Nanda menunggu di balik meja dengan cangkir kosong dihadapan nya. Raut wajah masam nya tertutupi topi yang dia kenakan. Pandangan mata yang selalu melihat nya setelah dia memasuki café membuat nya risih. Apalagi dengan Gilang yang tidak kunjung datang setelah dia menunggu satu jam lebih. Nanda berdecak, dia menutupi rok di atas lutut nya dengan tas saat dia melihat sekelompok laki-laki berseragam SMA di sudut menyeringai ke arah nya. Dia mendongak. Menatap tajam salah satu di antara mereka, tapi disuguhi suara tawa ramai sebagai balasan nya.
Nanda mengangkat alis nya saat salah satu dari mereka menghampiri meja nya. Duduk di depan nya sambil tersenyum dan menyodorkan ponsel nya pada Nanda. “Hp lo buat gue?”
Dia tertawa. Menyisir rambut gondrong nya kebelakang, menumpukan tangan nya di meja setelah menaruh ponsel nya di hadapan Gilang, lalu menatap Nanda. “Nama gue Rizal.”
“Gue nggak tanya.” Nanda menyahut ketus.
“Boleh minta no WA lo?” Rizal masih tidak menyerah.
“Nggak.”
“Id line?”
“Nggak.”
“i********:?”
“Nggak.”
“Terus yang boleh apa?”
“Nggak ada.”
“Lo SMA mana?” Rizal bertanya. Mata nya masih jelalatan menatap wajah Nanda yang tertutupi topi. Merasa tak mendapat jawaban, Rizal bertanya lagi. “Atau SMK? SMK yang sering ada cewek nya cuman SMK gue, Veteran. Lo sekolah disana?”
“Lo nggak mungkin masih SMP kan?” Nanda berusaha menahan tawa nya.
“Hei-.”
“Gue udah lulus.” Nanda menjawab. Dia menegakkan pinggang nya, bertombang dagu dengan tangan sebagai tumpuan nya. Dia menatap Rizal jenaka saat laki-laki di hadapan nya kebingungan.
“Lulus SMP?”
“SMA.”
“Huh?”
“Denger ya, dek. Gue nggak tertarik sama orang yang lebih muda dari gue. Nggak dewasa. Terus apa-apaan rambut lo ini? Bukan nya anak SMK harus lebih tau tata tertib ya?” Nanda menunjuk rambut Rizal dengan dagu nya.
“Jangan lo pikir lo bisa bohongin gue.”
“Guna nya apa gue bohongin lo?”
“Biar gue nggak deketin lo.”
“Gue udah bilang gue nggak doyan orang yang lebih muda dari gue.”
“Nggak mungkin cewek sependek lo udah lulus SMA.”
Nanda memejamkan mata nya, dia memijat pelipis nya pelan. “Apa hubungan nya tinggi badan sama pendidikan gue?!”
“Minggir nggak?! Gue marah ini!” Nanda menatap nya tajam. Mengusir nya. Rizal menurut, tidak memprotes dan kembali ke meja nya semula. Jika Nanda tidak ingat akan janji nya dengan Gilang, mungkin dia sudah pergi dari sana.
Suara kursi berderik disebelah nya mengharuskan nya untuk menoleh. Mendapati Gilang sudah duduk nyaman disana sambil menatap nya. Dia mengenakan celana jins hitam dengan atasan kaos putih dan kemeja flanel corak merah sebagai luarannya. Nanda tidak menyangkal jika Gilang mengaku seumuran dengan nya. Dia cocok dengan pakaian yang dia kenakan sekarang.
“Sorry. Gue-“ Belum selesai bicara, Nanda berdiri, menendang tulang kering Gilang sebelum berjalan cepat menuju pintu keluar, melewati kelompok SMA yang terus terusan menatap nya sedari tadi. Meninggalkan Gilang yang masih duduk di kursi nya dengan pandangan mengikuti pergerakan Nanda.
Dia tertawa.
Berlari kecil, Gilang keluar menyusul Nanda. Berjalan di belakang nya. Memperhatikan wajah kesal Nanda yang menengok kepada nya berkali kali walau kaki nya tidak berhenti melangkah.
“Nan.” Gilang memanggil. Tidak ada jawaban.
“Nanda.” Masih tidak ada jawaban. Gilang berjalan lebih cepat, mendahului Nanda dan berbalik menghadap Nanda, berjalan mundur. “Nanda.” Gilang memanggil lagi.
