"Sayang, kamu ngapain sendirian di sini?" Suara bass seseorang mengagetkanku.
Aku sedang berdiri tegang di depan ruang Tata Usaha menimbang-nimbang, apakah cukup berani menanyakan alamat rumah Alvin. Kalau petugas bertanya untuk apa aku meminta alamat rumah Alvin, dan jawabanku tidak meyakinkan bikin curiga. Berakhir aku bakal diusir dengan malu-maluin, tidak berani lagi menunjukkan muka di depan mereka.
"EH?" Aku menatap Rafael yang tersenyum, di belakangnya terlihat Jason dan Yosi berjalan sudah menjauhi kami. "Ada perlu aku mau nanya alamat-rumah Alvin karena dia nggak masuk." Mendengar suatu nama terlarang itu Rafael langsung berubah sedikit dingin, sebelas dua belas denganku yang langsung bete saat dengar nama Alisha. "Kita mau ke sana gitu. Kamu ngapain di sini?"
"Aku nyariin kamu ke kelas, tapi katanya udah turun. Aku lihat kamu celingukan di sini jadi nyamperin deh."
Aku mengangguk. "Teman kamu kok pergi?"
"Mereka duluanlah, nggak enak juga kalo ada mereka. Lagian kita bisa berduaan sekarang." Cengiran di bibir Rafael muncul, dia merangkulku mengajak pergi menuju kantin. Sepanjang perjalanan kami mengobrol panjang-lebar kebanyakan aku yang bertanya tentang pelajaran Rafael tadi bagaimana. Aku mengungkapkan iri sama anak-anak yang bisa masuk jurusan IPA.
"Sayang, kamu bisa bikin puisi nggak?" tanya Rafael.
Kami duduk di salah satu meja kosong. Aku sedikit heran Rafael tidak mengajakku menuju meja yang berisi teman-temannya, yang ada Jason, Yosi, gengnya Alisha dan beberapa cowok. Aku kira Rafael akan mengajakku gabung dengan teman-temannya. Seperti saat Alisha dulu selalu bersama gengnya Rafael.
Aku tersadar saat Rafael menjentikkan jarinya depan wajahku. "Dea! Kenapa ngelamun aja sih?"
"Enggak kok." Kulihat Della dan Rina berjalan baru masuk kantin, keduanya melihat ke arah sini. Mereka pergi memilh meja yang jauh dari sini.
"Puisi, kamu bisa bikin puisi?" ulang Rafael. "Kamu anak jurnalistik, 'kan? Pasti bisa."
"Bisa sih, kenapa Raf?" tanyaku bingung.
"Bikinin aku dong, besok ada tugas Bahasa Indonesia aku nggak bisa bikinnya. Ya ya?" Pinta Rafael sambil mengedipkan sebelah matanya.
Aku senang dipercaya oleh Rafael untuk membantunya bikin puisi. Dengan senang hati pasti akan aku bantu. "Nanti kamu bilang aja maunya gimana-gimana, tar aku coba bantuin."
Rafael mengulurkan tangannya mencubit pipiku gemas. "Jadi makin sayang deh, kamu baik banget."
Aku meringis malu dan tersenyum manis.
Pikiranku masih dipenuhi oleh Rafael yang tidak mengajakku duduk ke meja geng mereka dan menepi begini. Aku tidak suka melihat Alisha yang di sana dan masih akrab dengan gengnya Rafael. Kenapa bukan aku yang di sana?
"Kamu mau pesan apa? Aku yang pesenin."
"Raf, kenapa kita duduk di sini?" Aku malah bertanya hal yang aneh.
Rafael mengerutkan kening. "Loh, memangnya kenapa?" Nada suaranya jadi sinis.
"Kenapa nggak ngajak aku duduk di meja yang tempat geng kamu itu? Dulu kamu sama Alisha selalu duduk bareng mereka? Kamu malu dan nggak senang ya pacaran sama aku?" Aku sudah bicara apa sih. Tapi memang begitulah isi pikiranku. "Kamu kayak nutupin hubungan kita gini?"
Atau, ada perasaan orang lain yang mesti kamu jaga?
Rafael tidak menjawab namun matanya menyorotkan sinar tajam padaku. Aku menahan sesak yang menghimpit di d**a. Aku jujur saja gugup hanya ditatap olehnya, aura Rafael saat dingin itu menyeramkan. "Nggak kok. Kamu selalu nethink sama aku, kapan kamu nyaman sama hubungan ini kalo nuduh aku dengan hal yang jelek terus?" tanya Rafael balik.
"Kita pacaran terlalu tiba-tiba, kamu takut mereka penasaran dan nanya tentang gimana bisa aku sama kamu. Kamu takut aku cerita tentang masa lalu kamu, gitu?"
Mata Rafael semakin tajam dan tubuhnya kaku, tenang saja aku mengucapkannya lebih rendah dari yang tadi.
Rafael segera mengelak, "Nggak gitu. Aku ingin kita lebih banyak berdua aja, biar lebih nyaman." Dia menjeda kalimatnya. "Jangan ngira, karena aku takut mereka bakalan tau siapa asliku dulu."
Dan, biar bisa lebih lama nutupin rahasia kamu dan kita dari orang lain. Aku mendenguskan tawa sinis. "Hum, bagus itu."
"Kamu. Aku nggak tau ya kenapa sifat kamu manis, imut, tapi kadang juga nyeremin. Saat ini kamu nyeremin. Saat kamu curigain aku dan menekan aku, kamu serem. Bukan Dea yang aku kenal." Rafael terlihat sedikit terperangah memandangiku ngeri.
Kalau di manga, aku bisa digambarkan sebagai tokoh Yandere? Aku hanya bisa tersenyum kecut dalam hati.
"Kamu nggak selugu itu ternyata." Rafael masih berceloteh.
Aku semakin meledakkan bayangan tertawa dalam hati. Apa aku mirip cewek psiko yang terobsesi dengan cowok ganteng makanya posesif banget? Tidak. Aku hanya merasa ini memang layak dicurigai. Semuanya aneh.
"Kamu salah banget ngira aku lugu. Aku juga nggak sebego itu," aku menjawab sambil bangkit secara kasar dari duduk dan pergi keluar dari kantin.
***
Aku kembali ke kelas menahan air mata. Sesampainya di kelas aku menangis menelungkupkan wajah dengan dua tangan terlipat di atas meja. Aku mengira pacarku akan datang mengejar, minta maaf, memelukku erat dan menenangkan supaya aku tidak menangis lagi. Yang didapat, Rafael sama sekali tidak mengejarku apalagi menenangkanku di sini dan aku menangis sendirian.
Tidak tahu mengapa aku mau menangis saja.
Rafael tidak seperti cowok yang langsung datang. Kini aku benar-benar bertanya, apakah dia benar mencintaiku?
"Dea, astaga! Lo kenapa?" Seseorang menyentuh bahuku. Bukan Rafael melainkan Rayn. Dika dan Rayn berdiri di sebelahku dengan raut wajah khawatir dan bingung.
Aku mengangkat wajah dan hapus air mata, sekarang aku malu menangis terus di depan orang lain. Sebelumnya aku tidak pernah menangis loh.
"Gue nggak tega lihat cewek nangis." Raut wajah Rayn simpati sekali.
"Yen, lo kirim chat Line ke Rina atau Della dah. Biar mereka ke kelas," ucap Dika. Dan, Rayn langsung mengeluarkan ponselnya.
Aku mengibaskan tangan. "Nggak usah, makasih. Gue laper nih belum makan apa pun, hiks." Aku mengalihkan perhatian mereka supaya tidak nanya-nanya alasan kenapa aku nangis. Orang lain belum tentu memahami. "Bagi makanan, gue laper."
Rayn mendecak gemas. "Elah, nangis bikin laper? Ini nih yang nggak enaknya kalo cewek lagi sedih mintanya macem-macem."
"Nih gue cuma punya permen Milkita." Dika mengeluarkan permen melon dari sakunya dengan ekspresi wajah masam kecutnya, karena persediaan dia buat makan di kelas lenyap sudah.
"Makasih. Tapi mana kenyang?" protesku masam.
"Turun lagi, yuk, beli permen ke koperasi. Ntar ada pelajaran betein, bikin ngantuk kalo nggak makan permen." Dika mengajak Rayn yang berdiri di sebelahku masih penasaran. Dika menarik kemeja seragam Rayn. Rayn menangkis tangan Dika.
Aku pura-pura tidak tahu bahwa Rayn masih penasaran. "Eh, beliin gue roti, beng-beng sama yogurt ya, Dik!" teriakku keras.
"Rampok lu! Laper apa maruk. Dasar lu," balas Dika dari depan pintu. "Gantiin kena pajak lima puluh persen!”
