"Woi turun! Lo mau sampe kapan duduk di belakang? Betah ya deket-deket sama gue?"
Mataku mengerjap dari balik kaca helm. Saat tersadar motor sudah berhenti di depan rumahku. Acara nonton berjalan lancar dan menyenangkan, kecuali bagian keusilan teman-temanku yang terus mendorong godain aku dengan Alvin.
"Iya santuy, gue masih syok tau-tau udah di sini. Cepet amat lo bawa kendaraan kayak naik karpet terbang. Tau-tau udah sampe." Aku menyentuh pundaknya dan turun.
Alvin ikutan membuka helmnya membuat keningku mengerut. Hari ini Alvin juga tidak kalah nyebelinnya dengan yang lain, cowok itu sama sekali tidak menampik godaan yang dilemparkan oleh mereka. Bahkan cenderung cuek bodo amatan, cowok itu sibuk sendiri melakukan hal-hal yang sebisanya dia lakukan padahal kami semua lagi ngobrol seru. Dia main ponsel di saat kami ngobrol. Gara-gara Alvin yang seperti tak digubris membuat aku jadi bahan ledekan, dibilang sebagai gebetan yang tidak baik sampai Alvin ngambek dan bosan. Alvin itu tidak suka terlibat dalam pembicaraan yang orangnya terlalu banyak. Bicara antar individu aja masih untung direspons.
Aku mengirim pesan padanya berisi agar dia memberi pelajaran ke anak-anak khususnya yang cowok, kalau Alvin yang maju bukannya mereka lebih takut.
Tapi balasan pesan Alvin hanyalah: Bodo. Cuekin aja.
Ngeselin, ‘kan?
Alvin diam saja seperti ada yang menahannya. Aku juga memutar otak, apa yang membuat cowok itu tidak langsung pergi. Apa dia mau mampir lagi? Bermain dengan Alvin memuat otakku terus bekerja, layaknya puzzle Alvin adalah tipe yang harus ditebak.
Oh, mungkin aku lupa dengan yang satu ini. "Makasih ya."
"Untuk?" Alvin mengerutkan dahinya.
"Hari ini dan pas tawuran lo udah nolongin gue. Dan, gue minta maaf untuk Rafael yang tiba-tiba nonjok lo," kataku pelan-pelan dengan perasaan tidak enak.
"Apa-apaan ini? Lo minta maaf buat Rafael?" tawa Alvin sinis. "Nggak heran sih, lo kan cinta mati sama dia." Aku menangkap nada bicara Alvin makin sinis banget.
"Ya, gue nggak enak tiba-tiba dia dateng dan nonjok lo. Padahal cuma salah paham doang."
Rafael muncul dan menonjok Alvin di UKS lalu mengatakan kata-kata penuh ancaman. Padahal aku tidak kenapa-napa. Aneh, meski dalam hati aku girang banget dilindungi oleh cowok yang aku taksir itu. Perasaan tidak enak lebih dominan, apalagi saat itu Alvin baru saja menolongku. Sedangkan Rafael saat melihatku dikawal Rina dan Della saja tak acuh, dia lebih asyik dengan Alisha. Jadi, wajar dong kalau aku meminta maaf atas kelakuan Rafael yang sudah salah paham malah menjadi ribut dan marah-marah pada Alvin? Aku ditolongin oleh Alvin, entah jika tak ada dia, bisa jadi aku bakalan ketar-ketir menunggu acara tawuran yang selesainya entah sampai kapan steril lagi jalanan itu.
Alvin mengangkat sudut bibirnya. "Yang dia lakuin cuma buat lindungin lo dari sampah sekolahan kayak gue."
"You're not—"
"It's me," tandas Alvin cepat.
"Nggak. Elo—" Di tengah suasana kami yang saling adu mulut, kami dikejutkan oleh sebuah mobil yang berhenti tepat di depan rumahku.
Mobil Rafael? Kenapa bisa tiba-tiba lelaki itu muncul? Ngapain?
Aku memperhatikan raut wajah Alvin tidak terbaca. Namun, matanya menatap tajam ke arah mobil itu.