“Maaf, kamu kenal saya?” Nanda berucap ketus. Dia mempercepat jalan nya, melewati Gilang yang memang berjalan pelan karena takut salah langkah. Berlari menyusul, Gilang mencekal lengan Nanda. Mendapat tepisan kasar dan tatapan tajam dari Nanda. “Mas, jangan pegang saya sembarangan dong.”
Nanda berjalan lagi. Gilang menyeret Nanda berbalik menuju ke parkiran café. Mengabaikan berpuluhan mata yang menatap mereka aneh karena Nanda masih tetap memberontak. Saat sudah sampai di depan mobil, Gilang melepas cekalan nya. Menatap Nanda yang terus menyorot nya tajam sedari tadi. Dia mendesis pelan. “Gue nunggu sejam!”
Merasa bersalah. Gilang menyentuh pipi Nanda, mengelusnya dengan ibu jari pelan, menenangkan nya. Wajah Nanda yang biasa nya tanpa make up kini terpoles bedak tipis dan lipstik merah muda. Gilang cukup terkejut saat datang dan melihat Nanda memakai rok di atas lutut bewarna blue soft dengan kaos putih longgar lengan pendek bergambar micky mouse yang sengaja dia masukkan kedalam rok.
“Gue diliatin sama orang nggak jelas sedari tadi! Malu tau gak!” Gilang mengambil topi di kepala Nanda, merapikan rambut nya yang terurai sedikit berantakan.
“Pas gue balik tatap, dia nya malah ketawa.” Gilang tersenyum. Membiarkan Nanda mengeluarkan rasa kesal nya.
“Harusnya gue nggak ngikutin saran Tsuki buat pakai rok tadi.” Nanda menggenggam rok nya. Sesekali menarik nya ke bawah, berharap rok yang dia pakai bisa menutupi lutut nya.
“Jadi,-“ Nanda menggantungkan ucapan nya. Dia menatap Gilang, sedikit lembut, daripada pelototan aneh nya. “Ada pembelaan?!”
***
Pertengkaran berakhir semenit kemudian setelah Gilang menawarkan akan membawa nya taman bermain. Gilang hanya menatap ke depan gugup. Dia menghela nafas berkali kali. Gilang menoleh ke samping, Nanda masih di sebelah nya dengan cone es krim di tangan nya. Mata Nanda menatap keseliling, berpikir wahana mana lagi yang akan dinaiki nya.
Gilang harusnya tidak mengajak Nanda kemari tadi. Dia tidak tau jika Nanda menyukai wahana ekstrim dan mengajak –memaksa- nya menaiki wahana bersama walaupun Gilang sudah menolak berulang kali. Selain takut karena tidak bisa menyelamatkan nyawa orang lain, ini adalah ketakutan nya yang lain.
“Laper.” Oh, good. Baru kali ini Gilang menghela nafas lega setelah mendengar kata yang keluar dari bibir Nanda. Nanda lapar, berarti tidak ada wahana dalam dua jam ke depan.
“Makan apa?” Gilang berdiri, merapikan rambut nya, bersiap berjalan. Nanda mengikuti nya, dia berjalan terlebih dahulu, “Takoyaki.”
“Sosis.”
“Bakso.”
“Mie ayam.”
“Gulali.”
“Permen kapas.” Nanda terus bergumam makanan. Mata nya melihat ke samping, bagian warung makanan yang berjejer. Dia terus menggumamkan takoyaki. Menatap plakat di depan warung dengan cermat.
“Ah, bakso.” Nanda menarik tangan Gilang memasuki warung bakso. Duduk di kursi yang sudah disediakan dan membiarkan Gilang yang memesan. Gilang menurut, dia memesan dan menghampiri Nanda yang menyengir pada nya. Gilang mengusap kepala Nanda pelan sebelum duduk di kursi samping Nanda. Menatap Nanda yang sudah berfokus dengan foto mereka yang ada di ponsel Gilang di tangan nya.
Gilang yang meminta nya. Dia ingin mengabadikan kebersamaan mereka. Minuman mereka sudah datang, Gilang tersenyum sopan pada karyawan sebelum menyeruput es teh nya.
“Abis ini mau naik wahana yang mana?” Gilang tersedak. Dia menatap Nanda, masih terbatuk batuk. Dia tidak salah dengar kan tadi?
“Gue pengen naik kora-kora lagi.”
“Lo bisa muntah nanti.”
“Perut gue enggak sensitif.” Perut gue yang sensitif!
“Enggak, yang lain.”
“Nggak ada, cuman pengen naik itu.”
“Terserah.” Gilang menyerah. Biarlah, Nanda mau naik apa dia tinggal beralasan sakit perut dan meninggalkan Nanda menaiki wahana nya sendiri. Nanda menoleh, dia menatap sekilas pada Gilang, memberikan ponsel nya. “Atau bianglala.”
Gilang tersenyum, dia memakai kan topi Nanda yang sedari tadi tersemat di pinggang nya. “Gue bulan depan daftar kuliah.” Nanda mulai bercerita, Gilang hanya menatap nya, mendengarkan.
“Gue nggak tau mau ngambil jurusan apa. Tapi Tsuki ngajak gue di jurusan kedokteran, nemenin dia kata nya. Gue iya in, lagian gue masih nggak tau mau ngambil apa.”
“Lo bilang nggak berani tanggung jawab sama nyawa orang lain.” Gilang menyela.
“Ya kali gue harus nunggu satu semester lagi, enggak kan.”
“Gue kuliah di kampus nya abang Erik dulu.”
“Gue juga.” Gilang bergumam. Nanda menoleh, “Huh?”
“Gue mau lanjut kuliah.”
Nanda sumringah. “Di kampus bareng gue?”
“Oxford.”
“Huh?” Nanda menatap nya bingung. Dia sudah berspekulasi di otak nya.
“Gue ngajuin beasiswa disana. Gue diterima, dan gue diberitau kemarin.”
“Lo udah dapet s1 lo.”
“Gue mau lanjut s2.”
“Kerjaan lo?” Nanda mencicit. Dia menatap Gilang nanar.
“Disana. Gue lanjut kerja disana, gue udah ngirim pengajuan dan mereka setuju.”
“Berapa tahun?”
“4 tahun.”
“Lama banget.” Nanda merengek. Menghela nafas, Gilang membalikkan tubuh nya menghadap Nanda. Mengambil tangan Nanda dan dia mainkan di kursi nya.
“Gue berangkat besok.” Gilang bergumam. Hati nya mencelos saat air mata jatuh di pipi Nanda.
Pemberitauan nya terlalu mendadak. Pihak universitas memang masih memberi nya waktu satu bulan, tapi tidak dengan pihak rumah sakit tempat dimana dia akan melanjutkan pekerjaan nya nanti. Mereka hanya memberi nya waktu 4 hari. Dan jika Gilang tidak segera kesana, posisi nya akan di ambil alih orang lain.
“Pendaftaran masih ada satu bulan.”
“Pihak rumah sakit minta gue segera kesana.”
“Nggak usah kerja, lo fokus sama pendidikan lo aja.”
“Gue baru dapet lisensi, kalau nggak kerja kemampuan gue nanti menurun. Gue butuh pengalaman, Nan.” Gilang mencoba memberi pengertian. Dia tidak mungkin tidak mengambil kesempatan bekerja di rumah sakit dengan lisensi yang sudah dia dapatkan setahun terakhir.
“Lo bisa tetap hubungin gue kan?” Nanda bertanya. Gilang mengangguk, “Sebulan ke depan? Iya.”
“Bulan selanjutnya?”
“Gue harus bagi waktu antara kerja sama kuliah gue. Gue nggak yakin bisa hubungin lo.” Gilang membantu Nanda menghapus air mata nya. Menatap mata nya dalam, “Gue mau fokus sama cita cita gue.”
Bakso yang sudah di antar sudah tidak memperlihatkan uap nya lagi, Nanda yang tadi menangis sesegukan kini sudah lebih tenang. “Jadi, Nan… gue mau berhenti berhubungan sama apapun yang berhubungan sama lo.” Gilang berbisik. Nyaris tak bersuara. Mata nya kampir berkaca kaca saat melihat Nanda terdiam dengan mata yang tersorot pada nya.
“Lo anggep gue pengganggu?” suara Nanda terdengar serak. Tangan Gilang hendak meraih pipi Nanda. Tapi Nanda menepis tangan Gilang kasar, menolak untuk disentuh. “Gue cuman mau fokus sama apa yang gue kerjain nanti.”
“Lo anggep gue alesan kenapa lo nggak fokus?”
“Gue nggak bisa fokus kalau dipikiran gue cuman ada lo.”
“Lo nanti malah suka sama cewek lain disana.”
Gilang tersenyum, “Gue pastiin hal kayak gitu nggak bakalan terjadi.”
“Gimana kalau gue yang suka sama laki-laki lain?”
“Gue tinggal ngerebut lo. Buat lo suka sama gue lagi. Tunggu gue, 4 tahun lagi, gue pasti balik ke lo.”
***