Beberapa detik terlewat dengan sangat mencekam. Gabriel melirik takut-takut ke arah sahabatnya dan Shirena. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terjadi pertumpahan darah. Gabriel kemudian berdeham dan kedua orang yang saling melempar bara kebencian itu menoleh ke arahnya.
Sensasinya ternyata sanggup membuat Gabriel merinding dan terkekeh aneh.
“Hai, Shirena. Lo masih ingat gue, kan? Kita pernah sekelas pas kelas tiga SMP dulu,” kata Gabriel mencoba memecahkan kesunyian mencekam itu. “Mmm... tadi, gue liat lo udah pulang sama cowok di sana, kenapa tau-tau balik lagi?”
Shirena meneliti fisik Gabriel. Cewek itu kemudian menarik napas panjang. “Ngambil barang penting yang ketinggalan,” ucapnya datar. “Gabriel, right? Gue ingat lo, kok.”
Setelah meladeni basa-basi busuk milik Gabriel, Shirena berjalan ke dalam gedung sekolah. Lima menit berselang, dia kembali dan rupanya Reygan juga Gabriel masih berdiri di tempat mereka semula. Merasa tidak perlu menegur apalagi berbasa-basi busuk seperti yang dilakukan Gabriel di awal, Shirena segera melewati keduanya.
Lalu, bisikan tajam itu terdengar.
“B*tch!”
Kalimat itu sanggup membuat langkah Shirena terhenti. Dia berdiri membelakangi Reygan, mengepalkan kedua tangan. Sakit bukan main. Hatinya seolah dihujam puluhan pisau. Meski Reygan orang lain baginya, tapi kalimat tadi benar-benar menusuk. Semua sakit fisik yang dialami Shirena sejak kecil, tidak pernah ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sakit hati yang menyerangnya bertubi-tubi sejak dulu.
“Woi, Rey,” bisik Gabriel serius. Bisikan yang terdengar langsung oleh Shirena. “Lo kelewatan, loh.”
Namun, Reygan bersikap masa bodoh.
Tidak mau berlama-lama berada di tempat ini, Shirena melanjutkan langkah. Cewek itu bertahan, tapi rasanya tidak melegakan. Sejak dulu, dia tidak pernah menangis. Semua rasa sakit hati dan sakit fisik itu diterimanya dengan hati beku, dengan wajah datar dan tatapan kosong. Tidak ada air mata. Tapi, kenapa sekarang matanya memanas? Kenapa dia justru ingin menangis kencang?
Apa karena... dia?
“Wo—woi,” bisik Gabriel lagi sambil menyikut lengan Reygan. Sekilas, dia bisa melihatnya. Melihat Shirena yang menyeka mata dari gerakan tangan cewek itu. “Dia nangis, loh.”
Serta-merta, Reygan menoleh. “Jangan bercanda!”
“Buat apa? Barusan, gue liat gerakan tangannya. Dia nyeka mata.” Gabriel menatap tegas Reygan. “Lo kelewatan barusan. Lo hina dia.”
Reygan kembali melihat ke arah gerbang. Shirena sepertinya sedang diinterogasi oleh cowok di atas motor Revo tersebut. Terlihat dari cara cowok itu menunduk untuk menatap wajah Shirena. Memperkuat ucapan Gabriel sebelumnya kalau Shirena... menangis.
b******k! Kenapa dia sekarang merasa sangat menyesal sudah mengeluarkan kata-kata menusuk itu?!
“Wah, Kak Shirena dijemput lagi sama Kak Septian.”
Reygan dan Gabriel serentak menoleh ke sumber suara. Di samping Reygan, Reyna berdiri sambil meminum jus apelnya. Merasa diperhatikan, Reyna menoleh dan mengerutkan kening. Heran dengan ekspresi kakaknya dan sang sahabat. “Bang Reygan sama Bang Iel kenapa, deh?”
“Dijemput lagi?” ulang Reygan dengan penekanan nada. “Berarti, Shirena pernah dijemut sama oknum bernama Septian ini sebelumnya? Cewek datar dan dingin itu punya pacar?”
“Hah? Pacar?”
Reygan mengangguk, sementara Gabriel mengusap dagu. Ada yang tidak sempurna dalam ingatannya. Sepertinya, ada sesuatu yang penting, yang hilang dari ceritanya pada Reygan mengenai Shirena. Sesuatu yang pernah Lili sebut-sebut.
Untungnya, Shirena punya kakak cowok yang baik hati. Selalu ada di sisi Shirena. Meskipun Shirena dibawa ayahnya dan kakaknya dibawa bundanya, tapi, Kak Septian selalu menginap di rumah ayahnya dan Shirena buat menghibur dan menemani Shirena. Bahkan, Kak Septian marah besar waktu nemuin bekas luka dari siksaan ibu tiri Shirena, sampai akhirnya, Kak Septian bawa Shirena ke rumah tante mereka dan keduanya tinggal di sana. Nggak peduli kalau ayah dan bunda mereka nggak setuju.
Seiring dengan jentikkan jari Gabriel yang baru saja mendapatkan pencerahan seperti seorang detektif, Reyna menggeleng. Serentak, tanpa disadari, Reyna dan Gabriel sama-sama berbicara.
“Itu kakaknya Kak Shirena.”
“Itu kakaknya si Shirena!”
Mendengar hal itu, Reygan terperangah. Dia kembali menatap ke gerbang sekolah, tapi motor Revo itu sudah tidak ada di sana. Dan Reygan tidak bisa berkelit dari hantaman rasa bersalah tersebut.
###
Seminggu semenjak kejadian di antara Reygan dan Shirena, dan cowok itu belum lagi bertemu langsung dengan Shirena.
Reygan menarik napas panjang dan menopang dagu. Dia menatap ke luar jendela. Hujan masih membasahi bumi. Kaca jendela di sampingnya berembun. Hawa dingin melingkupi kelas dan dia kembali menarik napas panjang.
“Bro, lo kayak mayat hidup.”
Sindiran Gabriel tidak dihiraukan oleh Reygan. Dia merasa bersalah, tapi enggan meminta maaf. Dia juga gengsi kalau harus mencari Shirena lebih dulu dan mengakui kesalahannya. Egonya terlalu tinggi, pun dengan harga dirinya. Apa yang nanti akan dibicarakan orang-orang, jika mereka mengetahui seorang playboy terkenal seperti dirinya merasa bersalah pada seorang cewek tak kasat mata, datar dan dingin, juga meminta maaf?
Bisa jatuh reputasinya nanti!
“Kalau ngerasa nyesal banget, temuin dia, lah. Minta maaf sama Shirena.”
“Gue? Minta maaf? Sama cewek? Mau ditaruh di mana muka gue, Iel?” tanya Reygan malas. Jam pertama harusnya sudah berjalan, tapi guru di kelas mereka yang juga merangkap wali kelas sekaligus Om dari Gabriel, belum muncul. Usut punya usut, hari ini adalah jadwal si siswa baru bergabung di kelas Reygan dan Gabriel.
“Lo masih mentingin muka lo itu? Jelas-jelas lo salah dan menyesal.” Gabriel berdecak dan menggeleng. “Gue nggak ngerti jalan pikiran lo, man. Gue juga sama nakalnya kayak lo, sama brengseknya, tapi, kalau gue salah ya gue akan mengakui dan meminta maaf.”
Reygan melirik Gabriel sekilas dan menarik napas lagi.
Saat itulah, Hendrawan, wali kelas sekaligus Om dari Gabriel memasuki kelas. Perhatian Reygan teralihkan sejenak. Di sana, di depan kelas, Hendrawan berdiri sambil tersenyum dan ditemani seorang cowok berkacamata dengan rambut hitam legam yang lebat dan sedikit memanjang mencapai tengkuk, sama seperti Reygan. Reygan menoleh sekilas untuk menatap Gabriel dan disambut dengan anggukan kepala oleh Gabriel.
Kira-kira, Reygan bertanya apakah cowok berkacamata yang kini menjadi topik bisik-bisik di kalangan para cewek kelasnya adalah si siswa baru dan dijawab dengan anggukan oleh Gabriel.
“Anak-anak, kenalkan... dia Mahesa Febrianto. Mulai hari ini sampai kalian sama-sama lulus, Mahesa akan bergabung dengan kelas ini.”
Cowok bernama Mahesa Febrianto itu mengangguk dan tersenyum ramah. “Nama gue Mahesa Febrianto. Kalian boleh panggil gue Esa. Mohon bantuannya.”
Di saat para cewek sibuk berkasak-kusuk membicarakan ketampanan Mahesa, di saat Hendrawan memberitahu tempat duduk Mahesa dan rupanya di belakang Reygan, dan di saat Reygan menatap malas cowok berkacamata itu, sesuatu yang keras berbunyi.
Lalu, kelas mendadak hening.
“Shirena?” gumam Reygan seraya mengerutkan kening. Gabriel juga sama kagetnya dan ikut menatap ke arah Shirena yang berdiri membeku di dekat pintu. Wajah cewek itu nampak sedikit pucat dan tubuhnya agak gemetar. Buku-buku tulis yang berhamburan di lantai adalah sumber dari bunyi keras beberapa saat lalu.
Mahesa menoleh dan nampak tersentak. Tak lama, cowok itu tersenyum dan menghampiri Shirena. Dia mengulurkan tangan kanan, menaruhnya di atas kepala Shirena dan mengusap rambut cewek itu lembut.
Selembut senyuman dan tatapan matanya saat ini.
“Long time no see,” sapa Mahesa dengan nada tulus. Nada suara yang selalu berhasil membuat Shirena tenang dan nyaman. Dulu. “My fairy.”
Reygan menggebrak meja dan berdiri. Ulahnya itu membuat Gabriel kaget dan mendongak, juga membuat seisi kelas menatap ke arahnya. Termasuk Mahesa dan Shirena. Shirena menatap Reygan dengan tatapan tidak mengerti, pun dengan Mahesa.
Tapi, Mahesa tidak lengah.
Dia merasa Reygan langsung membencinya entah kenapa. Karena, Reygan menatapnya dengan tajam juga dingin. Membuat Mahesa melirik Shirena sekilas dan kembali tersenyum.
Apa karena Shirena? Batin Mahesa.