28. Kenapa dia?

1643 Kata
"Dea, Joshua, jangan lupa ya balikin buku Sejarah ke perpustakaan dan jumlahnya jangan sampai berkurang, harus sama saat pinjam tadi." Pesan guru Sejarah kami sebelum dia pergi keluar dari kelas sambil membawa buku absen. Aku dan Jojo bergegas bangun untuk mengembalikan buku ke perpustakaan. Tumpukan buku Sejarah tersebut ada di meja guru. "Woi, kita duluan ya, mau nge-tag meja kantin!" seru Della melambaikan tangan dari mejanya, lalu dia bersama Rina berjalan menuju pintu sambil bersenda gurau. Aku membalas dengan teriakan santai mengiyakan saja. Rina melambaikan tangan ceria saat keluar dari pintu kelas. Aku membalasnya dengan senyuman. Aku membagi buku dengan Jojo, dia yang porsinya lebih banyak, karena dia lebih kuat membawa banyak buku. Aku dan Jojo membawa buku keluar dari kelas, saat mencapai pintu Jojo menoleh kembali ke dalam kelas, dia berteriak lantang,."Vin, lo ikut turun yak! Ditraktir makan sama Dea, sepuasnya!" Alvin yang duduk di pojokan bermain ponsel mengangkat kepalanya dan mengangguk singkat. Tapi aku tak yakin dia benar-benar akan datang ke meja kantin nanti. Alvin fokus lagi bermain dengan ponselnya. Usai mengembalikan buku ke perpustakaan aku dan Jojo berjalan menuju kantin, biasanya di lapangan ada gengnya Rafael main basket. Aku tidak melihat mereka kali ini. "Cie, nyariin yayang ya?" goda Jojo yang ternyata menyadari gelagatku. "Kepo lo!" "Ih, udah punya pacar jadi galak. Lo kenapa nggak ke kantin sama dia?" Aku berpikir sesaat. "Kan mau makan sama kalian dulu. Oh ya, tapi gue bawa bekal sih ada di atas. Lo ke kantin duluan aja kalo gitu, ntar gue nyusul. Gue bawa bekal mau dikasihin ke Rafael dulu." Teringat kejadian tadi pagi saat aku dan Rafael sedikit ada masalah karena pertanyaanku tidak digubris. Aku yang salah sudah mempertanyakan cintanya. Aku yang bikin hubungan kita menjadi keruh dan dipertanyakan. Kalau aku tidak menekan dan ngomong macam-macam tidak akan jadi begini. Jojo mengangkat kedua bahunya. "Ya udah, gue duluan ke kantin. Lo jangan kabur ya, ntar kita makan yang bayarin siapa? Jangan kelamaan, tar mereka ngamuk. Mulut mereka kan kayak rantang dibanting. Berisik banget." Cengiran muncul di wajah Jojo, dia melambaikan tangan singkat kemudian pergi. Setelah mengambil kotak bekalku dan memberikannya pada Rafael saat kami tidak sengaja papasan di koridor atas. Tidak seperti yang aku pikirkan, Rafael ternyata baik-baik saja kembali manis dan dia mengungkapkan betapa senangnya mendapat makanan bekal milikku. Aku kira dia akan marah dan kecewa karena ucapanku tadi pagi. Aku menyesal banget. Saat dalam perjalanan menuju kantin, aku melihat Alvin berjalan ke koridor belakang dengan langkah tergesa-gesa. Aku mendecakkan lidah terpaksa mengikuti cowok itu ke daerah belakang. Kalau cowok itu sudah main-main ke area belakang sekolah pasti mau melakukan hal yang tidak baik. Punggung tegap milik Alvin berhenti di sebuah bangunan yang aku ketahui bahkan terkenal di sini sebagai markas para pentolan tawuran. Dulu bangunan itu berguna untuk ruangan melukis, setelah ada gedung serbaguna bangunan itu dijadikan markas. Anehnya para guru tidak pernah bisa membubarkan siapa pun yang nongkrong di sana, cenderung cuek. Mungkin karena keterlibatan Dilan, makanya para guru ogah berurusan dengan anak itu. Orang tua cowok itu terkenal sebagai ATM berjalan pembangunan sekolah ini. Dasar orang kaya! Aku mengendap-ngendap berdiri di bawah jendela bangunan itu. Sayup-sayup ada suara cowok. "b**o! Lo t***l! g****k! Ngapain nyari gara-gara godain cewek ketua OSIS tuh sekolah!? Lo ngotak dong, nyari masalah jangan sama tuh sekolah. Kita aja belum nyerang balik, mereka mau nyerang lagi!" Suara Dilan memarahi seseorang diiringi suara pukulan nyaring. Aku meringis membayangi di dalam sedang ada orang marah. Aku mengangkat kepala pelan-pelan untuk mencari tahu apa yang terjadi di dalam sana. Kacanya kotor dan berdebu, aku bisa melihat tetapi tidak jelas-jelas amat. Di sana ada dua orang cowok berdiri menundukkan kepala di depan seorang cowok bertubuh besar. Itu pasti Dilan yang lagi marahin dua anak buahnya. Aku melirik ke belakang Dilan ada seseorang duduk di atas meja sandaran santai pada dinding, terlihat bayangan api dan asap di tangannya mengepul. Wajahnya tirus dan tegas. Cowok itu tersentak melotot dengan menegakkan punggungnya menjauh dari tembok. Mata kami bertemu. Aku syok kaget banget saat cowok itu lompat turun dari meja dan menuju ke arah pintu. Gawat. Secepatnya aku berjalan agar tidak tertangkap oleh Alvin. Kakikku gatal-gatal terkena alang-alang, karena panik bodo amat aku menginjak jalan tanah yang banyak alang-alangnya. Suara pintu tertutup membuat jantungku makin berdetak keras. Layaknya film thriller aku kayak lagi dikejar pembunuh berdarah dingin yang kejahatannya diketahui oleh seorang gadis polos tak berdosa. "Mama!" seruku saat tangan dicengkeram kuat oleh seseorang dari belakang. Alvin menatapku tajam tidak akan melepasku begitu saja. Aku meronta namun pegangan Alvin makin kuat. "Lepasin! Lepasin!" "Ngapain lo di sini, wahai pacarnya pangeran Merbu?" Alvin bertanya sarkas. "Gue liat lo jalan cepet-cepet, mau gue ajak ke kantin bareng, tapi lo masuk ke sana." Alis Alvin terangkat sebelah. "Terus lo jadi kepo ngintip-ngintip?" "Sori, nggak sengaja. Gue nggak bakal ngaduin kok, tapi lepasin dong." Aku memohon. "Lo pikir gue percaya?" desis Alvin. "Liat kan tadi gue ngapain? Makin nganggep gue rusak dan nggak berguna?" Aku menganga. "Sumpah gue nggak bakal ngaduin. Iya, gue li—liat sih, tapi gue udah tau kok kalo lo memang merokok dari lama." Aku menelan saliva. Alvin mengalihkan wajahnya ke arah lain. "Gara-gara lo—" Alvin menggantungkan ucapannya dan melepas tanganku. Aku kenapa? Alvin menunjuk-nunjuk ke arah koridor. "Sana balik ke dunia lo yang serba bagus itu!" serunya. Sesaat aku tidak mengerti apa yang diucapkannya. "Lo ikut yuk, mereka nungguin lo," kataku serius mengajak dia untuk gabung. “Kita maksudnya.” "Nggak. Peduli apa lo sama gue? Pergi sana!" bentak Alvin keras membuatku takut dan berjengit. Aku menahan agar mataku tidak berair. Daripada membuat Alvin mengamuk dan membahayakan nyawaku, aku membalikkan punggung mengusap mata yang diselimuti lapisan tipis menghalangi pandangan. *** "Lo kenapa sama Alvin?" tanya Dika mendekatiku yang duduk di kursinya saat jam pelajaran kosong, karena guru kesenian sedang sibuk ngurusin ekskul paduan suara yang mau lomba. Aku yang sedang melamun di kursi miliknya tersentak kaget. Tadi Dika dan Rayn kumpul di meja Jojo, aku menyingkir ke meja Dika untuk menjernihkan pikiran. Di saat orang lain bercanda riang ngobrol sama temannya aku mengasingkan diri merenung. Aku memang lebih suka menyendiri saat banyak pikiran. Nama yang disebut-sebut oleh Dika membuat hatiku mencelus. "EH? Enggak." Gelengku. Kenapa Dika tahu masalahku dengan Alvin? "Alvin cerita sama gue, katanya nggak sengaja bentak lo." Dika duduk di sebelahku. Aku mengernyit, hah tipe kayak Alvin bisa cerita ke orang lain? "Kok?" "Alvin nggak ngomong langsung sih, cuma ngirim pesan tadi pas sebelum bel istirahat abis." "Gue kira gue bisa jadi temennya, Dik. Tapi Alvin masih galak