Chapter 5

3709 Kata
Shirena mengerutkan kening.             Cewek itu mundur sejenak dan mendongak. Dia ingin memastikan dengan kedua mata kepalanya sendiri bahwa papan di atas pintu di hadapannya memang bertuliskan 3 IPS 2. Bahwa Shirena tidak salah masuk kelas. Dan ternyata, kelas di hadapannya ini memanglah kelasnya.             Lantas, kenapa Reygan ada di sana? Berdiri di dekat jendela kursi paling belakang alias kursinya, bersedekap dan menatap langit mendung di atas sana. Bulan ini rupanya sudah memasuki musim hujan, hingga matahari hanya melaksanakan tugasnya jika dia menginginkannya.             “Sejak kapan lo jadi siswa di kelas gue?”             Pertanyaan bernada datar itu membuat kepala Reygan menoleh. Dia menatap tegas Shirena yang dibalas dengan tatapan tak kalah tegasnya. Cewek itu masuk, menuju kursinya sendiri dan menaruh ransel di atas meja. Lalu, Shirena memasang tubuh mungilnya di depan Reygan dan bersandar pada dinding dengan sebelah pundaknya.             “Ada peraturannya kalau anak kelas lain nggak boleh berkunjung ke sini?” Reygan balas bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Shirena barusan. Dia menarik kursi di sampingnya dan menjatuhkan tubuh di sana. Disilangkannya kaki kanan ke kaki kiri dengan kedua tangan yang masih terlipat di depan d**a. “Kelas lo boleh juga.”             “Komentar basi,” kata Shirena dingin. “Sekarang, kasih tau alasan lo datang ke kelas gue pagi-pagi begini, di saat semua teman sekelas gue bahkan belum pada datang.”             Reygan menyeringai misterius. “Teman sekelas lo bilang? Emangnya lo bisa bersosialisasi dengan baik dan mempunyai teman, Ren?”             Kedua tangan Shirena mengepal kuat. “Apa maksud lo?”             Reygan berdiri. Cowok itu berjalan beberapa langkah, menjauh dari Shirena. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana abu-abu dan dia memutar tubuh. Menatap ekspresi datar dan geram milik Shirena. Menikmati dengan kepuasan tiada tara ke arah manik cokelat terang yang kini menyorot menakutkan.             “Lo lupa kalau lo selalu sendirian? Ke mana-mana sendiri, nggak pernah berkomunikasi dengan orang lain kalau nggak perlu-perlu banget. Gue nggak mau belagak t***l di depan lo, karena gue yakin, lo mendengar semua percakapan gue sama Gabriel minggu lalu.” Reygan memiringkan kepala ke kanan dan tersenyum mengejek. Entahlah, hatinya terasa panas sejak kejadian kemarin. Hubungan di antara Mahesa dan Shirena membuat Reygan ingin menyakiti Shirena. Bukan secara fisik tentu saja. “Gue berani taruhan, kalau bukan karena kehadiran Mahesa waktu itu, lo akan terus membusuk di muka bumi ini.”             Jantung Reygan sempat berhenti berdetak, sebelum akhirnya meliar gila-gilaan. Rasa panas di hatinya kini menjalar pada pipi kanannya yang terdorong keras ke kiri akibat tamparan Shirena barusan. Masih sedikit terkejut, dengan sisa-sisa kesadarannya, Reygan menoleh pelan ke arah Shirena.             Dan matanya membulat sempurna.             Wajah Shirena memerah. Reygan yakin itu karena amarah yang sedang mati-matian ditahan oleh cewek tersebut. Bukan hanya wajah, kedua mata Shirena juga sedikit memerah dan... mengeluarkan buliran kristalnya.             Shirena menangis.             “Lo nggak ada hak buat mengomentari kehidupan gue! Lo nggak tau apa-apa soal kehidupan gue, Reygan Megantara! Lo cuma anak orang kaya belagu yang hobinya menghabiskan uang orang tua untuk memacari semua cewek bego di luar sana! Cowok b******k kayak lo bahkan nggak pantas untuk berdiri tegak di hadapan gue!”             Terengah-engah, Shirena menghapus air matanya. Selama ini, semua ucapan menyakitkan, semua perlakuan menyakitkan, dihadapi Shirena dalam diam. Cewek itu sudah terbiasa. Hatinya menanggapi dengan biasa karena sudah dia kunci dan kuncinya dibuang entah ke mana. Tapi, sejak bertemu dan berurusan dengan Reygan, semua menjadi kacau. Berantakan. Hatinya sering sakit dan sesak hanya karena kata-kata menyakitkan dari mulut si b******k itu.             Si b******k yang... yang....             Tidak! Sampai dia mati pun, Shirena tidak akan pernah mengakuinya. Tidak akan pernah! Biarlah semuanya terkubur sampai dia meninggalkan dunia yang menyakitkan, menakutkan dan kejam padanya ini.             Selesai memberikan tatapan dinginnya, Shirena pergi. Menabrakkan pundaknya ke pundak Reygan, menutup pintu dengan bantingan. Reygan sendiri diam bagai patung. Tidak menyangka Shirena akan meledak karena kalimatnya barusan, bahkan menamparnya. Mungkin, kata-katanya memang keterlaluan. Mungkin, ini adalah pertahanan terakhir Shirena.             Reygan menunduk. Mengepalkan kedua tangannya dengan kuat di sisi tubuh hingga memutih, cowok itu memejamkan kedua mata dan mengumpat berulang kali. Dia bahkan mendorong kursi di dekatnya sampai jauh dan terjatuh keras saat kedua matanya terbuka. Dadanya bergemuruh, bahunya naik-turun.             Dia benar-benar b******k. Dia menyesal. Amat sangat menyesal, Tuhan.             Di sisi lain, seseorang memerhatikan tingkah laku Reygan dari balik kaca kecil yang ada di pintu kelas. Menatap Reygan dengan tatapan datar. Orang tersebut kemudian menatap ke kejauhan, ke tempat Shirena tadi berlari dan menghilang di koridor sekolah. Menarik napas panjang, orang tersebut kembali melirik Reygan yang kini duduk sambil menunduk.             “Reygan, you’re such a coward! Lo akan menyesal nantinya,” kata orang itu dengan nada yang sulit diartikan.             Dia, Mahesa Febrianto. ### “Lo ngomong begitu?!”             Seruan Gabriel tidak ditanggapi oleh Reygan. Kepalanya masih sakit, napasnya masih sesak, dadanya masih bergemuruh hebat. Emosi dan rasa menyesal itu semakin kuat mengikatnya, mengendap kuat dalam dadanya.             Gabriel mendesah berlebihan dan duduk di samping Reygan. Keduanya sedang berada di kantin sekarang, menyantap makan siang. Makan siang yang bahkan tidak disentuh oleh Reygan sejak cowok itu memesannya. Hanya meminum jus jeruknya sesekali, yang Gabriel yakini untuk mendinginkan kepala dan hatinya.             “Kenapa sih, lo harus bersikap sebegini b******k ke Shirena? Dua kali lo ngeluarin kata-kata menyakitkan buat cewek itu, loh,” ucap Gabriel mengingatkan. Kali ini, Reygan bereaksi. Cowok itu menatap sang sahabat dengan tatapan tajamnya.             “Gue tau dan gue juga nggak ngerti kenapa gue begini,” katanya tegas. “Yang jelas, gue selalu uring-uringan nggak karuan semenjak tau kalau Mahesa dan Shirena pernah berpacaran. Kalau ternyata, Mahesa adalah orang yang bisa membuat Shirena lebih ‘hidup’ di masa lalu, seperti cerita lo waktu itu.”             Gabriel bahkan tidak menduga kalau Mahesa pernah satu sekolah dengannya saat SMP dulu. Dia tidak pernah sekelas dengan Mahesa, dan dengan Shirena hanya waktu kelas tiga. Kemudian gosip itu menyebar dari mulut Lili, sepupu Shirena. Gabriel sama sekali tidak ada bayangan jika Mahesa akan muncul lagi di kehidupan Shirena, setelah memutuskan cewek itu dulu.             Dan sekarang, tahu-tahu saja, kehadiran Mahesa membuat playboy terkenal di seantero sekolah ini uring-uringan. Gabriel melirik Reygan sekilas. Apa sebenarnya, sahabatnya itu menyukai Shirena?             Jika dipikir-pikir lagi oleh Gabriel, semenjak berurusan dengan Shirena, Reygan belum lagi mendekati cewek-cewek di luar sana, seperti hobinya selama ini. Reygan belum lagi memiliki pacar. Dia terlalu sibuk berdebat dan bertengkar dengan Shirena. Bahkan hari ini, dia membuat si putri es, yang terkenal tidak memiliki hati, menangis.             Hebat sekali, bukan?             “Lo... cemburu sama Mahesa, Rey?” tanya Gabriel hati-hati.             Tersentak, Reygan segera menoleh. Sahabatnya itu menatapnya serius, membuat Reygan berdecak dan mengibaskan sebelah tangan. Dia menopang dagu dengan sebelah tangan, kemudian mengacak bakso pesanannya dengan sebelah tangannya yang lain. “Spekulasi nggak mendasar banget, tuh. Mana mungkin gue cemburu sama Mahesa? Kalau gue cemburu, itu artinya gue naksir si Shirena. Shirena? Ha! Yang benar aja lo! Dia sama sekali bukan tipe gue, Iel!”             Baru saja Gabriel ingin membalas kalimat Reygan, cowok itu mengerjap. Dia melihat Shirena sedang berjalan menuju pintu kantin dan berhenti ketika Mahesa mencegatnya. Keduanya terlihat berbicara serius. Mahesa bahkan sempat mencekal lengan Shirena, ketika Shirena ingin pergi dari hadapan cowok itu. Namun, Shirena memutuskan untuk bertahan dan akhirnya mengangguk ogah-ogahan.             “Kayaknya, mereka berdua lagi janjian, deh.”             Kalimat Gabriel membuat lamunan Reygan buyar. Cowok itu segera menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Gabriel dan memicingkan mata. Gabriel melirik Reygan sekilas dan matanya tertuju pada tangan Reygan di atas meja yang terkepal kuat. Membuatnya menarik napas panjang dan menggeleng.             “Si Reygan ini kayaknya naksir Shirena tapi nggak sadar,” batin Gabriel pusing.             Reygan mengikuti kepergian Shirena dan Mahesa dengan tatapan tajam. Hatinya mendadak panas kembali. Dia sendiri bingung dengan keadaan ini. Rasanya sangat tidak mungkin dan tidak masuk akal jika dia mendadak cemburu dengan kedekatan Shirena dan Mahesa. Demi Tuhan, Shirena bukanlah tipe ceweknya!             “Mau ke mana?” tanya Gabriel, ketika Reygan tiba-tiba berdiri. Cowok itu menunduk sekilas dan kembali menatap punggung Shirena yang masih terlihat itu.             “Cari angin! Sumpek gue di sini!”             Setelah berkata demikian, Reygan bergegas ke luar. Mengikuti secara diam-diam di belakang Shirena dan Mahesa. Menatap bete ke arah Mahesa yang kini berbicara entah apa itu kepada Shirena sambil tersenyum lembut. Kemudian, tangan k*****t itu mendarat pada kepala Shirena dan mengusapnya lembut.             Yang brengseknya, tidak ditolak oleh Shirena sama sekali.             “Kenapa dia diam aja gitu, sih?!” seru Reygan tertahan. Ingin berteriak, tapi takut Mahesa dan Shirena mengetahui keberadaannya. Sampai akhirnya, Reygan tahu ke mana arah tujuan kedua orang tersebut.             Halaman belakang sekolah.             Bersembunyi di balik dinding, Reygan mengintip keduanya. Berusaha menajamkan pendengaran untuk mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh Mahesa dan Shirena. ### Awalnya, Shirena enggan mengikuti Mahesa.             Tapi, karena mantan pacarnya itu memaksa, bahkan mencekal lengannya hingga menimbulkan kasak-kusuk di sekitarnya dan juga tatapan penasaran dari semua siswa di kantin, Shirena terpaksa mengiyakan. Dia juga membiarkan saja kala Mahesa mengusap lembut rambutnya karena sudah malas menghindar dari cowok itu.             Shirena lelah.             Kemudian, Mahesa membawanya ke halaman belakang. Tempatnya sering menghabiskan waktu jika sedang penat, sambil mendengarkan musik di bawah pohon rindang itu. Tempatnya, Reygan dan Mahesa tidak sengaja berkumpul kemarin.             Mengingat Reygan lagi membuat d**a Shirena sesak. Kalimat Reygan pagi tadi sangat menghantamnya. Yang lebih aneh lagi, baru kali ini Shirena kalah dan tunduk pada orang lain. Selama ini, tidak pernah ada satu orang pun yang bisa membuatnya kalah, merasa sakit hati bahkan sampai menangis, kecuali si b******k Reygan itu.             Playboy sialan di sekolahnya.             “Ada apa?”             Pertanyaan Mahesa membuat Shirena sadar dari lamunannya. Cewek itu mendongak, menatap mata berbingkai kacamata tersebut dengan tatapan ingin tahu. Penasaran dengan maksud Mahesa kembali mendekatinya, bersikap akrab dengannya. Tidak ingatkah cowok itu pada perbuatannya dulu? Meninggalkannya begitu saja, di saat dia tidak percaya pada seluruh dunia? Di saat dia hanya percaya pada cowok itu?             Mahesa paham akan arti tatapan Shirena untuknya. Cowok itu tersenyum tipis dan menarik napas panjang. Dia mendekati Shirena, memasang tubuh tegapnya di depan Shirena-nya. Shirena-nya yang rapuh, tetapi sebenarnya kuat. Shirena-nya yang gelap, tetapi sebenarnya bercahaya.             My fairy­-nya.             “Harusnya gue yang tanya, ada apa lo sampai ngajak gue ke sini, Sa,” balas Shirena datar. “Waktu gue nggak banyak. Silahkan lo bicara, apa pun yang mau lo bicarain.”             Kegelapan yang mengurung Shirena kali ini semakin kuat, Mahesa menyadarinya. Mahesa juga sadar jika dia adalah alasan dibalik menguatnya kegelapan dalam diri dan hati Shirena. Lulus SMP, dia terpaksa ikut kedua orang tuanya ke luar kota karena ayahnya dipindah-tugaskan ke sana. Lalu, naik ke kelas tiga SMA, mereka kembali ke kota ini dan Mahesa segera mencari tahu keberadaan Shirena.             Yang untungnya, berhasil dia temukan melalui Septian. Septian, kakak cowok Shirena. Mahesa sangat bersyukur bisa tidak sengaja bertemu dengan Septian kala itu. Dia bertanya pada Septian, di mana Shirena bersekolah dan Septian juga sudah mengingatkan perihal sikap Shirena saat ini.             Bahwa cewek itu kembali memenjarakan diri dalam dunianya sendiri, setelah berpisah dengan Mahesa.             Yang dilakukan oleh Mahesa saat itu adalah meminta maaf sebanyak-banyaknya pada Septian dan berjanji akan mengembalikan Shirena seperti waktu mereka menjalin kasih dulu. Septian sendiri tersenyum memaklumi dan berkata bahwa Mahesa pasti punya alasan di balik putusnya mereka kala itu.             Dan memang dia memiliki alasan yang jelas.             “Lo nggak penasaran, kenapa waktu itu gue putusin lo, my fairy?” tanya Mahesa.             Shirena terperangah, tapi dia cepat-cepat merubah air mukanya menjadi normal kembali. Cewek itu berdecak dan mendengus. Mengibaskan sebelah tangan, Shirena berkata, “Itu kejadian di masa lalu. Udah nggak ada pengaruhnya lagi buat gue.”             Mahesa melirik Shirena sejenak, sebelum melanjutkan, “Gue temuin teman masa kecil lo waktu itu.”             