"Pagi, Sayang!"
Aku menunduk berusaha menutupi senyum malu dan hawa panas di pipi. Aku tidak mau terlihat memalukan di depan Rafael. Pagi ini Rafael menjemput di rumah, dia yang sudah berjanji mau menjemputku sejak Sabtu malam. Kini kami berdua berdiri di dekat mobilnya. Aku tidak mau malu-maluin cowok itu, tadi sebelum keluar menemui Rafael aku menyemprot banyak parfum. Rafael menyentuh puncak kepala mengacaknya dikit, aku menggigit bagian dalam bibir.
"Pagi, Sayang." Aku teringat bekal di dalam tas yang dibuatkan oleh Mama tadi pagi. Nanti akan kuberikan untuk Rafael atau kita bisa makan bersama-sama. Romantis. "Udah sarapan belum?"
"Udah kok, yuk jalan. Eh, apa aku perlu ke dalem izin sama ortu?" Rafael nyengir.
"Nggak usah. Papa dan mama lagi sibuk, biasa pagi-pagi gini."
"Jadi kita jalan aja yuk?" Rafael menarik tanganku membimbing menuju pintu penumpang. Dia membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk. Rafael menyusul masuk setelah berjalan cepat. "Bilang sama Mama kamu nggak usah anterin kamu lagi, biar aku aja."
"Iya, Sayang." Anggukku.
Kalau ini semua hanya mimpi, jangan bangun dulu, please!
Dalam perjalanan menuju sekolah tak hentinya aku mengamati sebuah benda bentuk bintang digantung bersama sebuah boneka dan hiasan lucu lainnya.
"Lucu banget. Raf, ini apa deh?" tanyaku menunjuk hiasan bintang itu.
"Oh, itu, kalungku dari kecil. Mamaku pernah bilang jangan dibuang, karena benda itu yang nemenin aku dari masih di panti. Kayak semacam benda kesayangan dari bocah. Aku gantung aja di sini biar aku inget terus, apa yang aku punya sekarang nggak bisa lepas dari masa kecilku. Aku nggak boleh lupa dari mana aku berasal. Aku lupa gimana bisa punya kalung itu, mungkin peninggalan ortu kandungku?"
Hatiku diselimuti kesedihan dan terenyuh. Rasa haru karena mendengar ucapan Rafael.
"Kamu berhak bahagia, Raf. Semua orang berhak bahagia."
Rafael menoleh sambil tersenyum lebar. "Jadi makin sayang."
Aku juga sayang banget.
"Aku suka senyum kamu. Siapa pun yang liat pasti setuju kalo senyuman kamu itu menenangkan dan sulit dilupain." Rafael yang tidak seperti cowok populer kebanyakan juga membuat dia menarik. Kebanyakan cowok populer ada kombinasi bad boy-nya, playboy, dan tukang rusuh. Tapi Rafael manis dan berperilaku baik. Dia bisa tenang namun jika marah tak bisa ditahan, itu yang aku pikirkan tentang Rafael saat dia marah di ruang UKS.
"Kok kamu yang jadi gombal?" Tawa cowok itu sambil membelokkan mobil memasuki parkiran sekolah kami.
Aku ketawa kecil, melihat guru piket di pintu gerbang tiba-tiba aku menjadi tegang karena setelah ini kami akan keluar bersama menghadapi dunia baru. Aku gelisah meremas kedua tangan di atas paha. Rafael mematikan mesin mobil mengambil tanganku dan menggenggamnya.
"Kamu kenapa? Takut sama mereka?" tanyanya.
"Apa kita bakal baik-baik aja? Apa aku layak buat kamu, Raf? Kamu lebih cocok sama cewek kayak Alisha atau Gisela. Aku nggak pede, nggak tau malu, dan aneh."
Saat merasakan langsung menjadi pacar Rafael, kepercayaan dalam diriku seketika runtuh padahal saat masih menjadi pemuja rahasia Rafael tetap pede saja. Realitasnya memang tidak sebaik dalam khayalan.
Tangan Rafael masih memegang erat tanganku, aku cemas banget. "Aku akan selalu di sisi kamu, jangan takut apa pun. Kamu cewek yang aku pilih buat ngisi hatiku. Kamu, cewek yang sangat aku harapkan bisa nerima segala kondisi dan masa laluku. Saat aku nggak bisa jujur sama dunia luar, kamu yang aku percaya bisa terima aku apa adanya. I'm not that perfect, De."
Aku menatap mata kelam Rafael. Kepercayaan dalam diriku bangkit. "Kamu ngubah pandanganku terhadapmu. Kamu sebenarnya nggak suka dipandang berlebihan cuma gara-gara wajah ganteng?"
"Ya, aku memang nggak suka dipuji berlebihan hanya karena wajah. Aku mau dilihat hal yang lainnya."