banget." Aku memelankan suara takut ucapanku terdengar sampai ke Alvin yang lagi memakai earphone hitam. Meski dia jauh dan pakai earphone siapa tahu bisa menangkap suara orang yang lagi ngomongin dirinya. Dika tertawa renyah mulutnya melebar. "Ya, coba lo pikirin sendiri aja, lo udah percaya sama dia apa belum. Kalo lo udah percayain masalah dan mencoba dekat sama dia, nanti dia juga bakal lakuin yang sama." Aku mengangkat sebelah alis. Emang sih aku tidak pernah cerita dan dekat pada Alvin seperti ke Jojo, Dika, atau Rayn. Bahkan saat malam minggu kemarin jariku keriting ngobrol personal chat sama mereka yang nanyain tentang aku dan Rafael terus-terusan, apalagi ledekan Rayn bahwa aku lagi disinari dewi fortuna. Hanya Alvin yang tidak menanyakan langsung kepadaku. Aku tahu dia hanya membaca pesanku di grup, dia respons pun tidak. "Iya sih, cuma sama Alvin gue jarang ngirim pesan pribadi. Bahkan nggak pernah." Dika terdiam, keningnya berkerut. "Lo harus bisa bagi kepercayaan ke orang lain kalo lo mau dipercaya juga." Aku mencerna dan menyimpan kata-kata Dika dalam otakku. "Okeh, bilangin sama dia gue nggak apa-apa. Kan udah biasa digalakin ama dia." "Ogah! Apaan deh gue kayak akang Gojek nganterin sana-sini. Mending Gojek dibayar dan nganter barang, gue nganter pesan males amat. Bomat ya, urusan kalian itu mah! Mau menyapa Bebeb Jules dulu ah." Lantas cowok itu membuka ponselnya buat ngirim chat ke pacarnya itu. Aku mengamati profil samping Dika yang mulai senyum sendirian kayak orang kasmaran. "Lo pedekate lama banget, kapan mau nembaknya?" tanyaku. "Butuh proses kali." Dika menjawab tanpa menoleh. "Ngapain lama-lama keburu diembat orang?" tandasku. "Nggak bakal ye, emangnya gue tipe kayak Ayen? Meski masih pedekate kita udah lengket banget. Pacaran itu butuh proses dulu. Pengenalan, cocok-cocokan, dan adaptasi. Emangnya elo!" tawa Dika meledek. Kembali membahas status ajaibku dengan Rafael yang cukup instan. Sampai sekarang aku masih tidak percaya loh sudah menjadi pacar Rafael. Aku tidak menjawab hanya memberengut kesal. Dika menoleh lagi padaku. "Gue tanya nih ya sama lo, kebiasaan Rafael paling aneh apaan?" "Kok gitu?" "Soalnya gue kalo pedekate tuh sampe harus tau kebiasaan aneh pasangan gue." Aku menggeleng. "Kebiasaan Rafael yang paling aneh ... sering banget senyum?" Dika menoyor dahiku gemas. "Toil banget. Nih ya, gue tau Jules suka ngaret mandinya lama, dan dia juga tau kebiasaan gue yang suka ketawa kayak aligator." "Kok lo tau Julia mandinya lama? Gila, lo m***m banget, sumpah. Emang ya semua cowok sama aja. Rayn sih wajar, lo juga? Awas aja Jojo ketularan juga!" celetukku. Jojo kan anak baik dan gemas. Sulit bayangin cowok itu jadi b***t kayak Rayn, tak peduli reseknya cukup parah. "Kalo gue ke rumahnya dia tuh lama banget keluarnya, bukannya gue ganjen nungguin depan pintu. Amit-amit deh bisa dikutuk jadi batu sama ortu kalo gue ketauan b***t. Yee, lo nggak tau aja kalo kita bertiga ngobrolin apaan. Ah, anjir keceplosan gue jadi ngasih tau lo!" Dika tertawa keras lagi-lagi. "Udah ah, gue nggak ngomong apa-apa lagi." Dasar beruang kelebihan dosis. Dika suka cerita, namun heboh sendiri. Aku bergidik sedikit menjauhinya. "Dasar. Pantes aja suka ngomongin VS. Dasar kalian ini—" Obrolan kami terhenti saat tiba-tiba ada guru masuk ke dalam. "Taro tas kalian di atas meja." Razia? Aku melirik cemas ke Alvin yang memandangi ke arah guru di depan sana. Cowok itu membawa rokok ke kelas tidak ya, kan tadi aku melihatnya sedang merokok? Gawat. TBC *** 26 Okt 2021
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN