Chapter 6

2825 Kata
Reyna mengintip dari balik pintu kamar Reygan.             Kakaknya itu nampak diam, menatap lantai kamarnya dengan tatapan serius. Sejak pulang sekolah dua hari yang lalu, sikap kakaknya itu berubah. Reygan jadi lebih sering mengurung diri di kamar dan ke luar kalau memang ingin ke luar, seperti makan dan minum. Selebihnya, Reygan tidak pernah ke luar lagi. Gabriel yang datang ingin berkunjung pun, tidak ingin ditemui oleh Reygan.             Reyna jadi khawatir.             Memantapkan hati, cewek itu mengetuk pintu kamar kakaknya dan masuk bahkan tanpa menunggu persetujuan Reygan. Cewek itu berdiri di hadapan sang kakak, menatap cowok tersebut dengan tatapan tegas. Berdeham sejenak, Reyna akhirnya mendapatkan perhatian dari Reygan.             “Reyna? Sejak kapan kamu ada di sini?” tanya Reygan dengan kening berkerut dan mata menatap daun pintu yang terbuka. “Udah lama?”             Bahkan Reygan tidak menyadari kalau Reyna sudah masuk sejak tadi. Itu membuat Reyna semakin khawatir dan menarik napas panjang. Dia duduk di samping kakaknya, kemudian menggenggam tangan Reygan. Tersenyum, Reyna bertanya, “Abang baik-baik aja?”             “Aku? Aku baik-baik aja, kok. Kenapa emangnya?”             Bohong.             Reyna berusaha mencari kebenaran dari ucapan Reygan dengan cara menatap tegas ke manik sang kakak. Reygan sendiri tidak menghindar. Dia balas menatap, membuat Reyna mendesah panjang dan menjatuhkan seluruh tubuhnya ke kasur. Tidur telentang sambil menatap langit-langit kamar kakaknya itu.             “Abang tau? Sikap Abang ini ingatin aku sama sikap Kak Shirena.”             DEG!             Reygan mengepalkan kedua tangan saat nama Shirena disebut. Cowok itu bertahan pada posisinya: kembali menatap lantai dan membiarkan pikirannya melayang sejauh mungkin.             Keterdiaman Reygan membuat Reyna melirik cowok itu.             “Maksud kamu?” tanya Reygan dengan suara pelan. Suara yang seakan tercekat di tenggorokan. Suara yang baru pertama kali didengar oleh Reyna. Reygan tidak pernah seperti ini sebelumnya.             “Udah dua hari ini, Kak Shirena jadi aneh. Dia emang selalu datang ke ruang ekskul buat sekedar ngasih materi atau latihan memanah. Cuma, wajahnya jauh lebih ‘gelap’ dan matanya jauh lebih dingin.” Reyna membuat tanda kutip saat menyebutkan kata gelap. “Dia bikin semua orang takut untuk ngomong sama dia. Dan kemarin, Kak Shirena teriak keras sambil ngelempar busurnya, usai dia melepaskan anak panah sebanyak tiga kali.”             Refleks, Reygan menoleh. Wajah dan tatapan terkejut itu tidak bisa dia tutupi, sehingga Reyna bisa melihatnya dengan gamblang. Alis Reyna terangkat satu. Hatinya berkata bahwa ada masalah di antara Reygan dan Shirena.             “Dia teriak?” tanya Reygan gusar. “Teriak gimana?”             Reyna mengangkat bahu. “Ya, teriak. Orang teriak emang gimana sih, Bang? Pokoknya, semua orang di ruang ekskul sampai diam nggak berkutik. Mereka semua jadi takut sama Kak Shirena. Dan, temanku bilang, dia ngeliat Kak Shirena nangis di ruang ganti.”             Reygan tersentak. Shirena menangis?             “Ini pertama kalinya Kak Shirena nangis. Pokoknya aneh, deh. Belum pernah kita semua liat Kak Shirena kayak gini.” Reyna menatap serius Reygan. “Abang... nggak ada hubungannya sama semua ini, kan?”             Reygan terkesiap dan menelan ludah. Dia kembali menunduk, menatap kepalan tangannya di atas paha. Reyna pandai membaca situasi dan berdeduksi. Tidak pernah ada yang bisa luput dari tatapannya. Sepandai apa pun orang-orang menyembunyikan sesuatu darinya, pasti akan tercium juga.             Menarik napas panjang, Reygan berkata, “Ada. Ini ada hubungannya sama aku, Na.”             Reyna bangkit dari posisi tidurnya dan menunggu kelanjutan kalimat Reygan. Menatap wajah kakaknya dari jarak dekat, membaca situasi yang sedang terjadi dari kedua mata Reygan. Namun, Reygan tidak berniat memberitahu lebih jauh. Jadi, dia berkata, “Bisa aku minta nomor ponsel Shirena? Ada yang mau aku omongin sama dia.”             Reyna sangsi. Cewek itu terlihat menimbang sejenak, ketika suara kakaknya kembali terdengar.             “Please, Na. Aku mohon. Aku mau nyelesein masalah aku sama Shirena.”             “Bukan mau nambah masalah, kan?”             “Bukan!” tegas Reygan bersungguh-sungguh. “Aku mau semua ini selesai. Aku nggak bisa liat Shirena kayak gitu lebih jauh lagi. Aku mau bikin dia jadi Shirena kayak dulu lagi.”             Kening Reyna mengerut. Shirena yang seperti dulu lagi? Apa maksudnya?             “Abang... suka sama Kak Shirena?”             Pertanyaan Reyna membuat Reygan diam. Cowok itu merenung, memikirkan semuanya dalam hati. Menyukai Shirena? Dirinya? Tapi, dia memang tidak suka jika melihat hubungan yang terikat antara Mahesa dan Shirena. Dia benci mengakui bahwa Mahesa lah yang mengetahui semua hal tentang Shirena, bahwa Mahesa lah yang bisa membuat Shirena berubah. Mengeluarkan Shirena dari kegelapan yang kejam tersebut.             Dia tidak rela!             Reyna terpaku ketika melihat senyuman tulus dan lembut Reygan. Mata cowok itu melembut dan Reyna bersumpah, ini bukan jenis senyuman dan tatapan Reygan, saat cowok itu berniat mendekati cewek-cewek di luar sana.             Ini... berbeda.             “Ya!” tandas Reygan. “Aku suka sama Shirena.” ### Ponselnya berdering.             Shirena melirik tajam ke arah ponsel tersebut dan mengabaikan. Bukan hanya kepada orang-orang di sekitarnya, tetapi pada benda-benda mati pun, Shirena memperlakukan mereka dengan sangat dingin. Seperti ponselnya saat ini. Suara indah Westlife saat mengumandangkan lirik lagu us against the world bahkan tidak menggerakkan hati Shirena.             “Nggak mau diangkat teleponnya?”             Shirena melirik Mahesa dan mengangkat satu alis. “Lo siapa gue sampai-sampai harus nyuruh gue angkat telepon itu? Nyokap gue?”             Mahesa tersenyum tipis dan menopang dagu dengan sebelah tangan. Memandangi seraut wajah datar dan mata menyorot dingin milik Shirena-nya. Meski tidak bersahabat, tapi Mahesa tidak masalah. Dia sangat puas hanya dengan menatap wajah cantik dan elegan milik Shirena.             “Lo nggak capek?”             “Apa maksud lo?” tanya Shirena. Dia sebenarnya malas meladeni Mahesa dan berurusan lagi dengan mantan pacarnya itu. Tapi, kemunculan Mahesa setengah jam yang lalu di rumah tantenya ini membuat Septian—kakak cowok satu-satunya itu—bersemangat. Septian dan Mahesa seperti sepasang sahabat akrab yang baru berjumpa lagi. Kakak Shirena itu menyuruh Mahesa masuk dan mengobrol, bahkan tanpa sempat Shirena mengambil aksi untuk mengusirnya.             “Capek, my fairy. Capek dalam hal menjauhi dunia, menjauhi semua orang, termasuk gue.” Mahesa melenyapkan senyumannya dan menatap Shirena tegas. “Termasuk... Reygan.”             Salah besar.             Ketika nama Reygan lolos dari mulut Mahesa, Shirena kehilangan kontrol atas dirinya. Cewek itu menggebrak meja dan berdiri dari sofa. Dadanya bergemuruh, bahunya naik-turun karena emosi. Wajah dan mata Shirena memerah, kemudian cewek itu menangis.             “Berhenti ikut campur dalam urusan kehidupan gue, Mahesa Febrianto!” seru Shirena kalap. “Jangan bawa-bawa nama Reygan lagi!”             Mahesa menarik napas panjang dan menunduk. Dia tidak suka dan tidak tahan melihat Shirena menangis. Mahesa tidak pernah melihat cewek itu menangis sebelum ini.             “My fairy, dengarin gue,” kata Mahesa seraya berdiri dan memegang lengan Shirena. Cewek itu segera menepis, tapi Mahesa bertahan. Di rumah ini hanya ada Septian dan Mahesa merasa Septian akan mendukungnya. “Reygan waktu itu masih kecil. Wajar dia nggak ingat lo selama ini. Soal ucapan dia waktu itu, bisa aja, kan, dia cuma malu karena diledek soal kedekatan kalian? Kalian masih SD.”             “Oh, dia nggak ingat gue.” Shirena tertawa keras dan hambar. “Berarti, gue yang bego karena selalu mengingat dia dong, ya?”             “My fairy, bukan itu maksud gue,” bantah Mahesa. “Maksud gue, dia—“             “Stop, Esa! Jangan bahas Reygan lagi!” Shirena menggeleng keras dan menutup telinganya dengan kedua tangan, meskipun sebelah lengannya dicekal kuat oleh Mahesa. “Berhenti sebut nama cowok sialan itu!”             Mahesa ingin berbicara lagi, tapi ponsel Shirena kembali berdering. Terpaksa, Mahesa melepas tangannya dan meraih ponsel Shirena. Menatap deretan nomor yang tidak tercatat di phone book ponsel Shirena, Mahesa menggeser tombol hijau dan mendekatkan benda komunikasi itu ke telinga.             “Halo?” sapa Mahesa. “Siapa ini?”             Diam di ujung sana. Sampai kemudian, suara ragu itu terdengar. Ragu dan juga tegas dalam waktu bersamaan.             “Ini ponsel Shirena, kan?”             “Ya!” tandas Mahesa. Dia melirik Shirena sekilas dan mendapati cewek itu masih menangis tanpa suara sambil menatap kepalan kedua tangannya di atas paha. “Shirena lagi nggak bisa angkat telepon.”             “Kenapa?”             Kening Mahesa mengerut. Kenapa suara di seberang sana terdengar khawatir?             “Ada sedikit masalah,” jawab Mahesa. “Sori, lo siapa?”             “Reygan, teman sekolahnya.”             Ada perasaan tidak rela ketika mengetahui bahwa Reygan lah yang menelepon Shirena sejak tadi. Mahesa menarik napas panjang dan melirik Shirena lagi. “My fairy, ada telepon buat lo.”             Mendengar suara di ujung sana yang menyebut Shirena dengan kata my fairy, rasa kaget itu menerjang Reygan. Tanpa dikomando, hatinya memanas. Sebelah tangannya terkepal kuat dan dia memejamkan mata. Dia benar-benar tidak bisa membayangkan Mahesa kembali di kehidupan Shirena untuk menyelamatkan cewek itu.             Lalu, bagaimana kalau keduanya nanti akhirnya bersama?             “Mahesa?”             Mahesa mengerjap dan fokus pada ponsel Shirena. Pertama, karena Shirena tidak merespon. Kedua, karena Reygan sadar bahwa yang menjawab panggilan Shirena adalah dirinya.             Ah, mungkin karena barusan dia memanggil Shirena dengan panggilan kesayangan darinya, yang pernah didengar oleh Reygan tempo hari.             “Ya, ini gue.” Mahesa mendapati Shirena sedikit bergerak di tempatnya. Kening cewek itu pun mengerut dan Mahesa mengambil kesimpulan kalau cewek itu mulai menebak siapa yang meneleponnya sekarang. “Ada apa?”             “Bisa kita ketemu? Ada yang perlu gue omongin.”             “Sekarang?”             “Sekarang!” tegas Reygan. ### Shirena menghembuskan napas lelah.             Cewek itu baru saja berganti pakaian menjadi seragam sekolahnya lagi, setelah dia selesai latihan memanah di ruang ekskul. Shirena merenggangkan otot-otot lengannya dan kembali menghembuskan napas panjang. Dia duduk di dekat jendela, menatap langit sore yang berbeda dari biasanya. Langit sore yang hitam kelam, sekelam hatinya saat ini.             Semalam, Mahesa pergi dari rumah tantenya, setelah berbicara dengan seseorang yang menelepon ke ponselnya. Shirena sebenarnya sudah menerka-nerka siapa yang menelepon ke ponselnya itu, tetapi dia tetap memastikan.             “Itu tadi Reygan,” jawab Mahesa sambil menaruh ponsel Shirena ke atas meja. “Dia mau ngomong sama lo, tapi, setelah dia tau kalau gue yang angkat teleponnya, dia mau ngajak gue ketemuan.”             Shirena menatap datar meja di depannya. “Buat apa si b******k itu ajak lo ketemuan? Hati-hati lo ketularan brengseknya dia.”             Ada sedikit harapan di hati Mahesa, ketika dia mendengar kalimat Shirena barusan. Sedikitnya, cewek itu mencemaskan dan memikirkannya, bukan? Itu saja sudah sanggup membuat hati dan perasaan Mahesa meringan dan cowok itu didera perasaan senang luar biasa.             “Nggak akan ketularan, kok,” sahut Mahesa kalem sambil tersenyum. Dia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Shirena. Cewek itu mengangkat wajah dan bertatapan dengan sorot lembut Mahesa. “Lo khawatir sama gue, my fairy?”             Shirena mendengus dan menyentil kening Mahesa. Cowok itu pura-pura mengaduh dan memasang raut wajah cemberut. “Siapa bilang gue khawatir sama lo?”             “Barusan lo nyuruh gue untuk hati-hati, supaya gue nggak ketularan brengseknya si Reygan, kan?” tanya Mahesa mengulang kalimat Shirena. “That means, you are worried about me.”             “Jangan geer!” dengus Shirena dan sekali lagi, cewek itu menyentil kening Mahesa. “Sana pergi!”             “Lo nggak kepo soal pembicaraan kami nanti?” tanya Mahesa menggoda. Cowok itu menggerak-gerakkan alisnya dan tersenyum lebar. Senyum geli karena berhasil membuat Shirena melupakan kekesalannya barusan hingga menangis itu.             “Nggak, tuh,” jawab Shirena malas. “Gue udah tau arah pembicaraan lo sama Reygan nanti. Cowok b******k itu pasti nanya-nanya soal gue dan ngomongin gue!”             “Percaya diri sekali, Nona Shirena Violet?”             Shirena melirik jengkel Mahesa. Cewek itu berdiri dan bersedekap, diikuti oleh Mahesa. Shirena tersenyum tipis tetapi juga terkesan sinis. “Jelas! Dan tolong lo sampaikan ini ke Reygan Megantara: berhenti ngerecokin hidup gue! Meskipun nanti otak dangkalnya itu kembali mengingat gue dan pertemanan terkutuk kami saat SD dulu, gue bukan Shirena Violet yang sama, seperti gue saat SD dulu!”             Shirena ingat, setelah dia mengucapkan kalimat itu, Mahesa langsung terdiam. Senyuman dan sorot lembut itu menghilang, berganti dengan tatapan dan wajah serius. Lalu, Mahesa pamit dan tidak menoleh lagi ke belakang.             Shirena sadar kalau dia sudah bersikap kekanakkan dan egois. Tapi, dia benci menjadi cewek rapuh dan cengeng. Dia sudah membangun benteng pertahanan setinggi mungkin dan akhirnya, benteng itu roboh dalam hitungan detik, setelah pertemuan pertamanya lagi dengan Reygan Megantara, selepas sepuluh tahun berlalu.             Belum lagi, Mahesa yang kembali muncul dan menceritakan semua alasan dibalik keputusan sepihak cowok itu di masa SMP. Hal yang membuat Shirena mengunci dirinya rapat-rapat dari dunia, di saat dia mulai membuka diri pada dunia yang kejam menurutnya itu.             What a pain! This is so tiring.             Memakai ransel dan membawa serta busur juga anak panahnya, Shirena meninggalkan ruang ekskul. Suasana sekolah sangat sepi, karena semua orang sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Termasuk Mahesa. Cowok itu izin pulang duluan karena ada hal penting yang terjadi di rumah.             Yang dianggap aneh oleh Shirena karena dia merasa tidak membutuhkan info, izin atau kabar apa pun dari Mahesa.             Saat berjalan menuju gerbang sekolah, Shirena mendengar suara aneh dan ribut-ribut dari ruang administrasi. Shirena berhenti melangkah kemudian mengerutkan kening. Semua staf sekolah sudah pulang setahu Shirena, bertepatan dengan bel pulang. Lantas, suara apa yang saat ini didengarnya?             Memasang sikap waspada, Shirena memutar arahnya menuju ruang administrasi. Cewek itu menelan ludah dan menoleh ke segala arah. Berharap mendapatkan bantuan. Harusnya, ruang itu sudah kosong dan terkunci. Kalau pun ada orang jahat yang berniat macam-macam, satpam sekolah ini pasti tidak akan membiarkan.             Apa orang-orang yang berniat jahat di sekolahnya ini sudah hafal letak sekolah dan bisa menemukan akses masuk dari tempat lain, selain gerbang utama?             Suara ribut-ribut itu semakin terdengar heboh. Pintu ruang administrasi terbuka setengahnya dan Shirena memantapkan hati. Cewek itu mengulurkan tangan, meraih gagang pintu dan... kedua matanya membulat sempurna.             “Kalian apain Shiren?” tanya Ega kala itu, ketika melihat teman akrabnya—Shirena—menangis tersedu-sedu. Cewek itu duduk di lantai kemudian mencoba menghapus air mata yang mengalir di pipinya berulang kali.             “Nggak di apa-apain, Ega,” kata Riki panik. “Tadi, kita cuma mau gangguin Shirena sedikit doang, kok. Kita cuma sembunyiin tempat pensilnya. Tapi, Shirennya malah nangis kenceng.”             Ega menatap kesal Riki dan Yoyo, kemudian memukul tangan kedua temannya itu. Tak berhenti sampai di sana, Ega juga mendorong Riki dan Yoyo, hingga keduanya meringis dan mengusap p****t masing-masing.             “Jangan gangguin Shirena lagi!” seru Ega galak. Cowok itu kemudian mendekati Shirena, duduk di depan cewek berkepang itu dan tersenyum lebar sambil menghapus air mata di pipi mulus temannya tersebut. “Shiren jangan nangis lagi, ya? Nanti cantiknya ilang, loh.”             Lalu, keduanya tertawa bersama. ### Reygan merasa ini adalah hari sialnya.             Dia malas pulang ke rumah karena otaknya dipenuhi oleh percakapannya bersama Mahesa di tempat pertemuan mereka semalam. Cowok itu jadi uring-uringan sendiri sampai detik ini. Ketika memutuskan untuk jalan-jalan sampai malam dan melangkah menuju gerbang sekolah, dia menemukan tiga sosok berjalan menuju ruang administrasi.             Sosok-sosok mencurigakan.             Dengan mantap, Reygan berjalan mendekati ruang administrasi. Cowok itu melempar ranselnya di sembarang tempat dan mulai memasang sikap awas. Ketika Reygan membuka pintu tersebut, tiga sosok itu sedang mengacak-acak ruang administrasi dan memasukkan uang-uang yang disimpang di laci meja ke dalam ransel besar.             “WOI!” teriak Reygan keras. Ketiganya sontak menoleh dan langsung menyerang ke arah Reygan.             Meskipun Reygan bisa bela diri dan jago berkelahi, salah satu di antara ketiga orang tersebut curang terhadapnya. Saat Reygan lengah, orang itu mengeluarkan pisau dan menyabet perut serta lengan atas Reygan. Reygan jatuh berlutut dan meringis menahan sakit.             “Saksi mata harus dilenyapkan, bukan?” tanya si orang yang membawa pisau dan sudah melukai Reygan itu. Dia mengangkat tangannya, bersiap menghunuskan pisau itu ke arah Reygan.             