***
Dahulu dalam khayalan, aku ingin banget bergandengan mesra dengan Rafael untuk manas-manasin Alisha. Sekarang mimpiku jadi kenyataan. Saat aku masuk ke lapangan bersama Rafael, cewek itu berdiri di dekat tanaman hias menatapku tajam dengan aura permusuhan yang kental dikelilingi oleh kawanan hyena-nya. Rafael menarik tanganku membawaku menjauh supaya tidak lewat dekat Alisha, padahal aku sudah pengen banget lewat depan Alisha sambil memeluk lengan Rafael dan tersenyum jahat ke gadis itu. Aku bukan cewek suci, aku masih sering suka kesal jika ingat apa yang orang lain perbuat kepadaku. Oke, aku juga manusia biasa. Jadi, wajar aja dong kalau aku mau balas dendam ke Alisha atas tragedi hujan bedak salycil yang bikin aku bersin mulu itu. Cewek-cewek yang bertebaran di koridor berbisik-bisik, saat aku menoleh dan meledek mereka dengan menjulurkan lidah, mereka langsung buang muka dan menggerutu.
Rafael menyadari kelakuanku yang tengil meledek mereka dengan tertawa-tawa kecil. Sebelum mencapai tangga ada Jason dan Yosi mencegat kami. Keduanya menatap bingung, sangat jelas di wajah mereka raut penasaran campur tak percaya.
"Hai!" sapaku centil memeluk lengan Rafael.
"Oi, kalian ngapain di sini?" Rafael memiringkan wajahnya memandangi Jason dan Yosi yang kikuk.
"Raf, lo—"
"Lo—"
Aku mengerucutkan bibir, mereka heran gitu kenapa aku sama Rafael? Aduh, tidak ada yang tak mungkin. Mau bilang juga Rafael kena peletku?
"Dea, kamu udah kenal sama Jason dan Yosi? Mereka sahabat dekatku." Wajah Rafael teralih lagi ke dua sahabat kecenya. "Eh, Bro, kenalin ini cewek gue. Dea pacar gue sekarang."
Aku mengulurkan tangan mencoba memulai hubungan baik dengan Jason dan Yosi. Dua cowok itu saling beratatapan, namun tetap mengulurkan tangan juga.
"Selamat ya, Bro!! Peje kalo gitu!" teriak Yosi, namun aku tidak menangkap nada tulus dari ucapannya.
"Cie, akhirnya punya cewek!" goda Jason tertawa aneh.
Aku melirik Rafael yang memainkan alisnya sengak menanggapi ucapan dua sahabatnya itu.
"Jagain dia, De. Banyak yang ngincer soalnya!" celetuk Jason lagi. Yosi tertawa geli.
Aku melempar senyuman kecil dan Rafael menonjok lengan Jason.
"Gue cuma mau sama Dea," jawab Rafael membuat aku langsung meleleh.
Tiba-tiba tubuhku terpental menabrak tangga. Aku terjatuh sampai tanganku menyentuh anak tangga paling bawah. Kawanan hyena masuk ke dalam area tangga, Alisha yang berdiri paling depan dengan raut wajah emosi dan menyeramkan. Aku menduga terjatuhnya aku ini disebabkan olehnya. Dia berkacak pinggang melotot menatap diriku bengis, Rafael yang berdiri dalam diam dan dua sahabat Rafael. Napas Alisha naik turun seperti cewek itu menahan emosi dan tangis.
"Lo gila!" seru Rafael berjalan ke dekatku menarik membantuku berdiri dan merangkul.
Aku tidak bisa komentar terjebak dalam situasi menegangkan dikelilingi anak-anak populer.
Alisha maju ke depan kami. Suasana makin tegang, karena kami menjadi pusat perhatian murid lainnya. Alisha menatapku bengis.
"Raf, lo gila apa pacaran sama dia? Lo pasti kena pelet atau guna-guna deh sampe bisa mau sama cewek ini!" tudingnya ke wajahku.
Aku meneguk ludah melotot tidak percaya dikata-katain oleh Alisha secara langsung. Rafael menautkan alisnya menatap tajam ke Alisha.
"Lo kampungan amat percaya kayak begituan! Kenapa emangnya kalo gue sama dia? Masalah buat lo!?" balas Rafael menghela napas kasar.
Alisha menangis menitikkan air matanya dengan bibir gemetar. Aku sedikit iba melihat dia menangis. Aku mendongak melihat wajah Rafael yang matanya menyipit menatap ke arah Alisha.
"Kok lo berubah jadi kasar dan jahat sama gue, Raf? Gue cinta sama lo, tapi apa yang gue dapet? Lo malah sama cewek kayak dia! Lo nyia-nyiain cewek secantik gue demi dia! Lo—" Alisha mulai menarik napasnya dengan menggebu-gebu. Aku bisa merasakan emosi terpendamnya.
"Cukup!" potong Rafael dengan suara keras.
Suasana tegang sekali bahkan Jason dan Yosi tidak percaya menatap Rafael yang terlihat marah ke Alisha.
"Lo ngasih gue harapan palsu." Tatapan Alisha tertuju padaku lagi. "Buat lo! Nggak lama lagi Rafael akan buang lo. Liat aja nanti. Lo cuma mau di—"
Rafael segera mencengkeram bahuku dan memutar tubuh, aku terpaksa ikut memutar tubuh ke arah tangga. “Jangan dengerin omongan dia!” Cowok itu berbisik pelan.
"Raf, jangan tinggalin gue! Lo jangan mau sama cewek itu! Gue yang lebih pantes sama lo!" seru Alisha dengan tangis sendu.
Hatiku sakit mendengarnya, perhatian dari anak-anak yang menonton di tangga mmebuatku malu. Rafael mengajakku naik ke atas mengabaikan Alisha dan racauan gilanya. Rafael tidak berbicara menurunkan tangannya dan menggenggam tanganku erat. Ini seperti de javu. Di mimpi aku yang berteriak supaya Rafael tidak pergi bersama Alisha.
Di lantai atas aku disambut oleh anak-anak lainnya, di depan kelasku ada teman-teman dekatku. Mereka menatapku serempak dengan ekspresi penasaran. Aku mendesah mendongak memandangi Rafael yang jangkung.
"Kamu suka sama dia, iya kan?" tanyaku.
Rafael menggeleng.
"Tapi kamu deket sama Alisha." Aku menegaskan agak sinis. Menunjukkan betapa cemburunya aku.
"Cuma deket, aku nggak suka sama dia, apalagi sayang. Kedekatanku selama ini biasa aja, temenan. Kamu nggak percaya sama aku?" tanya Rafael balik dengan raut wajah memelas.
"Kamu lebih lama deket Alisha dibanding sama aku." Suaraku melemah. Aku menahan rasa sakit yang menghimpit di d**a. Sesak napas. Nyesek banget. Aku tidak percaya dia tidak menaruh hati pada Alisha yang banyak digilai cowok di sini. Mereka ke mana-mana bersama dan dekat banget, aku sering melihatnya di mal dan mengumbar kedekatan di sosial media. Mereka yang harusnya bersama bukan aku. Aku hanyalah ...,
"Kamu yang lebih dulu dateng ke hidupku dan ngisi hati aku. Kamu cinta pertama aku. Waktuku sama kamu emang nggak lama, tapi kamu yang ngajarin aku arti rasa sayang, berharap, nunggu, dan bermimpi. Bertahun-tahun aku ingin ketemu kamu lagi, Dea."
Aku m******t bibir yang kering, tenggorokanku tercekat tidak bisa menjawab ucapan Rafael yang dalam. "Kalau kamu nggak pernah tau namaku pasti nggak begini. Aku masih tetap jadi pengagum kamu aja, nggak bakalan lebih. Andai, aku nggak pernah muncul di hadapan kamu. Kamu nggak bakalan tau kalo aku ini ada. Andai namaku bukan Dea Sagita, aku nggak bakalan bisa bersama kamu."
It's Real?
Sudah berapa kali aku menanyakan hal ini pada diriku sendiri. Aku memandangi Rafael yang diam seribu bahasa namun matanya mengunci di mataku.
"Rafael, kamu bener-bener sayang sama aku?" tanyaku pelan-pelan.
Rafael menarik napas berat. Dia mengusap rambutku lembut. "Jangan nanya yang aneh-aneh, kamu ke kelas sana. Aku ke kelas ya. Dadah!"
Aku menggigit bibir menatap perginya Rafael yang berjalan cepat menuju kelasnya. Pacaran dengan cowok populer tidak terlalu enak. Aku menoleh dan tersentak kaget saat tiba-tiba sudah disambangi Rina dan Della yang raut wajahnya khawatir sekali.
"De, lo nggak apa-apa?"
"De, gue denger Alisha marah-marah ngelabrak lo."
Gerombolan Jojo, Dika, dan Rayn juga dateng. Aku hanya tersenyum, miris. Kami berjalan beriringan menuju kelas, aku belum bisa berkata-kata lagi. Pagi ini bikin aku kesal dan emosi. Rafael yang tidak menjawab serius ucapanku.
Di depan kelas aku terperangah melihat Alvin berdiri dengan kedua tangan masuk dalam saku celana, cowok itu masih setia dengan kacamata lensa bulatnya. Dia menatapku dengan ekspresi tak terbaca. Beberapa saat kami hanya bertatapan, akhirnya dia yang mengalihkan pandangan duluan dan pergi menuju kursinya.
TBC
***
25 Okt 2021