"Lo cewek yang kemarin kan? Hm, nama lo—"
"Dea. Masa lupa kemarin udah nanya."
"Dea? Dea Sagita? Dea? Rumah lo di mana? Pulang sekolah bareng gue!"
"Kenapa ngelamun, tuh makanan lo ditemplokin lalat?" celetuk Calista yang lagi makan di seberang meja depanku.
Aku tersentak dan bodohnya mencari lalat yang dimaksud. Cewek itu tertawa cekikikan. Tahu jika ternyata aku dikerjain doang, aku langsung emosi. "Jangan resek pagi-pagi deh!" seruku ketus.
Calista menatapku serius. Dia mengerucutkan bibir. "Ye, sensi amat. Kenapa sih?"
Aku memijat kening yang pusing bukan main. Padahal aku ada janji akan nonton di Pejaten Village nanti siang bersama yang lainnya. "Tahu nih, gue lagi dipermainkan sama kenangan." Gara-gara mimpi dan lamunan yang terus mengusik berisikan kenangan masa kecilku dan suara hal lain yang terasa membuatku kepikiran karena sepertinya sangat terhubung.
"Kenangan? Emang lo punya mantan? Bukannya lo nggak pernah punya cowok a.k.a jones akut?" Calista meledek nyebelin banget.
"Bukan kenangan kayak gitu. Gue sering mimpi didatengin kenangan, gambaran kayak flashback masa kecil gue. Main sama teman yang sama sekali belum gue inget namanya." Aku menceritakan hal yang sedang menggangguku pada Calista.
"Jahat, temen sendiri masa nggak diinget!" seruan nyebelin Calista seperti sudah bisa teduga. Cewek itu memang sulit diajak bicara serius.
"Gue lupa, please, lagian kita ketemunya nggak seintens itu. Pas dia pergi, kita nggak ketemu apalagi say goodbye. Itu udah sepuluh tahun yang lalu."
"Gile, udah lama. Ngapain dipikirin kalo gitu? Udahlah, ya lupain aja. Abaikan aja mimpinya. Namanya juga mimpi." Calista memasang wajah tak habis pikir dan mengembuskan napasnya.
"Makanya itu, ini mimpi udah muncul berapa kali. Kayak memaksa gue buat harus inget-inget lagi. Kalo satu kali it doesn't matter. Ini kayak setiap tidur pasti mimpinya muncul."
Calista berhenti makan roti dan menatapku serius. "Hm, gini ya. Gue pernah mimpi ketemu temen gue yang udah hampir empat tahun nggak ketemu. Nggak lama, kita ketemu di jalanan dan ngobrol. Gue pas ngobrol sama dia kayak de javu. Pas itu gue juga mikir sebelumnya gue kan mimpi ketemu dia. Lo ngerti, 'kan?" Calista menyelipkan helaian rambut panjang dan coklatnya ke belakang telinga.
"Maksud lo kalo dikaitin sama mimpi lo itu, gue ada feeling bakal ketemu sama dia lagi?" tebakku. Calista mengangguk pelan. "No way! Ini tuh mimpi karena gue kecapekan doang deh. Ya kali bisa ngasih pertanda? Masa??"
"That's way! Mimpi itu biasanya pertanda. Okelah, kalo lo nggak percaya. Kenapa pas gue kasih tahu pemikiran gue lo nggak mau dengerin? Ngapain lo cerita kalo nggak mau denger pendapat gue?" Ternyata cewek itu masih lumayan berguna juga, tidak seburuk bayanganku.
Aku mencerna penjelasan dari Calista. Meski cewek itu tidak pintar, kalau soal pelajaran hidup bisa didapat dari mana saja. Dan Calista sudah berbagi pengalamannya. Aku mendesah hanya karena mimpi aku jadi bingung lagi. Ponsel di meja bergetar, aku mengambil dan membaca pop up pesannya. Seketika punggungku menegak.
Rafael Adrian:
Hai Dea!
Astaga naga!!! jeritku dalam hati
***
Tidak, tidak. Aku tidak pergi ke Pejaten Village bersama Rafael. Dia mengirim pesan padaku menanyakan hal yang biasa-biasa saja. Setelah chat panjang, aku pun ingin mengajak dengan menanyakan, apakah cowok itu bersedia ikut main sama teman-temanku. Sayangnya, Rafael tidak bisa ikut. Aku pun sedikit kecewa padahal sudah berharap Rafael mau sehingga aku bisa menunjukkan pada temanku bahwa gebetan yang aku bawa adalah cowok yang pernah menolak cintaku sebelumnya. Aku sudah membayangkan betapa romantisnya dan aku senang banget saat Rafael berjalan di sisiku seperti layaknya pacar. Kita cocok banget, ‘kan?
Saat ini aku sudah bersiap di sofa ruang tamu menunggu mereka jalan ke tempat yang kami janjikan. Aku yang akan berangkat belakangan memesan ojek online. Para cowok tidak bisa menjemputku karena bawa gebetannya. Di grup mereka sudah ramai mengatakan mau berangkat jalan. Aku tidak percaya bahwa mereka sudah benar-benar mau jalan. Aku membuka aplikasi ojek online untuk order. Telingaku sayup-sayup mendengar suara motor lalu bunyi nyaring panggilan masuk ke ponselku membuat aku kaget nyaris melempar benda itu. Di layar muncul nama Alvin.
Hah, ngapain dia?
"Halo?"
"Keluar, buru." Alvin menyuruh dengan suara ketusnya.
"Hah?" Aku tergagu karena dua kata itu, tapi aku bangkit dengan segera menuju pintu.
Di pagar depan rumah ada Alvin duduk di atas motor pasang pose sedang menelepon. Sambungan diputus oleh cowok itu. Aku mengambil tas dan mengunci pintu. Rumahku kosong karena Mama dan Papa pergi. Untungnya Sabtu ini ada acara, jadi aku tidak sendirian di rumah.
Aku berlari menuju motor Alvin. Dia menatapku dengan sorot sayu tak semangat, seperti muka orang bangun tidur. Ekspresi yang sangat menyebalkan. "Lo ngapain di sini?" Perasaan tadi di grup tidak ada dia muncul bilang kalau dia juga mau ikut.
"Ya, ikut lah. Buruan naik." Dia mau memakai helm dan mengendikkan kepala ke belakang.
"Untungnya ya gue belum order, kalo misalnya lo ke sini gue udah jalan. Kan lo kasian sendirian dan sia-sia mau jemput gue. Kok lo nggak bilang kalo mau ikut beneran?" tanyaku memberondong.
"Ngapain bilang?" Alvin mau memakai helm. "Lo ada helm?"
"Helm di garasi, gue ambil dulu. Huh, bilang kek dari tadi." Aku turun lagi dari motor putihnya itu dan buka pagar. Aku sih senang saja ada Alvin ikutan, kali ini dia tidak memakai seragam dan kacamatanya. Jadi agak keren. Aku tidak akan jadi kambing congek karena tidak ada gandengan. Sementara yang lain bawa pasangan ada Alvin juga yang tidak bawa gandengan. Aku jadi tidak bete-bete banget kalau diledekin tidak ada pasangan.
Sama sekali tidak ada feeling bahwa inilah awal dari petaka aku bakal jadi bahan bulian.
***
"Jadi, gebetan lo itu Alvin?" Kata-kata itulah yang pertama kali dicetuskan oleh Dika.
Hebat mereka sudah berkumpul di foodcourt sampai menggabungkan empat buah meja berbentuk persegi. Rasanya tengsin banget datang terlambat, bersama Alvin pula. Cowok itu berdiri di belakangku sama sekali tidak menyangkal ledekan Dika yang sudah tertawa-tawa buas minta disumpal botol saus. Tawanya menular jadi ke semua manusia yang berada di sana. Mukaku panas seperti kepiting rebus habis diangkat dari panci.
"Nggak gue sangka loh ternyata Alvin ikut. Kalian yang mau bikin kejutan ya? Wow! Surprise!" seru Jojo cekikikan, di sebelahnya ada cewek imut dengan rambut panjang dan berponi. Aku memberi pelototan padanya. Namun, Jojo masih ngakak hebat.
"Apaan deh, Alvin yang mau ikut. Jadi kalian jangan ngeselin, kalo nanti dia minta pulang duluan males diledekin sama kalian. Gue pulangnya ama siapa?" candaku.
Alvin mendelik tajam.
Aku menyapu meja tersebut. aku dan teman-temanku saja sudah banyak banget orangnya apalagi ditambah sama gebetan mereka. Pandanganku saat bertemu dengan Julia.
"Hai Adear!" Julia menyapaku dengan senyum cemerlangnya.
Aku melambaikan tangan ceria. "Hai! Eh, kok Adear? Jadi lucu," kekehku.
"Sok imut." Alvin berkomentar sinis. Entah sejak kapan dia sudah mengunyah permen karet.
"De, kenalin ini Lena. Len, ini teman sebangkuku namanya Dea." Jojo yang memperkenalkan gebetannya duluan. aku mendecih karena Jojo ber-aku-kamu ke ceweknya. Jadi pengen. Sama Rafael pastinya.
Aku menyalami tangan panjang, putih, dan mulus milik Lena. Cewek imut itu tersenyum manis menyebutkan namanya. "Aku Lena." Tipikal yang cocok buat jojo banget. Imut dan kalem. Aku kira seleranya dia kayak Alisha, karena Jojo dulu suka muji-miji gadis itu. Masih mending ini deh daripada Jojo memuja Alisha, si musuh besarku. Jojo dan Lena tertawa pelan sambil saling melihat dengan mata berbinar penuh curiga. Aku jadi curiga cowok itu sudah cerita yang macam-macam tentangku. Awas saja! Aku mengernyitkan dahi melihat cewek yang duduk dekat Rayn. Cewek itu berwajah asing, pasti gebetan baru.