***
Alvin mengangkat sudut bibirnya. "Yang dia lakuin cuma buat lindungin lo dari sampah sekolahan kayak gue."
"You're not—“
"It’s me," tandas Alvin cepat.
“Nggak. Elo—” Di tengah suasana kami yang saling adu mulut, kami dikejutkan oleh sebuah mobil yang berhenti tepat depan rumahku. Mobil Rafael? Aku memperhatikan raut wajah Alvin tidak terbaca, namun matanya menatap tajam ke arah mobil itu.
Kemunculan Rafael sama sekali tidak aku duga. Bukankah dia bilang tadi siang tidak bisa ikut karena ada acara, sekarang dia ke rumahku. Oh, romantisnya, dia memang pria yang penuh kejutan dan tak terduga.
Alvin menoleh ke arahku. "Hm, ada yang menarik. Udah deket sekarang sama tuh cowok most wanted yang digilai cewek satu sekolah?" cibirnya dengan suara rendah nyaris berbisik.
"Gue belum cerita sama yang lain juga kok, kalo lo ngerasa gue rahasiain ini."
Soalnya aku juga masih ragu Rafael dengan sikap anehnya yang penuh kejutan bikin aku bingung.
Alvin menyeringai sinis. "Good luck. Gue yakin kehidupan lo bakal sebahagia di novel yang biasa lo baca itu. Berakhir sama cowok perfect kayak imajinasi dan mimpi lo itu. Dah, gue mau cabut. Hati-hati di rumah lo banyak setan, yang ketiga itu pasti setan." Cowok berambut tebal itu memakai helmnya setelah melemparkan kata-kata panjang, sarat makna dan sinis bukan main. Alvin pergi meninggalkan diirku yang mematung menyimpan kalimat yang diutarakannya penuh kebingungan. Hatiku kayak sakit banget saat Alvin mengatakan hal demikian. Tapi, seharusnya aku tidak usah pedulikan dia, sekarang ada Rafael datang membawa sesuatu.
Cowok itu membawa plastik berisi kardus donat dan boneka Alpacca cantik. Rafael datang mendekat dengan senyuman merekah. Aku langsung gugup menahan degub jantung.
"Hai, aku gagal ngasih kejutan ya. Baru pulang ya?" Dia memindai diriku dari bawah ke atas. "Sama Alvin?" Entah hanya perasaanku saja kayaknya Rafael cemburu.
Wait?
Aku?
Dia nyebut dirinya dengan kata aku?
Aku mengangguk pelan. "Iya nih, pas lo dateng kita juga baru sampe. Sayang banget tadi kamu nggak bisa ikut." Aku jadi ikutan pake bahasa imut?
Rafael tersenyum kecil. Sesaat kami hanya saling tatap. Cowok itu ganteng dan keren banget hari ini, pakai celana jeans hitam, kaus lengan panjang warna hitam dan rambutnya lagi-lagi dibuat berponi.
"Aku akan jelasin semuanya pertanyaan kamu selama ini. Kamu siap dengerinnya?" Suara bass Rafael menyentakku. "Maaf, aku bikin kamu bingung."
Seketika aku membeku di posisiku. Apakah Rafael tidak akan lagi membuatku bingung?
***
"Makasih ya, harusnya nggak perlu repot bawa ini-itu." Aku berusaha menutupi rasa girang yang sudah meluap-luap saat Rafael memberikan boneka dan plastik isi makanan padaku. Kini kami berdua berdiri dengan canggung di ruang tamu.
Rafael menggeleng pelan. "Semoga kamu suka sama bonekanya," ujar cowok itu mengulum senyuman lebar.
Aku mempersilakan Rafael untuk duduk sementara aku pergi ke dalam menaruh plastik isi kardus donat dan membuatkan minuman. Sembari membuat minuman aku tidak berhenti senyum-senyum bahagia.
Aku kembali ke ruang tamu membawa nampan berisi minuman untuknya. Di ruang tamu Rafael tengah duduk dengan gugup menundukkan kepalanya, tampak tidak bersemangat dan sendu. Saat dia menyadari kehadiranku dia tersenyum. Aku pun membalas senyumannya dan menaruh gelas di meja. "Kamu penuh kejutan, Raf. Tadi pagi bilang nggak bisa main sama aku dan anak kelasku. Sekarang tiba-tiba aja udah dateng bawain boneka." Aku terkekeh duduk di samping Rafael.
"Maaf ya, aku nggak bisa ikut kalian."
"Nope lah."
Rafael diam, aku juga ikutan menjadi gugup. Cowok itu menghela napasnya berat. Matanya terpejam tidak mengarah padaku lagi, dia mengalihkan wajahnya ke depan. Kedua tangan cowok itu terkepal di atas pahanya seperti sedang mengingat beban yang cukup berat. Aku memandanginya takut terjadi sesuatu, apalagi kami berdua di sini.
"Rafael?" Sang pemilik nama menoleh dengan ekspresi wajah gugup. "Apa kamu cowok yang selama ini aku cari? Kamu yang dulu sering main sama aku. Entah kenapa kamu mencurigakan dan aku selalu merasakan hal aneh setiap dekat kamu.”
"Iya, aku. Itu aku." Rafael mengusap wajahnya dengan gusar. "Dea, selama ini aku pusing mikirin ini, aku harus jujur apa nggak sama kamu. Kalo aku jujur, kamu bakal tau siapa aku dan satu sekolah bakal tau kalo aku adalah—” Dia menggantung kalimatnya dan memelukku erat.
Aku tersentak mendengar pengakuan Rafael, tubuhku menegang dan tiba-tiba perutku sakit. Aku menghela napas sulit karena dekapan Rafael yang menekan tubuhku ke dadanya sangat kuat. Rafael adalah cinta pertamaku sejak kecil?
"Rafael? Jadi ternyata kamu yang selama ini dateng ke mimpiku?" Aku bermonolog. "Kamu anak cowok panti yang sering nemenin aku di ayunan dan pergi tanpa izin?"
Rafael melepas pelukannya namun jarak kami masih dekat, Rafael mengusap puncak kepalaku. "Iya, itu aku. Aku bukan anak kandung keluarga Rafli. Maaf, kalo aku nggak seperti yang kamu bayangin. Aku cuma anak yang diangkat dari panti. Aku seperti udah bohongin banyak orang yang memandang aku sempurna," desis Rafael berat.
“It's not big faults. Kamu layak disayang banyak orang—”
Rafael menggeleng kuat-kuat, jari tangannya menempel di depan bibirku. "Aku risi diperlakukan begitu, padahal aku nggak layak. Mau tau alasan kenapa aku nggak pacaran? Karena aku masih terbayang Dea Sagita yang dulu aku sukain. Aku b**o banget baru sadar ada yang namanya Dea setelah sekolah hampir dua tahun. Kalo aku tau kamu Dea. Aku nggak akan biarin kamu dipermalukan, aku nyesel nolak kamu."
Hatiku campur aduk sekarang, jantung ini tidak bisa dikendalikan lagi degubnya makin gila-gilaan. Rafael menarik kedua tanganku menggenggamnya. Aku tidak kuat lama-lama melihat mata Rafael yang indah.
"Aku kan nggak terkenal, tak kasat mata kali yaaa. Aku sering lewat di sekitar kamu juga nggak sadar," ucapku senyum miris. "Ingatan kamu kuat ya, dari mana kamu yakin kalo aku ini Dea yang dulu teman kamu?"
"Aku nyesel nggak sadar orang yang aku cari dari dulu ada di sini. Saat kamu nyebutin nama di UKS, kemunculan kamu di panti, dan pertanyaan kamu selama ini. Aku langsung menghubungan semuanya. Dea, Kino ada di kamu? Masih disimpen?"
Mataku membulat dengan mulut mengerucut. "Kino?"
"Robot yang aku titipin ke Bu Mawar namanya Kino. Boleh aku liat Kino lagi?"
Astaga! Rafael tahu tentang robot yang ada padaku itu. Sudah jelas kalau dialah cowok yang selama ini memang aku cari dan mimpikan!
Astaga, orang itu ternyata adalah Rafael!
TBC
***
23 Okt 2021