DEG!             Shirena gugup setengah mati sekarang. Jantungnya meliar. Cewek itu membasahi bibir bawahnya berulang kali dan melirik ke segala arah. Takut jika ada seseorang yang mendadak hadir. Karena Shirena sadar akan keadaan dan situasi saat ini. Situasi yang tidak disadari oleh Mahesa.             Dan Mahesa menyadari kegugupan serta kegelisahan Shirena. Dia yakin, Shirena pasti menganggapnya lupa pada semua cerita masa SD cewek itu dulu sekali. Sewaktu mereka berpacaran, Shirena memang mulai terbuka dan hanya terbuka pada Mahesa. Pernah Mahesa berkunjung ke rumah tantenya Shirena, tempat Shirena dan Septian tinggal sejak kecil dan menemukan beberapa benda zaman cewek itu SD.             Shirena berkata, itu adalah benda kenangan. Benda miliknya dan milik teman akrabnya. Teman akrabnya yang pergi meninggalkannya sendirian, di saat dia sedang bersedih. Ingin membuang benda-benda tersebut, tapi, Shirena tidak bisa. Entah kenapa.             Dan Shirena menyebutkan nama si teman akrab tersebut. Nama yang katanya tidak akan pernah dilupakan oleh Shirena seumur hidupnya. Seorang teman yang sangat disayanginya, dipercayainya, membuangnya begitu saja. Tanpa kata perpisahan, tanpa penjelasan, tanpa alasan.             Yang sialnya, dilakukan juga oleh Mahesa.             “Kenapa lo gugup begitu, my fairy? Lo takut? Lo pikir, gue lupa semua cerita lo dulu?” Mahesa tersenyum lembut. Selembut sorot matanya. Dia mengusap pipi Shirena, kemudian menangkup wajah mungil dan dingin itu dengan sebelah tangannya. Memaksa Shirena menatap langsung manik matanya. “Gue masih ingat semua cerita lo dulu.”             “Dulu, gue sengaja mencari keberadaan teman akrab lo. Meskipun gue nggak tau, apa gue bisa nemuin dia atau nggak. Tapi, Tuhan seolah kasih gue kesempatan untuk bertemu dia. Gue emang nggak negur dia, tapi gue yakin dia orangnya. Karena, teman-temannya waktu itu menyerukan nama dia, tepat di depan gue.”             Shirena mendapati diri tidak bisa berpaling. Kelembutan mata Mahesa begitu memabukkan. Dia rindu Mahesa-nya. Dia rindu tangan besar dan hangat itu menangkup wajahnya, memainkan rambutnya, menghapus air matanya dan... memeluknya.             “Gue kaget. Gue nggak menyangka, gue akan menemukan harta berharga lo itu.” Mahesa menarik napas panjang dan melanjutkan. “Gue ikutin dia dan akhirnya, gue tau di mana dia bersekolah. Sejak itu, gue selalu berpikir, gimana kalau lo bertemu lagi sama dia, suatu saat nanti?”             Hening sejenak. Angin memainkan rambut keduanya. Mahesa melepas tangannya dari wajah Shirena, lantas menuju pohon rindang tersebut dan bersandar pada batangnya sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Mata lembut itu kini menyorot sedih. Senyumannya juga terlihat getir dan pahit.             Membuat Shirena mengerutkan kening. Membuat jantung Shirena semakin berdetak gila-gilaan.             “Pikiran bahwa lo akan meninggalkan gue suatu saat nanti, membuat gue takut. Gue nggak siap untuk ditinggalin sama lo. Gue sangat sayang sama lo. Gue tau lo merasa trauma sama semuanya. Bokap sama nyokap lo cerai, membuat lo merasa dibuang dan ditinggalkan. Teman berharga lo pergi tanpa salam perpisahan, membuat lo lagi-lagi merasa ditinggalkan, merasa ditelantarkan. Trauma lo itu membuat lo mengurung diri dalam kegelapan hati lo sendiri, hingga akhirnya lo memutuskan untuk berubah menjadi seorang yang dingin. Tidak tergapai, tidak memercayai orang lain.”             