"De, ini namanya Kelyn." Rayn menunjuk cewek bertubuh kecil, cantik dengan mata bulat. Aku perlu tidak perlu mengingat nama pacar Rayn. Sudah basi jika suatu saat nanti aku mengatakan 'Masih sama Kelyn? Dia apa kabar?'. Rayn akan menjawab 'Kelyn siapa, gebetan gue Kendall Jenner'.
"Hai, Dea!" sapa Kelyn ramah, aku melemparkan senyuman tertulusku.
"Sama Jul udah kenal, ‘kan? Nggak usah dikenalin lagi," cetus Dika membuat Julia tertawa. "De, masa Julia bilang lo fans garis keras Adara banget."
"Emang iya, 'kan dia kakak gue." Aku berseru bangga. "Kita kan sama-sama cantik."
"Mimpi aja sana!" celetuk Alvin ketus sambil memandang ke arah lain. Ini orang kenapa sih nyahut mulu kalau aku ngomong?
Della dan Rina duduk paling belakang. Di dekat mereka ada cowok yang ganteng. Mereka beruntung banget tidak mendapatkan Rafael tapi digebet cowok berpenampilan keren dan wajah ganteng. Aku mendekati mereka dan mencubit lengan keduanya. "Kalian kok gak solid melepas masa lajang duluan? Gue gimana?" bisikku.
"Kasian deh loh!" tawa Della menampilkan giginya. "Oh ya, kenalin ini, Rizal. Jauh nih datengnya dari Tebet."
"Tebet mah deket." Kemudian aku menyalami tangan seorang cowok tinggi. Aku lebih menilai calon pacarnya Rina lebih tampan. "Hai, gue Dea. Nih ya Della tuh kalo ketawa kayak hantu—"
"Bzzzz!" Della melotot sambil bekep mulutku. "Itu rahasia umum." Della dan Rizal tertawa, aku menggembungkan pipi.
"Gue Rizal."
Aku curi-curi pandang ke sosok yang di sebelah Rina. Kalau aku tokoh antagonis perusak hubungan orang, pasangan ini mantap banget untuk dibombardir. Aku iri melihat Rina yang cantik bersama cowok ganteng dan hidungnya mancung. Oh ya, matanya bulat dan bagus banget. Mirip cowok dalam komik. Rina menyenggolku, untung aku sadar sebelum ngeces.
"Kenalan dong kalian." Suruh Rina sehingga aku dan cowok itu saling menyebutkan nama dan berjabat tangan.
"Dea." Aku menyuarakan namaku dengan amat imut. Siapa tahu cowok itu memiliki teman yang mau dikenalkan padaku? Hehehehe.
"Vandi."
***
Aku bertanya-tanya mengapa nasibku begini. Kami jalan ber-12. Tentu saja mereka akan jalan mepet-mepet bahkan ada yang gandengan.
Aku disisain bersama cowok mirip arca batu yang lebih asyik ngunyah permen karet daripada mengajak aku ngomong. Kami jalan paling belakang mulai dari masuk bioskop, alhasil kami duduk nyaris di pojokan. Sebelah kami ada Rayn dan Kelyn yang benar-benar di pojokan. Cowok itu bisa saja memilih tempat yang asyik. Mereka sih wajar, sepasang kekasih.
Sedangkan aku dan Alvin? Suasana ini makin awkward. Kami diam-diaman saja, dia tidak mengajakku ngomong namun menyodorkan permen karet.
Bioskop penuh banget maklum hari Sabtu. Aku buka hape untuk mengirim pesan.
Dea Sagita:
Fix. Kita rame banget si sampe satu baris.
Pesanku tidak dibaca oleh satu pun. Iyalah, mereka lagi asyik sama pacar masing-masing. Aku mendongakkan kepala mencari wajah Alvin, cowok itu sandaran dengan santai. "Untung ada lo. Rayn ngapain coba, idih? Gombal banget!" dengusku tak suka mendengar Rayn lagi gombalin Kelyn dan dibalas oleh tawa renyah gadis itu.
"Hm."
"Vin, jangan ngeselin bisa?" Aku memukul lengannya refleks. s**l, aku mukul cowok tukang pukul. Kalau dia membalas dan bikin aku klenger gimana? "Sori, sori."
"Nggak sakit."
"Lo nggak pake kacamata, emang kelihatan?"
Alvin menoleh dan menundukkan wajahnya. "Lo tau mata gue nggak minus."
"Bener, ‘kan dugaan gue!" seruku bangga. Alvin mendelikkan mata kembali menyandarkan punggungnya.
Obrolan terpaksa berhenti karena trailer-trailer film sudah bermunculan. Lampu bioskop perlahan mati dan gelap. Tiba-tiba saja pikiranku melayang kepada Rafael.
Rafael, lagi ngapain ya?
TBC
***
22 Okt 2021