Lalu, sebuah benda melesat seperti angin menuju tangan si orang tersebut. Reygan mengerjap ketika mengetahui benda itu adalah anak panah.             Itu artinya...             “Shirena?” panggil Reygan tidak percaya.             Shirena berdiri di ambang pintu sambil memegang busurnya. Anak panah itu sudah dipasangkan dan bersiap diluncurkan. Wajah dan tatapan Shirena sangat dingin dan tidak berbelas kasihan di kedua mata Reygan, membuat hati Reygan nyeri karenanya.             Nyeri karena Shirena benar-benar terlihat gelap. Mengunci sisi kemanusiaannya. Termakan oleh kegelapan, kekecewaan dan rasa sakit di hatinya. Cewek itu benar-benar akan tenggelam dalam dunia gelap itu dan tidak akan pernah kembali ke cahaya, kalau tidak segera diselamatkan.             Dan Reygan bersumpah, dia akan mengeluarkan Shirena dari sana!             “Pergi, sebelum gue lepasin anak panah ini ke d**a kiri kalian semua!”             Ketiga orang itu saling tatap dan bertahan. Saat Shirena kembali melepaskan anak panahnya kepada orang berbeda dan menancap di lengan atas dekat d**a kiri, cewek itu berkata, “Itu bukan meleset. Cuma kurang tenaga angin.”             Tidak mau berakhir mengenaskan di sini, ketiganya segera berlari dan melompat lewat jendela, bahkan tanpa membawa serta ransel berisi uang yang sudah mereka masukkan itu.             Sepeninggal ketiga orang jahat tersebut, Shirena menurunkan busurnya. Dia menatap Reygan dan tidak berkedip sama sekali. Reygan sendiri berusaha berdiri, menahan rasa sakit pada bagian perut dan lengannya.             “Lo luka?” tanya Shirena dingin.             Reygan tersenyum tipis dan mengibaskan sebelah tangan. “Bukan luka besar. Cuma sabetan doang, kok. Nggak usah khawatir, Ren.”             Alis Shirena terangkat satu. Cewek itu memasukkan busurnya ke tempatnya semula dan mendekati Reygan. Mendongak, menatap manik mata Reygan yang terlihat kaget, Shirena berkata, “Hutang gue lunas!”             Kening Reygan mengerut. “Hutang? Hutang apa maksud lo?”             Shirena diam. Cewek itu mengeluarkan sesuatu dari saku rok nya dan melilitkan benda tersebut di lengan Reygan yang berdarah.             Sapu tangan putih.             “Baiknya lo ke rumah sakit. Meskipun nggak besar, tapi lo tetap terluka. Gue malas berurusan sama pihak kepolisian, kalau misalkan lo kenapa-napa karena hal ini.” Shirena memutar tubuh dan pergi meninggalkan Reygan.             “Shirena!”             Seruan Reygan itu membuat langkah Shirena terhenti, tapi dia tidak memutar tubuhnya. Cewek itu membelakangi Reygan dan menunggu cowok tersebut berbicara.             Reygan merasa ini bisa disebut sebagai sebuah harapan, walau hanya sedikit saja. Shirena menolongnya, Shirena membalut lukanya, Shirena mengkhawatirkannya. Itu artinya, dia bisa mengeluarkan Shirena dari jurang kegelapan itu.             “Makasih, udah khawatir sama gue!”             Shirena menoleh sedikit melewati bahunya. Dia melirik Reygan yang tersenyum tulus dan lembut. Ada sedikit rasa asing yang mengusik hatinya, tapi Shirena cepat-cepat mengenyahkan rasa asing itu.             “Gue cuma balas hutang. Jangan mikir yang aneh-aneh!”             Apa pun itu, apa pun itu namanya, Reygan merasa Shirena khawatir kepadanya. Walau tidak sepenuhnya, walau tanpa disadarinya. Dan hal itu sudah membuat Reygan senang.             Dia senang Shirena masih mau berhadapan dengannya. ###              
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN