Meminta Izin Menikah Lagi
"Ra .... "
Suara parau terdengar dari balik tubuhku yang berbaring mengarah ke dinding. Ranjang ini sudah lama terasa dingin. Aku diam, membiarkan kebisuan antara aku dan Mas Danu untuk kesekian kali. Mas Danu mencoba mengajak bicara. Berulang menegurku tanpa pernah mendapat sahutan.
Aku hilang akal harus menjawab apa. Tetap saja, ia mengajak bicara untuk membahas hal yang sama. Mencoba merayu agar aku setuju dengan niatnya untuk menikahi wanita lainnya. Dia pikir hatiku tidak sakit mendengarnya? Aku hancur, aku patah dan aku benar-benar terluka, seraya hatiku tersayat-sayat.
"Sayang .... "
Suara itu kembali terdengar, tapi kali ini lebih parau dengan sentuhan di bahu. Untuk sesaat aku memejamkan mata. Mencoba mengatur kata yang mungkin akan kusampaikan. Aku menghendaki perpisahan diantara kami, tapi dia menolak dengan tegas dan mengatakan sampai kapanpun aku tetap akan menjadi istrinya.
"Kenapa, Mas? Katakan saja," sahutku tanpa berbalik badan.
Aku takut tidak siap mendengar permintaannya untuk yang kesekian kali. Aku bukan boneka yang tidak memiliki perasaan. Lima tahun bukan kebersamaan yang singkat melewati hari bersama. Suka, duka, tangis dan tawa. Aku berusaha berbesar hati mengikhlaskan suamiku menikah lagi, tapi dengan satu syarat. Kami harus mengakhiri hubungan ini.
"Sayang, bisakah kita bicara baik-baik?" tanyanya.
Kali ini dengan sentuhan yang lebih terasa di bahu, lalu mengusapnya lembut. Aku menggigit bibir sendiri menahan perih, gejolak di dalam hati, amarah dan emosi kembali hadir memenuhi rongga d**a ini. Mencoba menarik napas beberapa kali melepas sesak yang semakin menjadi-jadi.
"Yura .... " panggilnya kali ini.
Aku beringsut duduk dan berbalik ke arahnya. Alis bertautan karena berusaha menahan berbagai rasa yang tidak dapat lagi kuungkapkan dengan kata-kata. Andai hatiku bisa terlihat mungkin tidak karuan lagi bentuknya.
"Mas... Aku, aku nggak tau harus bicara apa lagi sama kamu. Aku sudah bilang berulang kali. Aku nggak masalah kalau kamu mau menikah lagi, tapi tolong sudahi hubungan ini."
Mas Danu langsung menghambur memelukku.
"Ra, kamu tau ini bukan keinginanku. Bukan Sayang! Aku hanya tak sanggup melihatmu terus disakiti oleh Papa." ucapnya dan itu mampu membuatku terisak.
Ya, Ayah mertua memang selalu berusaha menumbangkan aku dengan kalimat-kalimat pedasnya. Bukan hanya sekarang, tapi sejak dulu. Setelah mama meninggal, ia terus saja berusaha menumbangkan mentalku dengan cara menghina, merendahkan dan terus memojokkan aku.
"Dasar mandul! Kalau aku tau kamu nggak bisa punya anak, aku tidak akan pernah setuju dengan pernikahan kalian! Sebagai wanita seharusnya kamu tahu dirilah, jangan pernah melarang suamimu untuk menikah lagi. Sukur-sukur Danu masih mau menampungmu di rumah ini!" gertaknya saat itu.
Sungguh hati ini bagai di hujam ribuan pisau mendengar itu. Aku dan Mas Danu dinyatakan sehat, dan tidak mandul. Bahkan kami sudah menyerahkan buktinya kepada Papa. Namun, hingga kini Papa masih menganggap kalau akulah yang bermasalah. Kami sudah berusaha menjelaskan, tapi Papa masih tidak percaya. Meskipun begitu, aku masih berusaha bertahan, karena kami saling mencintai. Aku berusaha sabar menghadapi sikap Papa.
Katanya, Mas Danu ingin menikah lagi semata-mata hanya ingin menyenangkan hati Papa. Karena selama Mas Danu tidak menuruti perintahnya, Papa akan terus berusaha memisahkanku dengan anak semata wayangnya ini. Mencaci makiku setiap hari dan terus berusaha menyerang batinku supaya menyerah lalu meninggalkan Mas Danu begitu saja.
Aku, Yura Pratiwi. Menikah di umur sembilan belas tahun karena Mas Danu langsung melamar saat aku lulus SMA. Tanpa pertimbangan aku langsung menerima, karena aku sudah kenal siapa Mas Danu yang sebenarnya. Pria berkumis tipis ini sangat menyayangiku. Matanya yang sayu selalu bisa memberi keteduhan hatiku.
Lalu bagaimana aku bisa menolaknya ketika ia menyatakan keseriusannya terhadapku.Meskipun umurku baru sembilan belas tahun, tapi aku yakin Mas Danu mampu membahagiakanku. Kuserahkan hidup dan hatiku padanya hingga akhirnya aku bersedia menjadi istrinya. Kini, ketika pernikahan kami sedang diuji, bagaimana bisa aku langsung menyerah dan melepaskan suamiku begitu saja? Tidak, kami saling sayang, kami saling cinta, rasanya aku pasti bisa melewati ini semua. Sayang, itu keinginanku sebelum Mas Danu mengatakan akan menikah lagi secepatnya.
"Mas, ceraikan aku," ucapku lirih.
Mas Danu semakin mempererat pelukan. Kemudian sedikit menarik napas. Aku tahu ini bukan hal mudah baginya. Mas Danu menghujani wajahku dengan ciuman diiringi air mata yang mengalir deras. Sesaat dia memandang. Membuat separuh jiwaku pergi melihatnya seperti ini.
Haruskah aku mengikhlaskan suamiku menikah lagi. Lalu, apakah aku siap menjalani hari-hari dengan wanita lain. Melihat kemesraan mereka, melihat sikap manja istri keduanya nanti. Melihat perhatian Mas Danu yang pasti terbagi. Apalagi jika dia mampu memberikan Mas Danu keturunan.
"Jangan cerai, Sayang. Please ... Aku mohon sama kamu, aku bisa mengabulkan semua keinginan kamu, asal jangan perpisahan kita," Mas Danu mengiba. Duduk lesu dengan wajah tertunduk.
Kedua tangannya kini menggenggam tanganku erat. Aku melepas perlahan kemudian beringsut turun dari ranjang, berjalan ke arah balkon dan membuka jendela.
"Mas, jika tidak berpisah. Bagaimana caranya hati ini bisa berbagi rasa dengan perempuan itu. Rasa cintamu, kasih sayangmu. Semua rasa yang kau beri bukan hanya untukku lagi, tapi ada wanita lain yang juga menerima semua itu."
Aku menghapus beberapa titik air mata yang menetes seiring kalimat yang yang terlontar dari bibir tipis ini.
Udara dingin dari luar menambah bekunya hati. Aku hidup, serasa mati. Bagaimana nanti jika semua itu benar terjadi. Tuhan, di mana keadilan untukku? Apakah aku masih berhak bahagia? Ketika separuh hatiku ada pada Mas Danu, jika kami berpisah pasti ada yang kurang dalam hidup. Namun, jika aku bertahan harus siap dengan risiko-risiko yang akan datang.
Mas Danu memeluk dari belakang dia meminta maaf berulang kali.
"Maaf, Sayang," ucapnya lirih.
"Apa Mas sudah menemukan siapa orang yang pantas berbagi suami denganku?"
Mataku terpejam, sesungguhnya hatiku tak sanggup bertanya tentang ini.
"Namanya Ema," sahut Mas Danu.
"Berapa umurnya?" lirih kuucapkan sembari menahan perih.
"23 tahun, Sayang .... "
Aku melepaskan pelukan dan keluar ke balkon rumah. Aku berteriak sekuat tenaga karena sesak semakin memenuhi hati. Mas Danu segera berlari mendekatiku dan memaksa memeluk tubuhku.
"Sayang, tenanglah. Mas berjanji tidak akan menyentuhnya, kita akan menganggapnya sebagai adik saja. Yang penting Papa berhenti menyakitimu, "
"Bagaimana bisa kau tidak menyentuhnya, Mas! Dia masih muda, suatu saat kau pasti akan tergoda. Mengapa dia mau Mas ajak menikah, apa alasannya?" cecarku pada Mas Danu dengan deraian air mata.
Bukan hanya hati ini yang tersiksa. Aku yakin, perempuan itu juga pasti akan merasakan hal yang sama jika nanti mereka benar-benar melakukan ijab dan sah berbagi suami denganku.