Tiga hari berlalu sejak kejadian itu. Semua korban sudah ditemukan, dan besok adalah hari terakhir Nanda disana. Relawan sudah diperbolehkan pulang setelah membantu meratakan tanah di kejadian, memastikan tempat disana sudah layak untuk di tempati.
Nanda sedang berkumpul bersama relawan lainnya saat dia tidak sengaja melihat Gilang berjalan cepat melewati nya, mungkin menuju ke markas dimana masih ada korban yang mengeluh sakit. Gilang baik baik saja. Dia tetap menyapa nya seperti biasa, selalu memperhatikan nya di lokasi walaupun dia sudah dipindah paksa ke pos satu oleh Rian. Walau terkadang Nanda masih sering memergoki nya menangis di markas saat hari sudah mulai gelap.
“Nan?” Nanda menoleh. Mendapati si gadis Jepang yang berdiri membelakangi nya. Meminta nya mendekat. Nanda berjalan mendekat, tinggi nya yang hanya sebatas dagu Tsuki mengharuskan nya untuk mendongak. “Ada apa?”
“Nggak pa-pa?”
“Huh?”
“Gue tanya lo, lo nggak pa pa?” Tsuki menelisik mata Nanda. “Orang yang kehilangan korban nggak cuman dokter Gilang, lo ada disana juga.” Mata Nanda berkaca kaca, dia terisak. Dia sudah takut setengah mati, apalagi Gilang yang mulai mengurung diri nya sendiri dengan terus berada di markas. Dia seperti tidak punya penompang. Hati nya sudah berdenyut luar biasa bahkan hanya saat memikirkan nya sekilas.
Ini pengalaman pertama nya, dan dia sudah mengalami hal seperti ini.
Nanda ingin mengeluh, namun tidak ada orang yang dia kenal disini. Dia ingin menangis kencang, mengatakan jika dia juga terluka. Dia berusaha menahan nya, bersikap baik baik saja dan selalu bekerja keras menjadi relawan yang layak. Lalu saat Tsuki menanyakan bagaimana keadaan nya, pertahanan nya runtuh. Dia tidak baik baik saja. Hati nya bahkan sakit saat membantu Rian menyiapkan pengobatan di lapangan. Dia tidak ingin hal yang sama terulang kembali.
“Sakit.” Nanda merengek. Pipi nya sudah penuh oleh air mata. Nanda mendongak, menatap Tsuki yang baru dikenal nya beberapa hari yang lalu. Menghela nafas, Tsuki maju selangkah, memeluk Nanda pelan. Dia tidak mengatakan apapun. Tidak mengolok Nanda seperti biasa nya. Tsuki lebih memilih diam malam ini, menepuk pundak Nanda pelan menenangkan nya.
***
Jam 9 pagi.
Para relawan sudah berbaris dengan tas di punggung mereka. Bus besar sudah menanti mereka di depan, bersiap mengantar mereka kembali ke tempat pertemuan semula. Nanda harus rela berpisah baris dengan Tsuki karena tinggi mereka yang kontras, memaksa Nanda yang lebih pendek untuk berbaris paling depan. Ketua tim mengatakan akan sulit mencari nya jika dia hilang.
“Tidak ada yang ketinggalan?” Arlan mengangkat tangan nya saat ketua tim bertanya. Beliau hanya menatap nya, menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya. “Hati saya ketinggalan pak!”
Ketua tim berbalik. Seharusnya dia sudah hapal dengan kelakuan mahasiswa semester tiga itu, terlalu banyak candaan. “Kamu bisa tetap disini kalau begitu.”
Arlan gelagapan. Relawan lain hanya tertawa melihat tingkah nya.
Dokter medis yang membantu ikut berkumpul di samping ketua tim. Mengajak nya bersalaman lalu undur diri menuju mobil yang sudah menanti mereka. Salah satu dari mereka bahkan tidak menatap Nanda sama sekali. Nanda mencelos. Dia sedikit sakit hati dengan perlakuan Gilang. Dia seperti tidak menganggap nya ada.
“Ah, pak!” Nanda yang tadi menunduk kini mendongak. Menatap lesu ke depan dimana Gilang sedang bicara dengan ketua tim. “Boleh saya bawa Nanda?”
Nanda mengulum senyum. Dia menoleh kebelakang. Tersenyum lebar menampakkan gigi putih nya pada Tsuki. “Boleh saya bawa Nanda sama saya?” Nanda serasa ingin terbang sekarang. Dia senyum tertahan. Ketua tim hanya mengangguk mengiyakan. Nanda mengangkat tangan nya. “Boleh saya bawa temen saya? Cuman satu pak. Kasian dia kalau disini sendiri.”
“Siapa?” Nanda berbalik, menerobos cepat barisan menuju paling belakang. Menyeret paksa Tsuki yang bertampang malas di samping nya. “Sizu?”
“Tsuki, pak!”
“Tsukisima Sizu. Mau kamu bawa kemana anak saya?”
“Huh?” Nanda cengoh. Apa yang ketua tim katakan pada nya tadi? Anak?
“Dia anak saya.”
“Huh?”
“Tampang saya gini, saya masih keturunan Jepang.” relawan lain tertawa. Mereka sudah cukup dekat satu sama lain. Bekerja bersama selama 5 hari membuat mereka menjadi lebih terbuka.
“Lo nggak nyadar?”
“Huh?”
“Waktu lo manggil Tsuki, ketua tim otomatis noleh. Dia kira lo manggil dia.” Arlan. Tertawa dengan segala ucapan frontal nya. Wajah Nanda memerah. Dia menatap ke depan. Ketua tim menatap nya dengan tangan terlipat di d**a dan tersenyum pada nya. Lalu tatapan nya beralih ke Gilang. Dokter itu bahkan tidak menatap nya sama sekali karena sibuk menyamarkan tawa nya dengan batuk ringan.
“Beneran bapak lo?” Nanda berbisik. Tsuki mengangguk. “Dia yang ngajak gue kesini.”
“Kenapa enggak bilang!!” Nanda merengek, dia menatap Tsuki dan ketua tim secara berlebihan. Jangan salahkan Nanda jika dia tidak tau. Wajah mereka bahkan tidak ada kemiripan sama sekali!
***
Nanda masih bungkam. Dia ada di mobil Ambulans dengan Gilang disamping nya. Tsuki ada di depan nya bersebelahan dengan Rian. Posisi mereka yang berhadapan membuat Tsuki bisa melihat wajah Nanda yang berusaha dia tutupi. Nanda malu. Dia bahkan tidak bicara sama sekali setelah satu jam melewati medan yang berat.
“Nan?” Gilang memanggil. Nanda merapatkan mata nya. Berpura pura tidur.
“Nanda?” Nanda semakin merapatkan mata nya, dia ingin menulikan pendengaran nya saat mendengar suara tawa tertahan dari Gilang.
“Jadi orang pinter dikit nggak bisa kayak nya.” Nanda menendang tulang kering Tsuki, membuat nya mengerang sebelum hendak menendang balik namun tertahan kaki Gilang. Penyelamat datang.
“Nan?” Gilang memanggil lagi.
“Nanda tidur.” Nanda menjawab. Masih dengan mata yang terpejam paksa.
“Guoblok!” Nanda membuka mata nya cepat. Dia menendang kaki Tsuki berkali kali. Mengabaikan teriakan gaduh Gilang karena kaki nya ikut terkena tendangan. Merasa kalah, Tsuki menaikkan kaki nya di kursi. Lebih mendekat ke Rian yang sibuk tertawa. Kaki Nanda yang terlalu pendek sedikit sulit untuk menjangkau Tsuki. Melihat sekeliling, Nanda menompangkan tubuh nya dengan tangan yang berpegangan di paha Gilang, lalu mulai menendang Tsuki dengan kaki kiri nya.
“Tangan lo, Nan!” Tsuki berseru. Mata nya melotot tidak terima saat tangan Nanda masih berada di atas paha Gilang, walau hanya untuk sekedar berpegangan saja.
“Ngaca! Lo ngapain mepet mepet ke dokter Rian?!” Hening. Nanda sudah menghentikan tendangan nya karena Gilang yang sedari tadi terus menahan kaki pendek nya dengan kaki nya. Membiarkan Tsuki yang menoleh menatap Rian yang hanya meringis menatap nya. Posisi Tsuki yang berjongkok di kursi menghadap Rian memudahkan nya untuk melirik wajah Rian lebih dekat.
“Jangan suka gue. Gue nggak kayak Nanda yang doyan om om.” Tsuki memperbaiki posisi duduk nya. Membiarkan Rian cengo dengan apa yang dia katakan tadi. Tersenyum manis pada Nanda yang sudah memerah, menahan amarah. “Tsuki!!”