"b**o, dasar anak IPS bisnis mulu!" Rayn menggeplak kepala Dika.
***
Rina dan Della masuk ke dalam kelas berbondong ria menuju mejaku. "Kata Dika lo nangis, kenapa?" tanya Rina prihatin.
Aku menggeleng lesu malas membahasnya lagi.
"Rafael lagi, ‘kan? Tadi lo makan sama dia sih, bukannya makan nasi malah makan hati," sahut Della dengan nada suara nyebelin.
Rina menyenggol lengan Della gara-gara asal nyablak. Della langsung berekspresi merasa bersalah. Aku mengamati keduanya dalam hening.
Sebelum menyahut aku menarik napas berat. "Nggak kok, udahlah nggak usah dibahas."
"Gue lihat kok pas lo pergi keluar dari kantin," tutur Rina.
Aku memang drama sekali saat tadi meninggalkan Rafael sendirian di kantin.
"Terus pas Rafael bangun gue kira dia ngejar lo, tahunya dia pergi ke meja Jason dan Yosi yang biasa mereka tongkrongin bareng-bareng.” Info terbaru ini menamparku keras dan bikin aku mau nangis lagi. Rafael tidak peduli denganku. Kontan mataku melebar nyaris mengeluarkan bolanya.
"Kok dia nggak ngejar gue sih?" tanyaku refleks. Aku bukan cewek yang gila dikejar tapi tadi Rafael baru saja membuat ceweknya marah dan kesal. Mengapa dicuekin gitu aja? Wajar aku kesal banget.
"Mungkin dia ngasih lo waktu buat sendiri dulu. Biar lo tenang." Della mengibaskan tangan agar aku tidak gusar lagi.
Aku melihat ekspresi wajah Della seperti tidak yakin mengatakannya. Mungkin dia memang hanya ingin menghiburku.
Rina menimpali, "Iya, ntar dia juga ngejar lo buat minta maaf. Cowok suka gitu, nggak peka. Tapi nanti kalo dia butuh kita dan ngerasa bersalah bakal ngejar lagi kok."
"Ih, nggak peka! Kesel!!" Aku menghela napas. "Terus mesti gimana?"
"Makanya lo jejelin dia novel romance lo yang bejibun itu biar dia bisa peka dan mengerti cewek." Della menekan kepalaku gemas seakan ingin memakannya. Aku mendongak dan merapikan rambut. "Oh my god, cowok novel itu kan idaman semua cewek."
"Mana mungkin dia betah baca buku kayak gitu!"
"Ya udah, lo pacaran aja sama cowok yang suka baca novel romance," sahut Rina antara benar dan ngeselin.
Aku melotot padanya, jarang banget bisa menemukan cowok seperti itu. Rafael bukan tipe cowok yang baca novel, aku lebih percaya Rafael baca buku pelajaran.
"Muka lo horor, biasa aja dong!" Rina berjalan menuju kursinya.
Aku memutar tubuh supaya bisa berhadapan dengan mereka. "Kalian ngeselin banget," gerutuku. Mereka nyuekin ucapanku, aku memilih makan beng-beng. Aku membuang napas kasar memperhatikan pintu. Menunggu seseorang muncul di sana. Aku menggelengkan kepala supaya tidak mikir yang bukan-bukan.
Benar, sampai jam istirahat berbunyi Rafael tidak mendatangiku. Aku memeriksa ponsel juga tidak menerima satu pun pesan darinya. Perasaan ini sungguh membuatku tidak tenang dan makin berprasangka buruk.
***
Rafael ke mana?
Cowok itu bukan tipe manusia yang sulit ditemukan. Aku mengabaikannya tentu saja untuk mengetahui seberapa besar rasa pedulinya dia padaku. Nyatanya sampai hari berganti Rafael tidak menghubungiku. Padahal aku berharap dia akan langsung memperbaiki suasana dan hubungan kami. Mana cowok itu juga tak jadi memintaku membantunya menulis tugas puisi. Pertanda buruk cowok itu juga enggan mengajakku untuk berbicara atau membutuhkanku lagi. Kenapa aku yang jadi gelisah dan pusing begini setelah dicuekin!
Aku memanfaatkan waktu membiarkan cowok itu menggali pikirannya sendiri supaya peka dengan tindakanku yang lagi mengambek ini. Selama tidak berhubungan dengan Rafael aku mengerjakan tugas dan ngabisin novel yang belum aku sentuh sejak beberapa minggu lalu.
TBC
***
29 Okt 2021