Prolog
“Aku suka sama Ibu,” ujar seorang remaja berseragam putih abu-abu.
Perempuan berseragam batik dibalik meja penuh tumpukan buku itu tertawa kecil sambil menggeleng lucu. Ia hanya mengabaikan ungkapan dari anak didiknya tersebut dan terus melanjutkan kegiatannya membuat laporan pembelajaran.
“Ibu tunggu aku lulus, ya! Setelah itu aku bakalan datang melamar ibu ke rumah,” lanjut remaja itu.
Si ibu guru masih tersenyum simpul lalu menghentikan kegiatannya. Pandangannya kini terpusat pada anak murid yang sejak awal ia mulai kegiatan KKL ini selalu mencoba mencari perhatiannya.
Tak seperti teman-teman seumurannya, remaja itu memiliki perawakan yang lebih dewasa. Posturnya bisa dikatakan menjulang dan proporsional. Tidak mengherankan, karena ia adalah kapten tim futsal kebanggaan sekolah. Wajahnya pun rupawan hingga membuatnya memiliki cukup banyak penggemar dari kalangan siswi. Namun, anehnya tak seorang siswi pun yang mampu menarik perhatian remaja itu. Justru ibu guru yang usianya terpaut lima tahun dengannyalah yang kini seperti menjadi pusat dunianya.
“Sekolah saja yang bener, Zen! Gak usah bercanda kamu,” peringat si ibu guru sambil tersenyum kecil dan menggelengkan kepala.
“Aku serius tahu, Bu,” dengus remaja bernama Zen tersebut.
Si ibu guru menumpukan kedua tangan diatas meja tanpa mengendurkan senyumnya. “Baiklah, anggap kamu memang serius, Zen. Tapi, sekarang ibu tanya, kapan kamu mau melamar ibu?”
“Setelah aku lulus,” jawab Zen pasti dan membuat si ibu guru mengangguk tanpa mengendurkan senyum simpul yang sangat Zen sukai tersebut.
“Kamu sekarang kelas sebelas, berarti dua tahun lagi?”
“Satu setengah tahun, dong, Bu! Sekarang ‘kan udah hampir semester genap,” sanggah Zen yakin.
“Ah ya, benar. Satu setengah tahun lagi,” wanita itu mengoreksi kalimatnya. “Memangnya setelah lulus kamu sudah bisa menafkahi Ibu? Kamu punya kerjaan? Atau punya warisan yang gak akan habis tujuh turunan?”
Remaja itu tertawa kering sambil mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal. Tentu saja jawaban dari pertanyaan sang guru tadi adalah tidak. Zen masih terlalu muda dan ia tidak memiliki warisan apa pun.
“Kamu gak mau kuliah, gitu? Sayang loh, umur kamu masih muda kalau harus menikah dan mencari nafkah,” lanjut si ibu guru yang semakin membuat remaja itu menyadari kekurangannya.
Namun, ternyata pernyataan itu tidak benar-benar mampu membuat Zen mundur.
“Gak apa-apa, asal aku bisa jadi suami Ibu,” kukuh Zen.
Si ibu guru menghela napasnya panjang. Sepertinya anak muridnya ini cukup keras kepala dan perlu diberikan pengertian lebih jauh dan tegas.
“Zen, dengerin Ibu, ya!”
Remaja itu mengangguk antusias. Matanya berbinar dan senyumnya mengembang. Persis seperti seekor anak anjing yang menanti belaian dan pujian dari majikannya.
“Ibu tidak berminat sama laki-laki yang tidak peduli sama masa depannya sendiri yang sebenarnya cerah, tapi harus tertutup oleh mendung berkedok cinta. Lagipula, ibu juga sudah punya calon suami. Jadi, simpan energi kamu untuk sesuatu yang lebih berguna, Zen. Jangan sia-siakan masa remaja dan mudamu! Ibu gak mau kamu menyesal dikemudian hari.”
“Ibu mau menikah?” tanya Zen terperanjat dan kedua mata yang membola lebar.
“Kalau kamu memang perlu tahu, ya, Ibu akan menikah setelah wisuda beberapa bulan lagi,” jawab sang guru dengan yakin.
Tubuh Zen melemah dan binar dimatanya surut seketika. Namun, bukan Zen namanya jika ia menyerah begitu saja.
“Jangan menikah, Bu, tunggu aku saja sampai lulus! Aku janji bakalan langsung cari kerja dan kasih penghidupan yang layak serta membahagiakan Ibu,” bujuk remaja itu penuh keyakin.
“Zen!” tegur guru itu mulai kesal dengan betapa keras kepalanya sang murid.
“Atau kalau Ibu tetap nekat mau menikah,” remaja itu menjeda kalimatnya seraya menghela napasnya kasar. “Aku tunggu jandanya Ibu!” tukasnya seraya beranjak meninggalkan sang ibu guru di ruangannya.
Remaja itu Zenvo Prasetio, atau seringkali dipanggil dengan Zen. Siswa kelas sebelas di sebuah SMA negeri di ibukota yang tergolong sebagai salah satu siswa badung dimasanya. Namun, sejak kehadiran bu guru KKL yang bernama Audi Bavaria, Zen menjadi lebih sering patuh pada peraturan sekolah.
Sayangnya, perasaan itu benar-benar hanya bertepuk sebelah tangan. Tak lama setelah Zen mengutarakan perasaannya di sore itu, si ibu guru menyelesaikan program KKL dan membawa pergi separuh hati seorang remaja yang baru sekali ini merasakan jatuh cinta sekaligus patah hati.