Gilang lagi lagi harus berjuang menenangkan Nanda dengan menahan tangan nya karena kaki nya sudah tidak bisa bergerak dengan kuncian kaki Gilang.
“Kak Gilang!”
“Hm?”
“Lepasin gue!”
“Nggak.”
“Tsuki ngatain lo om om loh.”
“Gue emang udah tua soal nya.” Nanda diam. Gilang juga diam. Dia membiarkan ketika Nanda menunduk perlahan dengan mata yang masih menatap diri nya. Lalu saat Nanda mulai menggigit lengan Gilang yang menahan tangan Nanda, barulah Gilang berteriak.
“Kenapa ngakuin?! Jangan buat gue kayak cewek yang suka om om berperut buncit ya!”
“Gue nggak buncit ya?!”
“Ya jangan ngakuin tua kalau gitu.”
“Gue emang udah tua, Nan.”
“Lo baru dua tiga ya!”
“Gue udah dua empat.”
“Kita jarak nya 6 tahun dong!”
“5 tahun. Lo udah 19 btw.”
“Gue tua amat!!!” Nanda histeris. Menganggur selama beberapa minggu mungkin membuat otak nya sedikit tumpul. Sudah terlalu tumpul.
***
Sudah beberapa hari. Gilang masih belum menghubungi nya. Nanda hanya bergelung di kasur dengan selimut yang menutupi tubuh nya. Laptop yang menayangkan film sci-fi Ender’s Game favorit nya. Ponsel tergeletak di meja. Dia tidak berniat bergerak dari posisi nya saat melihat nama Tsuki tertera dari layar ponsel yang sengaja dia miringkan.
Tatapan nya tertuju pada si tokoh utama.
Si Ender memang tokoh favorit nya. Tubuh kurus yang terlihat lemah, namun memiliki pikiran yang sempurna sebagai pemimpin di otak encer nya. Apalagi mata biru terang menjadi daya tarik tersendiri bagi nya. Wuahh… tampan sekali. Kalau kata cewek di luar sana sih ‘rahim gue anget’.
Astagfirullah. Nyebut Nanda!!!
Nanda memejamkan mata nya. Si Ender. Andai saja dia benar benar ada di dekat nya. Mungkin dia akan lebih memilih dia daripada Gilang. Jangan bandingin sama Gilang. Beda jauh. Gilang melebihi segala nya secara fisik. Tapi Nanda sudah jatuh cinta dengan karakter pintar Ender.
“Lo nggak angkat telepon gue cuman karena nonton film doang?!” posisi Nanda yang memang membelakangi pintu membuat nya harus berbalik menoleh ke arah sumber suara. Tsuki disana. Berdiri bersandar pada kusen pintu dengan tangan terlipat dan koper kecil di belakang nya. Dia tersenyum, merentangkan tangan menunggu Nanda datang memeluk nya. Nanda duduk dengan susah payah. Bergeser turun dari kasur lalu berlari kecil dengan selimut yang masih menggelung tubuh nya. Menabrak tubuh Tsuki, membiarkan si jangkun Jepang memeluk nya.
“Tinggal disini?!” Nanda berucap antusias. Kemarin Tsuki berkeluh jika ayah nya ingin kembali ke Jepang, bekerja disana dan ingin membawa Tsuki bersama nya. Lalu Tsuki menolak, dia memilih tinggal dan hidup sendiri disini jika diperbolehkan. Ayah mengiyakan. Tidak terlalu keberatan karena beliau akan lebih sering berkunjung ke Indonesia, sebagai bentuk solidaritas antar negara. Nanda menawari nya untuk tinggal di rumah nya, Tsuki menurut.
“Hanya sementara. Sebelum gue dapet tempat tinggal yang cocok deket kampus.”
“Mau kuliah disini?” Tsuki mengangguk. “Daftar nya bareng gue aja, bulan depan gue udah mau kuliah.”
Tsuki lagi lagi mengangguk. Mata nya melirik sekilas ke jam di meja dekat ranjang. Melepas pelukan nya dan meminta Nanda mengambil ponsel nya saat ponsel nya bergetar sekilas tadi. Nanda menurut. Dia berjalan pelan. Menaiki kasur lalu jongkok di depan meja, masih dengan selimut di tubuh nya. Dia membuka pesan yang masuk.
Gilang.M
Besok gue jemput jam 4, ada yang mau gue bicarain.
***