Setelah menyelesaikan sesi pelajaran dan bermain bersama, tiba saatnya Humaira beraktifitas bebas.
“Humaira, Bibi pulang dulu, ya?”
Hana duduk di sofa, tempat dimana Humaira sedang menggambar sketsa.
“Hmmmmm,” gumam Humaira seraya menggeleng. Tapi, jemari lentiknya terus menari di atas layar ipad dengan lincah.
“Kenapa?”
“Humaira mau Bibi ada disini terus.”
“Humaira,” lirih Hana sambil mengusap rambut bergelombang milik anak tersebut.
“Tolong Bibi!”
“Hmmmm bagaimana kalau Bibi buatkan makan siang untuk Humaira?”
Anak cilik itu menghentikan aktivitasnya lalu mendongak dan hanya membeku.
“Humaira suka apa?”
“Humaira suka ayam suwir sama sop!”
Sorak anak itu dengan lantang seolah kebahagiaan begitu terpancar di wajahnya.
“Baiklah, Bibi buatkan, oke?”
“Oke!”
Humaira mengacungkan jempol dan tersenyum lepas. Ia meninggalkan sejenak hobinya menggambar di atas ipad. Setelah itu, Hana menarik tangan Humaira.
“Ayo! Tunjukkan Bibi dimana dapurnya,” pinta Hana.
“Ayo, Bi!”
Kini Humaira membimbing tangan Hana dengan berjalan di depan. Saat mereka melewati Laila yang tengah memperhatikan dari jarak jauh, Hana menunduk.
“Bi, saya pinjam dapurnya, ya?”
“Oh! Silakan, Nona.”
Laila mempersilakan dengan ramah. Sesuai pesan Aryan bahwa pelayan dan pekerja di kediaman Kartawijaya harus bisa melayani Hana sebagaimana melayani putri kecilnya.
“Gunakan yang ada di rumah ini sesuka hati, Nona.”
“Eh?”
Hana terkesiap. Ia memandang Humaira, sementara anak itu cekikikan seolah menertawai hal aneh.
“Ayo, Bi! Humaira mau lihat Bibi masak, yeay!”
Hana menggeleng pelan sementara bibirnya tak berhenti tersenyum.
Hana mulai memakai apron, begitu pula ia membantu gadis cilik disana mengenakan hal yang sama. Waktu berlalu, Hana begitu lihai menggunakan peralatan dapur serta alat memasak, ia terbiasa karena hidup di panti. Dalam kegiatan memasak itu, Hana banyak melibatkan Humaira agar si kecil pun terbiasa. Setidaknya, ia tahu alat-alat dapur dan kegunaannya.
Sepanjang waktu, banyak canda tawa, keceriaan dan gurauan yang tercipta. Diam-diam Laila mengabadikan momen tersebut. Senyum terbit di bibir Laila yang mulai keriput.
‘Alhamdulillah, semoga Non Humaira bisa selalu tertawa seperti ini.’
Send!
Laila mengirimkan momen tersebut kepada seseorang.
Lima belas menit berlalu. Hidangan siap. Laila menghampiri meja makan lalu menghidu aroma masakan yang begitu lezat. Sesekali ia melirik Hana dan Humaira bergantian.
“Nona Hana pintar masak, ya?” puji Laila tersenyum.
“Ah! Ga juga, kok, Bi. Saya cuma bisa masak masakan nusantara saja.”
Hana tersipu malu.
“Bibi, boleh Humaira makan?”
“Oh! Tentu saja!”
Hana lantas menyiapkan piring lalu menyendok nasi serta lauk yang telah dimasak. Raut wajah penuh kebahagiaan terpancar dari Humaira, begitu pun Laila.
‘Nyonya, perempuan ini sangat mirip denganmu.’
Humaira mengecap seraya memandang Laila penuh haru. Tanpa sadar, Laila dan Humaira saling memandang.
“Ya Allah!” seru Hana seketika melihat jam tangan.
“Kenapa Bi?” tanya Humaira.
“Kenapa Non?”
“Saya harus pergi,” ucap Hana.
“Bibi mau kemana?” tanya Humaira polos dengan mulut penuh.
“Bibi harus antar makan siang untuk … suami Bibi.”
Sambil mengunyah Humaira memberengut. Wajahnya tertunduk dan hanya fokus pada makanan di piring. Laila yang melihat perubahan ekspresi Humaira begitu kontras, akhirnya membujuk.
“Sayang, besok Bibi Hana kesini lagi, ya?”
Laila merangkul bahu Humaira dari belakang. Dan saat itu, baik Laila dan Hana melihat Humaira mengangguk pelan.
“Terima kasih, Sayang.”
Hana mengecup puncak kepala Humaira lalu mengusapnya dengan lembut. Kemudian pandangan wanita itu tertuju pada Laila.
“Bi, tadi saya masak lebih … apa boleh saya bawa sebagian?”
Tanpa rasa malu, Hana meminta lauk yang telah ia masak untuk Humaira dan keluarga Kartawijaya.
“Oh, tentu! Saya sudah bilang bukan, gunakan yang ada di rumah ini sesuka hati, Nona.”
Laila lagi-lagi tersenyum.
“Terima kasih, Bi.”
Hana berpamitan.
Saat waktu makan siang, Hana menuju kantor Axel untuk mengantar bekal. Hal yang wajib ia lakukan, walau usahanya tak pernah dilihat oleh sang suami.
Di tempat lain, dalam sebuah perjalanan. Seorang pria memandang layar ponselnya dengan senyum yang bersinar. Betapa tidak, kebersamaan sang buah hati dengan wanita yang menarik perhatian pada pandangan pertama membuat jantungnya berdebar kencang.
‘Sayang, maafkan aku karena telah menyukai perempuan lain.’
Dari balik kaca spion, Vito melihat wajah Aryan yang terus tersenyum.
“Kayaknya suasana hati tuan sedang bagus, ya?”
Aryan berdehem lalu menaruh ponsel di balik jasnya.
“Jangan sok tahu!” ketus Aryan menutupi perasaanya. Vito terus mengemudikan mobil menuju kediaman Kartawijaya. Setiap siang, Aryan selalu kembali ke rumah untuk makan bersama putri kecilnya. Saat memasuki gerbang, ia melihat Hana berjalan kaki membawa rantangan.
“Vito, berhenti!” pinta Aryan.
Tak lama, kaca mobil diturunkan.
“Nona Hana, mau saya antar?”
Hana yang tengah tertunduk lantas mendongak. Ia baru sadar bahwa ada mobil yang berhenti tepat di sampingnya.
“Eung?”
Aryan menatap wajah teduh wanita itu. Sementara Hana kebingungan. Bagaimana mungkin bisa menerima tawaran pria lain untuk mengantar bekal ke kantor suaminya?
“Ada Vito yang menemani perjalanan kita.”
Aryan tahu bahwa Hana pasti canggung jika hanya berdua.
“Tapi—”
“Tolong jangan menolaknya,” pinta Aryan.
Vito turun lalu membukakan pintu penumpang di sisi Aryan. Mau tak mau, Hana pun masuk. Mobil itu akhirnya berbalik arah.
“Mau kemana, Nona?” tanya Aryan.
“Oh!”
Hana menoleh, ragu.
“Dewadaru Group.”
Mendengar kalimat itu, Aryan hanya berdehem lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sekali lagi, ia melirik rantangan yang ada dipangkuan Hana. Tak perlu ditanya, Aryan sudah tahu maksud kedatangan wanita itu.
‘Kenapa rasanya aneh.’
Aryan bermonolog tentang debar jantungnya yang membuat tak nyaman.
***
Dewadaru Group
Suara deru nafas saling bersahut.
Dua anak manusia tak lagi tahu dimana posisi mereka berada. Di atas kursi kebesaran, terlihat sepasang pria dan wanita tengah berpangkuan dengan peluh bertebaran, memadu kasih seolah dunia hanya milik berdua.
“Babe,” gumam lirih dari bibir merah wanita disana.
“Sebentar, Sayang.”
Pria itu bergerak dengan irama yang mantap seraya mendongak, seolah merasakan sensasi kepuasan diluar ekspektasi. Dimana, suatu hal yang tak bisa didapatkan dari sang istri.
“Kamu benar-benar membuatku gila, Valerie!”
“Pelan-pelan, Sayang. Ah!”
“Rasanya aku mau gila, Valerie!”
“Yes! I know! Please, Babe!
Dengan pakaian compang camping serta rambut wanita yang terus menari-nari diatas seiring dengan irama pergerakan mereka, membuat dua anak manusia itu tak sadar bahwa seseorang sejak tadi telah membeku.
‘Ya Allah.’
Rasanya begitu sesak. Wanita berhijab itu pun menaruh rantangan yang ia bawa ke lantai lalu mundur tanpa suara. Ia membekap mulut serapat-rapatnya. Setelah keluar dari ruang panas itu, Hana berlari sekencang-kencangnya.
“Nyonya, mau kemana?” tanya salah seorang pegawai Dewadaru yang begitu mengenal sosok Hana.
Tak menghiraukan panggilan itu, Hana terus saja berlalu. Air mata sudah berlinang. Ia tak lagi peduli seberapa banyak para pegawai Dewadaru yang mengamati tingkah lakunya yang mencurigakan. Ia terus berlari pelan, melewati lift lalu keluar dari pintu lobi utama. Hana menuju sudut gedung, di balik tiang besar ia berdiri, bertumpu pada tiang tersebut. Isak tangis yang hampir membuatnya tak bisa bernafas, akhirnya tumpah tak tertahan. Hana menangis sambil membekap mulutnya. Kaki dan tubuhnya bergetar ketika mengingat dengan jelas sang suami bercinta dengan wanita lain.
“Hiks! Hiks! Hiks!”
“Kamu baik-baik saja?”
Hana mendongak.
***