Kedua tangan Shirena terkepal kuat. Mahesa terlalu tahu dirinya dan itu membuatnya muak! Dipikirnya, dia itu siapa? Mahesa tidak berhak masuk lagi ke dalam dunianya!             Tidak!             “Dan akhirnya, gue mengambil satu keputusan. Gue yang akan meninggalkan lo, dengan resiko lo akan kembali diserang rasa trauma itu dan kembali menjadi cewek dingin. Karena gue mau lo belajar hidup tanpa gue dan gue belajar hidup tanpa lo. Dan ternyata, lo memang berubah lagi menjadi Shirena yang gelap. Shirena yang tidak terjangkau, yang dingin. Lo nggak tau seberapa menyesalnya gue waktu itu, terlebih bokap lo juga... pergi meninggalkan lo untuk selamanya.”             DEG!             Ingatan menyakitkan itu kini silih berganti memasuki dunianya, memasuki hati dan otaknya. Shirena merasa pusing. Dunianya berputar. Orang tuanya bercerai, ibu tiri yang kerap kali menyiksanya, teman berharga yang pergi begitu saja, pacar yang meninggalkannya begitu saja, semuanya berputar cepat dalam benaknya. Menimbulkan sesak yang begitu hebat, menyebabkan matanya memanas cepat dan air mata itu mengalir deras.             Sakit sekali. Shirena meremas seragam sekolahnya keras. Dia jatuh berlutut, menunduk dan menangis tanpa suara. Membuat Mahesa kaget dan lekas menghampiri Shirena. Bersimpuh dengan satu lutut menyentuh tanah berumput itu, memegang kedua pundak Shirena tegas.             Setegas tatapan matanya.             “My fairy? My fairy?!” seru Mahesa. Ini yang dia takutkan. Dia takut jika menjelaskan hal ini, Shirena akan terpuruk semakin jauh. Membuat cewek itu semakin diserang rasa traumanya yang mungkin sudah susah payah ditekan jauh-jauh di dalam hatinya. Tapi, dia harus menjelaskannya. Waktu itu, dia tidak memberikan alasan apa pun karena dia masih terbilang remaja ingusan dan dia tidak memiliki keberanian itu. “Shirena!”             Kepala Shirena terangkat perlahan. Mata penuh air mata itu menatap Mahesa. Sakit tergambar jelas pada pancaran matanya, membuat Mahesa mengumpat dalam hati dan langsung memeluk tubuh gemetar Shirena.             “Maaf... maafin gue yang pengecut ini... maaf....” Berulang kali, Mahesa meminta maaf, tapi Shirena tidak merespon. Cewek itu semakin menangis dan meremas seragam Mahesa. Sesak itu tak kunjung hilang. Perasaan traumanya kembali naik ke permukaan.             Mahesa bertemu dengan teman berharganya. Bertemu dengan... dia.             “Berarti... lo langsung kenal saat bertemu lagi, Esa?”             Pertanyaan Shirena dengan nada bergetar hebat itu membuatnya diam. Mahesa menarik napas panjang dan mengangguk di pundak Shirena yang sedang dipeluknya. Bahwa dia masih mengingat dengan jelas wajah si teman berharga milik Shirena, bahkan langsung yakin dengan tebakannya sendiri, ketika mereka berkenalan secara resmi.             “Dan lo bersikap seolah-olah nggak mengenalnya, my fairy,” kata Mahesa pelan. “Lo menyakiti diri lo sendiri.”             Shirena menatap kosong pohon di hadapannya. Kejadian minggu lalu dan juga kejadian kemarin kembali hadir. Bagaimana dia pertama kali berbicara dengannya, terpaksa berurusan dengannya, mendengar semua kalimat menyakitkan dari mulutnya.             Dan yang lebih penting, bagaimana orang itu meninggalkannya dan tidak mengingatnya sampai detik ini. Bagaimana dia yakin seratus persen sejak dulu, orang itu tidak menganggapnya sebagai teman berharga, seperti yang dia lakukan pada orang tersebut. Hal yang tidak pernah dia bicarakan pada Mahesa dulu, sewaktu mereka berpacaran.             “Apa lo tau, kenapa gue bersikap kayak gitu, Sa?”             Mahesa mengerutkan kening. Dia menguraikan pelukannya dan terkesiap begitu menatap wajah datar, tatapan kosong dan dingin itu. Aura di sekitar Shirena terasa sangat gelap, pekat. Mahesa bisa merasakannya.             Shirena sudah jauh dari cahaya. Cewek itu menjatuhkan dirinya lebih dalam ke kegelapan. Mengunci diri di sana. Mengabaikan cahaya dunia.             “Ada satu hal yang nggak pernah gue ceritain ke lo. Tentang... dia.” Shirena mulai menyunggingkan senyum. Perpaduan rasa sakit, sesak dan trauma itu menyebabkan senyuman Shirena begitu dingin menusuk. Menyeramkan, menakutkan. Bahkan Mahesa tidak malu-malu mengakui kalau dirinya saat ini tidak mengenal siapa cewek di hadapannya. Karena Shirena menjelma menjadi sosok lain yang tidak diketahuinya.             “My fairy...?” panggilnya ragu dan dengan nada yang begitu jauh. Dia mengulurkan tangan, menyentuh pundak Shirena, dan tangannya meluruh begitu saja saat mata tajam itu menghujam maniknya sendiri.             “Kamu liat Ega?”             Jihan, teman sekelas Shirena, menggeleng. Cewek berambut ikal itu berusaha mengingat dan menjentikkan jari sambil tersenyum. “Aku ingat! Tadi, Ega ke sana,” tunjuknya ke arah samping. “Sama Riki, sama Yoyo.”             Shirena tersenyum riang dan mengangguk. Dia sedang sedih dan membutuhkan Ega untuk membuatnya tertawa, karena Ega selalu berhasil membuatnya tertawa. Cewek berkepang dua itu lantas menuju arah yang ditunjuk Jihan dan berhenti ketika mendengar percakapan Ega, Riki dan Yoyo.             “Ega suka sama Shiren, kan?” tanya Riki. Shirena hafal suara teman-teman sekelasnya, sehingga dia bisa mengenali bahkan tanpa harus melihat.             “Apaan, sih? Nggak!”             “Tapi, Ega selalu bareng Shiren.” Yoyo menimpali. “Shiren kan anak manja. Kata Mama, anak manja itu nggak baik. Shasa bilang, anak manja itu menyebalkan karena adiknya manja.”             “Nggak! Aku nggak suka sama Shiren! Shiren itu berisik anaknya, cerewet. Dia juga suka bikin aku kesal. Pokoknya, Shiren itu anak nakal. Udah jelek, nakal lagi! Ega main sama Shiren karena disuruh sama bu guru!”             Mahesa terbelalak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Shirena barusan. Cewek itu tidak pernah menceritakan hal ini sebelumnya. Benarkah teman berharga Shirena berkata demikian? Jadi, alasan lain dari Shirena menjadi manusia berhati dingin dan gelap karena... teman berharganya itu? Karena satu-satunya orang yang dipercayai Shirena, yang dianggap Shirena bisa membuatnya tertawa disela-sela rasa sedihnya, mengatakan hal menyakitkan itu?             Karena itu, Shirena tidak pernah mau mencari keberadaannya? Karena itu, Shirena bersikap seolah tidak mengenalnya sekarang? Tapi, benda-benda zaman SD itu... apa... apa Shirena berusaha membenci teman berharganya itu, tetapi tidak berhasil?             Karena selama tiga tahun, terhitung kelas satu SD hingga kelas tiga, Ega lah yang ada bersama Shirena? Bermain bersama, pulang sekolah bersama, makan bekal siang bersama?             Tapi... waktu itu mereka masih anak-anak. Bagaimana kalau itu karena Ega merasa malu akibat diledek oleh teman-temannya? Karena dia terlalu dekat dengan teman perempuan dan Shirena mengartikannya berbeda karena cewek itu sedang berada dalam permasalahan keluarga? Karena cewek itu sedang berjuang melawan rasa sedih akibat perpisahan kedua orang tuanya?             “My fairy, gue rasa waktu itu—“             Dan Mahesa tertegun. Wajah itu berubah geram. Mata itu semakin menyorot dingin. Kedua tangan Shirena mengepal di sisi tubuhnya, dan senyuman itu semakin terlihat menakutkan.             “Apa lo tau, Esa? Dia bahkan dua kali mengucapkan kalimat menyakitkan ke gue, sebelum kemunculan lo di sini.”             DEG!             “A—apa?” tanyanya nyaris berbisik. Tidak percaya dengan ucapan Shirena tadi.             “Urusan gue dan dia murni di masa lalu, sama dengan urusan gue dan elo,” kata Shirena lagi. “Gue nggak butuh siapa-siapa! Gue nggak butuh lo, gue nggak butuh orang lain, gue nggak butuh... dia!”             Mahesa menatap nanar Shirena. Cewek ini harus dia selamatkan, segera. Atau... apakah dia bisa meminta orang itu untuk menyelamatkan Shirena? Karena bagaimana pun, orang itu pernah menjadi bagian penting di hati dan hidup Shirena.             “Gue benci... Reygan Megantara!” Shirena bangkit dan memutar tubuh. Dia menghadap ke arah dinding, tempat di mana Reygan bersembunyi. “Gue sangat membenci lo, Reygan Megantara!”             Mahesa mengerjap dan berdiri. Dia terkesiap ketika sosok Reygan ke luar dari dinding itu. Menatapnya dan Shirena dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.             “Reygan, sejak kapan lo di sana?” tanya Mahesa panik. Dia merasa belum waktunya Reygan tahu semua ini, tapi, takdir justru mempermainkan mereka. “Lo... dengar semuanya?”             Reygan diam. Cowok itu tidak menanggapi Mahesa dan fokus pada Shirena yang menatapnya dengan bara meletup. Apa yang baru saja didengarnya sama sekali tidak pernah dia duga.             “Jadi, lo mengenal gue sebelum ini? Jadi... lo dan gue saling mengenal dulu? Saat SD? Jadi, gue dan lo berteman?”             Lalu, kalimat Gabriel kembali terngiang.             Orang tuanya bercerai, dia disiksa ibu tirinya, jadi anak broken home dan... teman akrabnya pergi begitu aja.             Tuhan... apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa melupakan Shirena? Teman akrabnya saat SD? Dan... apakah dia memang mengucapkan kalimat setan itu saat kecil? Hingga membuat Shirena semakin bersedih dan akhirnya menjelma menjadi sosok seperti ini?             “Seperti yang udah lo dengar tadi.” Shirena menyeringai sinis dan bersedekap. “Jadi, jangan pernah muncul di hadapan gue, jangan pernah berurusan sama gue lagi! Gue muak sama lo dan gue benci sama lo, paham?!”             Shirena hendak pergi, ketika Mahesa mencekal lengannya dan menatap tegas cewek itu. Dia tidak akan membiarkan Shirena menyakiti dirinya sendiri lebih dari ini. Mahesa yakin sekali kalau Shirena merindukan Reygan sejak lama. Sejak kepergian Reygan saat SD, Shirena pasti selalu memikirkan cowok itu, bahkan menyimpan semua benda-benda pemberian Reygan.             “Apa lo harus gue selamatkan lagi seperti dulu, my fairy? Itu yang lo mau? Menunggu orang lain untuk menyelamatkan lo?” tanya Mahesa tajam.             Shirena akan membalas, ketika suara Reygan terdengar.             Tegas dan tajam.             “Kali ini, gue yang akan menyelamatkan lo, Shirena!”             Ketiganya lantas saling tatap. Mahesa dengan ketidakrelaannya, Shirena dengan kebencian dan kegelapan hatinya, sementara Reygan dengan keyakinan dan keseriusannya. ###  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN