30. Alasan kesal

1708 Kata
"Kagak lah. Gue malah makin penasaran. Masa gue ditolak cewek? Mana ada di kamus Rayn Ghali! Dia pasti bakal jadi cewek gue." Rayn menggebu-gebu. "Kalo udah pacaran dan lo bosen kayak biasanya. Mau lo putusin lagi? Dapetnya susah." Aku memandangi cowok itu serius. Rayn menghapus senyumannya dan mengerutkan kening. "Nggak tahu." "Menurut gue, lo terlalu cepet ngajakin cewek pacaran. Pas tau banyak nggak cocoknya lo putusin gitu aja. Tips biar lo nggak playboy lagi, cari cewek dengan pedekate lama. Lo jadi nggak kecewa setelah pacaran. Nanti ada sifat dia nggak sesuai yang lo harepin. Gue tuh heran sama lo, cewek nemu di tukang pulsa aja dipacarin. Ih!!!" Rayn berpikir sejenak, wajahnya lurus memandangiku seperti menilai kata-kataku. Di antara teman-teman cowokku mungkin Rayn yang tidak terlalu tampan. Lebih gantengan Dika. Jojo nomor dua. "Yah, gimana ya, De, kalo pedekatenya lama, gue keburu tertarik sama cewek lain lagi," kekeh Rayn geli memainkan alisnya. Mengembuskan napas kasar, karena kata-kata mutiaraku sia-sia saja. "Emang dasarnya lo aja yang nggak bisa liat cewek cantik sedikit." "Uh, kalo sama lo, gue tahan setia sama satu cewek aja kok," candanya membuatku bergidik dengan wajah memanas. Meski cuma gombal atau modus aku tetap saja baper. "Pipi lo merah tuh. Kasian pasti nggak pernah ada yang gombalin." Aku membuang muka kesal diledekin seperti ini. Kepalaku dielus olehnya. "Lo emang k*****t, Yen!" ketusku berusaha menjauh dari tangan cowok rese itu. Rayn tertawa geli, aku menoleh padanya serius berkata, "Emang gue jelek ya? Kenapa sih pada seneng buli gue ini jelek?" Rayn semakin keras ketawanya. Andai aku bisa menyumpal mulutnya dengan sandal atau pot bunga. Bersidekap menatap bengis akhirnya bisa membuat dia berhenti ngakak. "Nggak jelek kok. Lo tau nggak, kenapa anak-anak ledekin gitu?" Aku menggeleng. Polos. "Karena dari awal kita kenal lo tuh pede bangeeeeet, juga doyan ngayal. Apa yang kita bilang bukan berarti bener lo jelek. Kita seneng aja ledekin lo. Emang gue kalo manggil Dika dan Jojo k*****t atau babi lantas mereka mirip itu?" "Gue cantik dong kalo gitu?" tanyaku membuat Rayn menatapku datar, persis kayak Alvin. "Ih, katanya gue nggak jelek!" lanjutku lagi sedikit menggerutu. "Manis iya manis, kalo dibandingin bebeb Alisha lo nggak ada cantiknya. Tapi kalo sama Dwi atau Yuli lo masih mending-lah." Rayn menahan tawa geli. Aku siap membakar Rayn hidup-hidup, karena cowok itu membandingkan diriku dengan anak kelas yang kurang bisa berdandan, tapi pede banget pakai bedak tebel dan belang sama lehernya. Bukannya cantik malah alay. Alisha lagi, Alisha lagi. Cowok satu sekolah memang terobsesi dengan boneka hidup yang satu itu. "Jahat, sumpah!" seruku mau ngamuk. "Lo juga nggak peka." Rayn serius dengan ucapannya. Aku memikirkan maksud Rayn. Ekspresi serius yang terpancar membuatku jadi gugup dan ngeri dalam waktu yang bersamaan. "Nggak peka soal?" Rayn tidak menjawab dan memalingkan wajah. Dia bangun dari duduknya mengagetkanku. "Gue anterin, cowok lu lama udah biarin aja dia. Kasian kalo lo balik malem." *** Aku mencoba menjadi pacar yang sabar dan pengertian. Namun, nyatanya aku tidak bisa. Tepat pukul 8 malam Rafael meneleponku, aku sudah di rumah berkat diantar oleh Rayn. Rafael mengatakan saat dalam perjalanan mau menjemputku, dia ditelepon Alisha yang menangis minta dijemput habis les piano. Cewek itu naik taksi bannya bocor dan sulit mendapatkan taksi yang kosong lagi. Selalu ada cara untuk memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan di otak cewek itu. Hatiku sesak banget mendengar pacarku pergi untuk demi menolong cewek lain. Aku tidak tahu atau kecurigaanku benar, bahwa di belakang Rafael masih berhubungan dekat dengan Alisha. Di saat Alisha kesulitan, cewek itu akan selalu menghubungi Rafael tanpa sungkan, pasti masih saling bergantung, ‘kan? Alisha sangat mengandalkan Rafael dalam hidupnya. "Aku minta maaf." Rafael menarik tanganku dan mengusapnya lembut. "Dia sendirian udah sore. Dan, di jalanan kan bahaya." "Tahu ah!" Aku menarik tanganku kesal, di meja teras tempat kami duduk sekarang ada kotak makanku yang tadi dibawa Rafael dari mobilnya. "Aku juga di luar sore-sore." "Tapi kamu ada temannya, ya kan?" Aku diam karena Rafael benar. Tapi, tetap saja aku kesal banget karena alasannya harus Alisha. Kalau keluarga atau teman Rafael aku tidak se-panas ini. Posesifku makin menjadi-jadi. "Nggak usah janji kalo nggak bisa tepatin, kasih kabar kek kalo emang nggak bisa dateng. Jadi, aku nggak bikin Rayn repot nganterin aku dan balik ke rumahnya lagi." "Maaf, Sayang. Tadi hapeku mati jadi nggak bisa hubungin kamu. Percaya kan sama aku?" Tatapan Rafael yang dalam dan memohon melemahkan. Aku balik mengamati manik matanya. Apa aku bisa mempercayainya. "Aku nganter dia balik, abis itu langsung dateng ke sini." Cowok itu melepaskan pegangannya dan membuka kotak makan. Aku melihat isinya ada potongan bolu cokelat dan bentuknya sudah hancur kebelah-belah kecil. Aku menatap isi kotak dan Rafael bergantian. “Apa itu?” "Aku bikin ini setelah pulang sekolah, bentuknya udah nggak jelas karena gagal. Tapi rasanya enak kok. Mau coba?" Rafael mengambilnya satu potongan dan menyodorkannya ke mulutku. Aku menerimanya tidak bisa menolak. Bolu tersebut langsung hancur dalam mulutku, teksturnya tidak enak, kering, dan bikin seret. Tapi rasanya masih bisa ditolerir. Aku yakin ini memang handmade karena aku menggigit cangkang telur. Krek .... "Kamu buat sendiri?" tanyaku tidak tega harus melepeh lagi, terpaksa aku menguyah dan menelan. Semoga tidak diare. Rafael mengangguk mantap dan bangga. "Aku buat sendiri. Nggak enak ya? Aku bakal bikin lagi, yang lebih lembut dan enak." Cowok itu mengusap tengkuknya tersenyum malu. Aku jadi tersenyum lebar menghargai usahanya. Aku selalu menghargai apa yang orang lain kerjakan dan aku tidak bisa. Kegiatan Rafael bikin kue bolu membuatku kagum. "Lumayan kok buat isi perut," pujiku. "Makasih ya." Pacarku idaman banget sih. "Harusnya aku yang bilang makasih udah dikasih bekal. De, aku beneran minta maaf soal tadi. Mau maafin aku?" tanya Rafael meletakkan kembali kotak bekalku. "Iya. Aku maafin." Dalam hati masih dongkol soal Alisha. "Kamu masih akrab sama Alisha, 'kan? Kalo kamu hargai aku, kamu bisa kan jaga perasaan aku? Jauhin cewek itu." "Oke, demi kamu aku akan jauhin dia. Maaf, aku bikin kamu kesal dan marah." Rafael menjeda sebentar. "Kalo kamu minta aku jauhin Alisha, aku boleh juga dong minta kamu jangan deket-deket sama Alvin?" Kenapa Alvin? Aku mengernyit heran, bukannya aku lebih dekat dengan Jojo? "Hm, kamu selalu minta aku jauhin Alvin. Kamu benci ya sama dia?" tanyaku. "Bisa dibilang begitu, dia tuh sampah sekolah yang bikin citra sekolah buruk." Kalau tidak ada barisan tawuran, nanti siapa yang menjaga sekolah ini dari serangan sekolah musuh? Kehadiran Alvin memang serba salah. "Aku nggak mau kamu kenapa-napa kayak kejadian tawuran waktu itu. Dia tuh anak nggak bener, dan bisanya bikin masalah doang. Nggak berguna banget, ‘kan?" Rafael terus menjelaskan. Aku tersenyum hambar. Tidak setuju amat dengan ucapan Rafael, namun aku tidak mau memperkeruh suasana kalau keceplosan membela Alvin. "Raf, kamu nggak makan bolunya? Aku ambil lagi ya." Aku mengambil satu potongan lagi. Rafael tidak ikutan mengambil hanya tersenyum. "Nggak. Aku nggak suka rasa cokelat. Kemanisan." *** "Pacaran baru berapa hari udah ribut mulu. Mau jadi apa?" komentar Della serius saat pagi ini aku membuka sesi curhat tentang kejadian kemarin sore. Aku tidak tahu lagi harus cerita ke siapa sedangkan kekesalanku masih tersisa. Aku duduk memutar supaya bisa melihat keduanya. Rina sedang berkaca melihat ujung rambutnya yang baru dicukur sedikit. Cewek itu asyik sendiri misuh-misuh. "Nggak apa-apa kali ribut mulu daripada sekali ribut dan langsung putus. Ini tuh ujian dalam hubungan, kalo ribut mulu nggak ada kata jaim lagi. Rafael udah tahu kalo gue ngambek gimana-gimana, jadi bisa tahu seluk beluk sikap kita satu sama lain." "Emang ya pasangan ketahuan sifat aslinya kalo udah pacaran dan berantem." Rina mengarahkan kaca kecilnya ke lubang hidung. Aku berjengit jijik. "Tapi, ribut mulu nggak bagus, apalagi ada yang mengancam hubungan kalian. Nggak sehat banget. Udah lah, putusin aja," cetus Della santai tepatnya tak berperasaan. Aku melotot marah karena ucapan dia malah semakin memojokanku. Meski hubungan kami ditentang banyak orang, termasuk teman sendiri aku tidak peduli. Tapi tahu kan rasanya saat kita lagi bahagia memiliki pacar yang sudah lama diincar tapi tidak ada yang senang bahkan mendukung? "Kok lo gitu sih? Nggak support gue? Kalian nggak seneng kayaknya gue pacaran sama Rafael?" "Bukan gitu, masalahnya baru berapa hari pacaran masalahnya ada aja," sambung Rina sudah tidak main kaca sehingga dia menatapku intens. "Entah lo yang lebay menganggap masalah ini atau emang kalian cuma numpang lewat." Rina tidak kalah nyebelinnya dengan Della. Guru mata pelajaran masuk, aku melirik kursi sebelahku yang kosong. Jojo mana? Aku menoleh ke arah Della. "Jojo kok tumben belum dateng?" Guru ini super rajin meski belum bel sudah masuk ke dalam kelas duluan untuk memeriksa kebersihan kelas dan menyuruh murid memunguti sampah. Di sekolah kami tidak ada grup piket karena diserahkan tugasnya ke marbot sekolah. Tapi kadang ada saja murid yang pagi-pagi sudah nyampah. "Jojo nggak masuk. Mencret." Hari ini aku yang bakal mendapat tugas berat mempersiapkan kelas. Guru di depan sudah mengabsen nama satu per satu. "Alvin Matthew?" Guru itu menaikkan sebelah alisnya menghela napas berat. Aku menoleh ke kursi Alvin. Di sana kosong. Aku mengirim pesan ke Alvin dan Jojo menanyakan mengapa mereka kompak tidak masuk. Habis makan apa mereka, apa Alvin mencret juga? Joshua Diantoro: Absenin ya, gue sakit perut Dea Sagita: PMS? Joshua Diantoro: Bodo amat ya, blajar sono jangan kangen sama gue Hanya Jojo yang balas, pesanku tidak dibaca oleh Alvin. Aku spam chatroom kontak Alvin barangkali dia akan segera membacanya karena terganggu. Tidak ada satu pun balasan datang. *** "Lo tau nggak rumah Alvin di mana?" Aku menoleh ke arah meja Dika dan Rayn. Mereka lagi mengacak rambut frustrasi abis pelajaran Matematika. Keduanya serempak memandangiku dengan mulut ternganga. "Kagak tau!" "Mana gue tau!" Keduanya tak acuh dan sibuk ngelihatin buku catatan lagi. "Masa kalian nggak pernah main? Gue mau ke rumahnya deh, kenapa dia nggak masuk hari ini." Dika, Rayn, bahkan Della dan Rina tersentak mengucapkan kata 'Hah' barengan. Aku melihat ke arah mereka satu per satu meyakinkan. "Kalian nggak mau main ke rumahnya? Ya udah, biar gue cari tau sendiri dan ke sana." Aku bangun dari duduk ingin pergi ke Tata Usaha untuk menanyakan alamat rumah Alvin. "Jangan nekat, wei! Kena usir ibu TU yang galak aje luu!" teriak Dika saat aku di pintu dan tidak menggubris dia. Aku sedikit khawatir dan tadi aku kena omel wali kelas karena Alvin absen lagi. Cowok itu bisa tidak naik kalau absennya jelek dan poinnya banyak. TBC *** 28 Okt 2021
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN