29. Kerkel

1635 Kata
Dea Sagita: Raf, aku mau ke rumah Rayn ngerjain tugas. nggak bareng kamu dulu ya. Rafael Adrian: Yah gitu ya, hati-hati klo gitu sayang. Nanti pulangnya aku jemput share location rumah Rayn aja.   "De! Lo nebeng bareng siapa?" Suara Rina mengerecoki. Aku mengangkat wajah dari ponsel. Kami berada di parkiran sekarang. Jojo, Della, Dika, dan Rayn menatapku pada posisinya masing-masing. Aku mengangkat kedua bahu, sebenarnya sama siapa saja aku sih mau saja. "Tinggal Jojo sama Rayn yang avail. Gue ama Dika, nggak mau sama Jojo apalagi Rayn," ujar Della. "Kok kayak cowok bookingan?" cetus Jojo tidak senang. Raut wajahnya masam. "Tuhkan Della aja betah nempel sama gue." Dika ketawa lebar. Della langsung buang muka. “Soalnya gue cuma merasa aman naek motor yang disetirin sama lo. Rayn kek orgil naek kendaraan. Jojo terlalu perhitungan.” Rayn menimpali, "Parah nggak ada yang mau deket-deket sama gue? Nggak tau aja banyak cewek yang modus mau bareng sama gue tau." "Gue sih sama siapa aja," sahut Rina memainkan tali tasnya. Aku berpikir lagi, sepertinya ada yang kurang di sini. "Buruan ih, malah melamun!" Aku menoleh pada Rina yang mencebik. "Iya-iya deh, nih gue sama Jojo. Rina, lo sama si Rayn aja." Aku berjalan mendekat ke arah Jojo yang wajahnya lega akhirnya kita bisa pulang juga. Rina menoleh ke arah Rayn yang memainkan alisnya sok ganteng. "Apaan deh lo!" semburnya kesal. "Galak amat, Neng. Kuy, cabut! Eh, Jo, lo beli makanan yak!" perintah Rayn pada Jojo. "Ogah, modal mulu gue. Lo sekali-kali dong!" Jojo berjalan meneruskan langkahnya belagak sok cuek, padahal pastinya dia tak semenyebalkan itu. "Yah, perhitungan! Jo, di rumah gue cuma ada garem." Aku dan Jojo mengabaikan Rayn yang masih teriak-teriak sudah digeret oleh Rina menuju letak motor Rayn. Aku baru sadar apa yang kurang, Alvin mana? Dea Sagita: Vin, lo di mana, kerumah Rayn dong Alvin Matt: Nanti *** Ingin rasanya aku menggaruk kepala, saat hasil akhir perhitungan perusahaan yang aku kerjakan hasilnya tidak balance. Salah besar aku mengerjakan tugas Akuntansi bersama-sama kawanku ini yang ada tidak fokus sama sekali. Aku lebih suka mengerjakan di rumah sendirian. "Masa begini? Nggak balance nih! Soalnya pasti salah." Tidak hanya aku yang stres. Selain aku, Jojo yang mengerjakan soal juga. Dia saja tidak menemukan hasilnya. Jojo mengerang sebal merebahkan diri di atas karpet. "Gue nggak ngerti kalo udah salah. Males ngapusin lagi," keluhnya sambil rebahan bertopangan dengan tangan. "Woi, kalian kok mainan sih? Bantuin kek! Jangan nyalin doang!" pekikku mengusik Dika, Rayn, Della, dan Rina yang asyik bermain kartu UNO di belakangku. Mereka tidak menggubris sama sekali malah tertawa keras. Aku melirik Alvin yang tiduran di atas sofa lebar. Aku kira dia hanya tiduran, ternyata tidur beneran saat samar-samar aku mendengar suara dengkuran halusnya. Cowok itu akhirnya datang ke rumah Rayn beberapa puluh menit setelah kita sampai. Lihat sekarang tidak ada bedanya main dengan kerja kelompok. "Gue laper tau. Rayn, lo punya s**u nggak?" teriakku. Sang pemilik rumah mengangkat kepalanya dengan tangan mengocok kartu. "Nggak ada lah, yang punya s**u kan lo," balas cowok itu cekikikan penuh makna. Aku memberi pelototan tajam dengan wajah panas. "g****k, m***m banget lo! Untung temen!!" seru Dika menoyor kepala Rayn yang masih tertawa jahat. Rina dan Della juga tertawa-tawa, di belakangku Jojo juga tertawa kecil. Ternyata otak temenku sudah rated 17+ semua. "Dasar Rayn stres!" seru Della ngakak. "Ada di kulkas, jangan dengerin Rayn." Rina menoleh ngasih tahu, sedikit heran mengapa Rina seolah pemilik rumah. Aku bangkit merenggangkan otot mau pergi ke dapur membuat s**u hangat biar perut kenyang. "De, mau s**u juga dong," kata Jojo masih tiduran, dia menatapku memohon. "Ogah! Bikin sendiri! Dah!!!" Aku buru-buru pergi sebelum cowok itu merengek minta dibikinin s**u atau s**u-s**u yang lain. Huek, kok aku jijik sendiri sekarang. Kalau main di rumah Rayn, cowok itu membebaskan temennya geratakan ke mana-mana. Kalau tidak usaha nyari sendiri, cowok itu mana berinisiatif bikinin makanan atau minum. Malas. Di dapur aku membuka kulkas. Bohong sekali cowok itu bilang di rumahnya cuma ada garam. Dalam kulkas banyak makanan yang mayoritas bahan mentah, frozen food, yang harus diolah lagi. Aku memandangi isi kulkas Rayn memindai di mana letak kaleng susunya. Aku mengambil kaleng tersebut. "Huaaaa!" Aku menjerit mendapati wajah Alvin tepat berada di sebelahku sedang ikutan melihat isi kulkas. Kalau aku sangat kaget bisa memukul kepalanya karena mengira itu kepala setan. "Lebay." Alvin memundurkan tubuhnya pergi menuju meja makan, dia duduk si sana dengan wajah bantalnya. Dia menguap lebar persis seperti bocah baru bangun tidur dengan rambut acak-acakan. Alvin menggaruk kepalanya polos. "Lo ngapain di sini?" tanyaku heran meletakan gelas di meja bar mulai membuat s**u cokelat membelakangi dirinya. "Susu." Aku menoleh dengan wajah panas. Gara-gara kejadian tadi aku jadi salah tingkah sendiri tiap mendengar kata s**u. "Itu s**u. Gue mau juga dong." Alvin menggeram karena aku hanya diam terpaku saja. Aku tidak menjawab namun membuatkan satu gelas lagi untuknya. Aku memberi gelasnya dan duduk di kursi sebelah Alvin. Cowok itu meneguk s**u buatanku. "Lo duduknya bisa sonoan lagi?" usirnya menunjuk kursi yang tunggal di ujung meja dengan dagu. "Kenapa?" Tapi, aku menurut saja memindahkan b****g membawa gelas pindah ke kursi yang dimaksud Alvin. "Males aja duduk deket pacar orang." Aku kontan menoleh padanya dengan mata membelalak sempurna. "Biasa aja kali. Kok lo jadi sinis banget. Lo benci atau nggak suka sama gue? Ngomong sini." Aku sudah kehilangan mood meneguk s**u cokelat ini. Aku tatap Alvin berani dia melengos cuek mengangkat bahunya. "Vin," "Apa?" "Kalung lo lucu." Dia buru-buru memasukkan kalungnya ke dalam seragamnya dengan cepat. "Kenapa sih lo selalu kepo banget sama kalung gue?" "Kalung lo—itu gue pernah liat ada yang punya juga." Dia terlihat sedikit tercenung, dan pada akhirnya nyeletuk, "Kalung ini pasaran kali, di pasar malam juga banyak." Alvin mendelikan matanya yang tajam. "Serius. Sama banget bentuknya bintang." "Udah gue bilang, benda kayak gini itu pasaran. Emang lo liat di mana?" tanya Alvin balik. Aku meneguk s**u cokelat setelah mendapatkan selera yang tadi sempat hilang gara-gara Alvin. "Lo mau tau?" Dia mengangkat sebelah alisnya dengan tangan memegang gelas yang sudah kosong. "Ada di mobilnya Rafael." *** "Dea pulang sama siapa?" Kami sudah bersiap-siap mau pulang di teras rumah Rayn. Aku mengamati jalan depan rumah Rayn menunggu kedatangan Rafael. Cowokku berjanji mau jemput, tapi sekarang pesanku tidak ada yang dibaca. Hari sudah terlalu sore, dalam kurun waktu setengah jam akan berkumandang adzan Maghrib. Aku menoleh ke orang yang bersuara, Rayn berdiri di sisiku menggaruk kepala belakangnya. Aku memperhatikan yang lain asyik memakai sepatu dan bercanda riang. Della sudah pasti sama Dika, dan Rina dengan Jojo. Rina mana mau sama-sama Alvin. ­Alvin berdiri sandaran di tembok ngemut permen kojek dengan santai. "Dijemput sama Rafael." Aku menjawab. Rayn anggukkan kepala pelan lalu melirik Alvin yang menegakkan punggungnya. "Gue duluan kalo Dea dijemput," Alvin menyahut mengangkat tangannya melambai ke Rayn. "Dah!" "Woi! Elah, santai aja kek. Vin bareng kita kali," gerutu Dika yang masih mengikat sepatu. "Buruan, Dika, tar macet." Della menghentakkan kaki kesal berdiri dekat Dika. "Iy,a bawel amat si, gue turunin nanti loh di jalan. Mau kagak??" Dika menjawab setengah mengancam. "Jo, kuy balik!" seru Rina menyentakkan Jojo yang lagi mencet-mencet hapenya. Jojo mengangkat kepala terganggu. "Iya, ini balik. Ayo, balik!" Aku memandangi gerombolan temanku yang sudah berjalan ke halaman samping rumah Rayn mengambil motor. Rafael lama sekali padahal setengah jam yang lalu mengatakan sudah di jalan. Aku mendesah dan Rayn memergokiku. "Lo mau nunggu di sini atau dalem?" tanyanya. "Gue nunggu di sini aja, lo kalo mau masuk juga nggak apa-apa." "Mana mungkin. Gue temenin di sini." Rayn tertawa melambaikan tangan ke mereka yang sudah mau keluar dari gerbang yang dibuka sekuriti rumah Rayn. "Tiati di jalan, woiii para k*****t!" teriak Rayn dibalas teriakan-teriakan tidak jelas dari mereka. Aku tertawa kecil. Aku selalu bersyukur memiliki teman seperti mereka. "Jangan kapok main!" "Halah, nggak dikasih apa-apaan. Kapok gue!!!" seru Della di belakang Dika. Aku ikutan ketawa. "Makanya bawa makanan sendiri," sahut Rayn geli. "Dadah, Dea! Gue nitip ayang Rafael ya jagain, ups. Calon pacar tertunda gue tuh," timpal Rina ketawa geli. Aku mendenguskan tawa pasang wajah cemberut. "Dia jadi mutlak punya gue. sembarangan aja lo!" Halaman sudah kosong Alvin yang terakhir keluar, tidak seperti mulut-mulut usil lain dia diam saja. Bahkan tidak pamitan. Kini kesunyian yang menemani aku dan Rayn. Rayn mengalihkan pandangan dengan wajah cemas. "Lama amat cowok lu, telepon sana!" Suruh Rayn duduk di meja teras. Aku mengikuti perintahnya menelepon nomor Rafael. Aku mendesis saat terdengar suara operator yang mengatakan nomornya tidak aktif. Rayn menyipitkan matanya yang sudah sipit. Tak perlu aku katakan dia pasti bisa menangkap gelagatku yang gelisah. "Kok lama ya?" "Tunggu sampe jam 7. Kalo nggak dateng, tar gue yang anterin lo pulang ke rumah." Punya pacar cowok yang banyak disukain cewek membuatku tidak tenang. Bisa dibilang aku lumayan posesif. Ya, apa yang menjadi milikku ya milikku. Tidak akan aku bagi. Ah, masa aku curigaan dengan Rafael? Aku saja yang terlalu takut kehilangannya. "Iya deh, eh lo masih sama Kelyn?" tanyaku iseng. "Kelyn ya hm ... jadian aja enggak—” "Sumpah lo emang b******k banget.” Rayn melotot protes nyela lagi. "Bentar, nggak gitu. Ini cewek beda. Susah ditaklukin. Gue udah deketin dia beberapa minggu, tapi respons dia masih nggak bagus. Gue tembak tapi ditolak cintanya. Katanya jangan buru-buru, dia mau kenal lebih lama sama gue dulu." Aku tertawa heboh ingin menyoraki Rayn sambil menari hula-hula. Sayang, sepertinya bukan waktu yang tepat. Rayn bakal ngamuk karena patah hati. Itu juga kalau cowok itu bisa patah hati.   "Mampus lu! Emang enak ditolak? Terus lo nyerah nggak?" Menurutku Kelyn itu cukup pintar tidak langsung menerima Rayn yang di semua sosmednya banyak foto dengan cewek berbeda. Kelyn pasti tahu Rayn tipe cowok yang bosenan dan senang mengembara. Makanya Kelyn mau uji coba keseriusan cowok itu. Buset deh kayak pure it harus diuji di laboratorium secara klinis. TBC *** 27 Okt 2021
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN