kamu tinggal di rumah Bunda aku bawa kesini deh." katakanlah Adam dan berdiri menuju lemarinya. "Ngapain kamu bawa ke terpisah?" Adam yang sedang mencari sabuk Hanin jadi menoleh dan menyengir, "Gak papa. Obat kangen aja." Hanin mencibir. "Nih. Buat apa sih?" Hanin mengambil sabuk di tangan Adam dan memakainya di pinggang, "Biar keliatan modis aja. Yakali aku mau naik taksi tapi pake kaos oblong kamu doang gini." Hanin bercermin melihat penampilannya lalu bergumam, "Not bad." "Aku pulang dulu, ya. Maaf banget ngerepotin." "Apa sih, Nin? Aku malah seneng direpotin kamu." Hanin tertawa lalu keluar dari pintu meninggalkan Adam yang menatap sayu punggung Hanin yang perlahan menjauh. Adam selalu trauma melihat punggung Hanin, mengingatkannya kepada kejadian di kafe dimana ia ditinggalkan Hanin dengan undangan pertunangan perempuan itu. Adam menghela nafas pelan dan menyemangati dirinya sendiri. "Tinggal nunggu Hanin putus, terus tancep gas." gumam Adam. // Anisa menatap Hanin tak percaya setelah mendengarkan keseluruhan cerita Hanin. Begitu pula dengan Reno, sang adik. "Astaga, Nak. Kenapa gak cerita dari awal?" desah Anisa seraja memijat pangkal hidungnya. Bagaimana bisa ia menjodohkan anaknya dengan manusia berperilaku hewan seperti Alfin. Padahal Anisa dulu sangat yakin bahwa Alfin adalah yang terbaik untuk Hanin, minimal lebih baik daripada Adam. Apalagi Alfin adalah ahli waris Rumah Sakit besar di Jakarta Pusat. "Untung aja Papa kamu gak tau soal ini. Kalau Papa tau, udah pasti Alfin dituntut karena melakukan pelecehan!" ujar Mama menggebu-gebu. Hanin hanya diam. Setelah menceritakan tentang kehidupan percintaannya dengan Alfin kepada sang Mama, ia bersyukur karena Mamanya bukan seperti mama-mama di sinetron yang akan tetap memaksa Hanin meneruskan hubungannya dengan Alfin karena Alfin adalah anak orang kaya apalagi mereka sudah bertunangan. "Nasib lo jelek amat, Kak. Keluar dari kandang macan, masuk ke kandang singa." ujar Reno sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Terus, kamu udah putusin Alfin?" tanya Mama mengalihkan perhatian Hanin. "Belum, Ma. Hanin harus cari trik biar Alfin mau Hanin putusin. Alfin orangnya keras, yang ada Hanin kena pukul lagi kalau minta putus." Anisa menghela nafas, "Coba kamu minta tolong ke Adam. Dia selalu maju paling depan kalau menyangkut keselamatan kamu," "Lah? Mama nih gimana sih? Yang ada begitu tuh bikin Bang Adam mikir kalau kakak ngasih dia harapan buat balik." "Loh, kan Haninnya gak keberatan balik sama Adam. Jadi kenapa harus dipermasalahin?" ujar Anisa membuat Hanin tersedak. Kok malah nyasar ke sini obrolannya? "Lo masih suka sama Bang Adam, kak?" tanya Reno menoleh sepenuhnya pada Hanin yang membersihkan bibir dengan tisu. "Y-ya gimana sih. Pacaran 5 tahun lo kira gampang ngelupainnya?" jawab Hanin jadi sewot sendiri. "Tapi lo sama Bang Alfin juga udah pacaran 2 tahun, njir!" "But he didn't treat me as well as Adam did." "Ooh, jadi Adam treat you well?" balas Reno menyindir. "Bukannya gue ngelarang lo sama Bang Adam. Gue tuh cuman apa ya, ogah kak ngeliat lo dibikin nangis lagi. Lo gak inget gue sampe relain jadwal ngapel gue gara-gara nemenin lo nangis di pojokan?" Hanin mencibir. Tak tak ayal ia tak dapat menahan senyumnya. Begitu pula Anisa yang tersenyum melihat interaksi kedua anaknya. Ia tahu Reno menyayangi Hanin sebegitu besar hingga tak ingin Hanin dilukai untuk kesekian kali. Tapi jika menyangkut hati, Hanin juga tak bisa mengelak. Boleh saja orang bilang Hanin bodoh. Diselingkuhi dua kali dan tetap mencintai Adam, kurang bodoh bagaimana lagi memang? Tapi sejahat-jahatnya Adam pada Hanin, tidak sebanding dengan Alfin yang dengan kurang ajarnya menganggap Hanin, sang tunangan, sebagai b***k seks untuk memuaskan nafsu laki-laki itu. "Tau ah. Pokoknya kalau lo masih mau sama Bang Adam, pesen gue jangan cepet-cepet lo iyain ajakan dia buat balikan. Tunggu lama dulu biar Adam gak gampang nyakitin lo karena inget sesusah apa ngedapetin lo." Reno menenggak air putihnya kemudian meninggalkan Hanin yang termenung mendengar pesan dari adiknya. "Hanin, Mama gak tau harus apa selain mendukung semua keinginan kamu selagi kamu suka. Pesan Mama jangan salah langkah. Kamu udah besar, setiap keputusan yang kamu ambil akan ada resikonya." ujar Mama sambil mengusap kepala Hanin lembut. "Kalau kamu mau sama Adam lagi, Mama fine-fine aja. Gimanapun Mama juga udah kenal keluarga Adam dengan baik." Hanin tersenyum. tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN