Chapter 15

1412 Kata
Alat sudah terpasang. Airbag sudah ada di tempat nya, menunggu kode kapan akan di isi. Beberapa orang berdiri agak jauh dari lokasi dengan batang besi di tangan mereka. Menunggu cemas, Gilang hanya berdiri jauh dari lokasi dengan Nanda yang berada di samping nya. Ketua tim tidak akan membiarkan lewat, takut Gilang akan melakukan hal yang nekat jika misi penyelamatan tidak berhasil.             “Dia ngga pa-pa kan?” Nanda bergumam. Mata nya masih bisa melihat pergerakan tim SAR dari kejauhan.             “Harus, dia harus baik baik aja.” Gilang menjawab pelan. Bergumam meyakinkan diri nya sendiri. Perasaan cemas terus menghantui nya, mata nya bergerak gelisah, tangan nya tergenggam erat, mengabaikan keringat yang mengalir di pelipis nya.             “Pengisian airbag.” Ketua tim berseru. Memberikan kode kepada anak buah nya. Kayu dan tanah di atas korban mulai terangkat, memberikan guncangan kecil di atas nya, membuat Gilang ingin segera berlari kesana dan langsung menyeretnya keluar.             “Sebentar.” Tangan ketua terangkat dengan jemari yang mengepal, mata nya menatap was was pada reruntuhan yang paling atas, terlihat oleng saat dasar nya bergerak.             “Tidak bisakah kalian menarik nya sekarang? Kesadaran nya akan hilang jika terlalu lama.” Gilang berteriak, di sekitar nya sudah ada 2 petugas tim SAR yang di tugaskan untuk menjaga nya. Ketua tim berbalik, dia menggeleng pelan, “Saya tidak mau ada korban lain nanti.”             “Kalau begitu angkat reruntuhan nya lagi.”             “Anda tidak lihat reruntuhan yang paling atas tidak stabil?” Ketua tim berdecak. Otak Gilang benar benar kosong sekarang, dia sudah tidak bisa berpikir rasional. Hal yang ada di pikiran nya sekarang hanya bagaimana cara membawa korban keluar dari sana, sesegera mungkin.             Krakk             Bunyi retakan kayu terdengar keras.             Napas Gilang sudah tidak beraturan, mata nya kembali menatap tajam reruntuhan yang paling atas, terlihat akan runtuh sebentar lagi.             “Tarik!!” Gilang berteriak. Tubuh nya sudah dihadang 2 petugas yang tadi di sebelah nya, beberapa saat sebelum dia berlari mendekati korban. Mata nya memerah, menatap ketua tim dan korban secara bergantian.             “Terlalu berbahaya.”             “Kalau begitu biarkan saya yang menarik nya.” semua petugas menoleh pada nya. Suara nya lirih, kalah dengan suasana ramai di sekitar nya, tapi nada keputus-asa an nya tidak bisa mereka abaikan.             “Saya bilang terlalu berbahaya.” Nanda menangis di belakang Gilang, sesekali sesegukan dan menarik baju belakang Gilang, meminta untuk menyudahi usaha nya.             “Dia masih hidup.”             “Dia sekarat.”             “Dia bernapas.”             “Tidak ada kemungkinan dia akan bertahan setelah kami menarik nya.”             “Ada saya, saya-“             “Dokter, saya tau anda dokter. Harus saya ingatkan lagi. Anda dokter, dan anda bukan tuhan yang bisa menyelamatkan siapa saja.”             Brakk             Dia tertimbun. Suara gemuruh petir menambah runyam suasana.  Gilang jatuh terduduk, mata nya masih menatap reruntuhan nya. Semua orang menjauh, berjaga jaga jika ada reruntuhan susulan nanti. Gilang menunduk, dia berteriak dalam diam. Nanda duduk bersimpuh di hadapan Gilang, memeluk nya. Memberikan usapan kecil pada bahu nya. Gilang balas memeluk pinggang Nanda dengan satu tangan, menangis dengan tangan yang memukul keras d**a nya.             Sakit sekali.             Rasa nya sakit sekali.             Hati nya seperti tertusuk ribuan jarum, menyerang nya secara bersamaan lalu mencabutnya dan menyerang nya kembali.             Ketua tim mengerti sekarang.             Dia sudah terlalu sering melihat Gilang sejak laki-laki itu masih memakai kacamata – saat dia SMA-, tapi bukan pada lokasi kejadian. Dia lebih sering melihat nya di tempat pos terjauh. Memberikan operasi darurat sebelum mengirim korban di rumah sakit untuk ditangani lebih lanjut. Gilang cekatan. Beliau mengakui itu. Kemampuan nya sudah tidak diragukan lagi. Beliau juga mengerti kenapa Gilang tidak pernah terjun langsung ke lokasi kejadian sebelum nya, karena mental nya. Dia masih terlalu pecundang untuk melihat korban yang tidak bisa dia selamatkan di depan mata nya.             Ketua tim terkejut bukan main saat tadi pagi Gilang mengajukan diri untuk menangani lokasi kejadian. Namun saat beliau melihat Gilang melirik khawatir pada salah satu relawan, beliau mengerti.             Jatuh cinta memang mengubah segala nya. Bisa membuat nya lebih percaya diri dan kembali memberanikan diri pada hal yang selalu di hindari nya, atau kembali pada titik terpuruk dengan kondisi yang jauh dari kata baik. *** Hari sudah mulai malam. Para relawan di minta untuk bermalam di pos satu, pos paling jauh dari lokasi kejadian, sedangkan para petugas tim SAR berjaga di pos kejadian, takut hal yang tidak teduga terjadi. Gilang terduduk di bawah, bersandar pada brankar kosong di belakang nya. Napas nya masih tidak beraturan, mata nya terpejam, walau sesekali Rian yang ada di depan nya bisa melihat air mata nya mengalir. Mereka hanya berdiam diri, sudah lebih dari satu jam. Rian duduk di atas meja, menatap Gilang di bawah nya yang kembali menangis. Mendengus, Rian berdiri dari tempat nya. Mengambil ponsel nya dan tiduran di brankar yang lain. “Ini yang gue takutkan kalau lo ngurus bagian kejadian.” Rian bergumam. Masih dia ingat bagaimana tertekan nya Gilang beberapa tahun lalu saat masih menjadi mahasiswa dan harus menangani lokasi kejadian seorang diri. Menangis seperti ini, lalu besok nya dia tidak mengikuti mata kuliah lebih dari sebulan. Belum lagi kasus table dead di awal bulan dia mendapatkan lisensi, Gilang mengurung diri dan tidak mau berbicara dengan siapapun. “Jangan berhenti….” menjadi dokter. Rian melirik Gilang. Dia selalu memikirkan hal ini saat melihat Nanda membawa Gilang yang menangis pada nya. Tangis Gilang pecah, dia mengaung. Seperti anak singa yang meminta perlindungan induk nya saat sedang terluka. “Besok lo bisa balik ke RS.” “Gue nggak bisa tinggalin Nanda.” “Biar gue yang urus.” “Gue harus tetep di dekat nya.” “Sadar diri! Gue tau lo bakalan jadi apa besok kalau lo tetep maksa. Lokasi kejadian itu bukan tempat lo! Lo harus nya sadar batasan lo. Jangan cuman gara gara cewek, lo langsung kayak gini.” “Yan….” “Dengerin gue sebagai orang yang lebih tua dari lo. Lo harus balik.” “Nanda-“ “Jangan dikit dikit Nanda! Urus diri lo sendiri dulu. Lo kacau, Lang! Jangan berhenti jadi dokter cuman karena rasa bersalah lo nggak bisa nolong orang yang ada di depan lo.” “Gue udah terlanjur cinta sama dia.” Gilang bergumam. Rian terdiam. Dia paling benci masalah perasaan. “Ini pengalaman pertama nya, gue nggak mau dia takut ngelakuin hal yang sama-“ “b**o-“ Gilang tersenyum. “Mohon maaf, otak gue lebih encer daripada punya lo.” “Lo pinter, gue akuin. Tapi lo b**o kalau nyangkut perasaan. Kayak ABG tau gak?” “Gue emang masih muda, umur gue baru 24 tahun kalau lo lupa. Beda jauh sama lo.” Rian berdecak, “Bisa nggak, nggak usah bahas umur gue?!” Gilang hanya berdeham. Dia menutup mata nya, air mata sudah tidak mengalir lagi. Walau suara nya masih terdengar pecah saat berbicara dengan Rian tadi. “Jangan berhenti….” Gilang berdecak, dia melirik Rian kesal. “Berhenti apa sih?” “Jangan berhenti jadi dokter.” “Pikiran gue nggak sedangkal-“ “Pikiran lo selalu dangkal.” Rian membuang muka saat Gilang menatap nya tajam. “Usaha gue jadi relawan sana sini buat dapetin pengalaman bakalan sia sia kalau gue berhenti sekarang.” “Jadi?” “Gue nggak bakalan berhenti.” “Jangan nangis maka nya.” “Gue kagak nangis.” “Trus mata lo merah kenapa?” “Kelilipan.” “Ingus lu keluar kenapa?” “Pilek.” “Suara lo serak kenapa?” “Kurang minum.” “Telinga lo merah kenapa?” “Dingin disini.” “Trus ngapain tadi meluk Nanda di lokasi? Modus lo?” “He eh, lumayan meskipun tepos.” “Nan, denger kan? Si Gilang udah gak pa-pa ini.” Rian berucap santai. Menikmati reaksi Gilang yang langsung berdiri, berbalik dan langsung menghadap Nanda yang berdiri dengan tangan yang terlipat di d**a. “Gue nggak tepos banget ya!!” *** Gilang berdeham. Mata nya menatap sekeliling dengan kaki bersimpuh. Di depan nya sudah ada Nanda dengan pandangan galak nya. Dia merasa sedikit bersalah sekarang. “Lihat cewek tuh jangan dari tampilan luar nya doang!” Nanda berucap. Mata nya masih menatap tajam Gilang, walau si objek hanya tertunduk kikuk. “Lihat dalem nya juga! Gue nggak tepos ya!!” Ha? Gilang mendongak sedikit, perkataan Nanda sedikit ambigu bagi nya. “Punya gue tuh gede, cuman gara gara gue pakai baju longgar maka nya keliatan kecil.” Hahh??? “Trus lo meluk nya pas di bahu gue, maka nya lo nggak kerasa apa-apa.” “Tolol.” Nanda berbalik. Tsuki, cewek Jepang yang ikut menjadi relawan bersama nya itu kini menatap nya hina. “t***l, lo ngomong apaan sih t***l! t***l banget!” Nanda membuka mulut nya, dia berjalan selangkah mendekati Tsuki. “Lo ngatain gue 4 kali! Kosa kata lo kurang apa gimana?!!” “Lo ngomong terlalu ambigu, t***l! Lo mau tuh anak tau porsi kecil nya punya lo? t***l!” “Porsi gue nggak kecil ya! Gue pakai b*a yang nggak ada busa nya, maka nya nggak keliatan melembung!!” Suara Nanda terdengar merengek. Gilang yang sedari tadi hanya mendengarkan kini berdeham, telinga nya sudah memerah sedari tadi. Dan Tsuki menyadari nya. “Laki lo mikir yang aneh aneh tuh.” Nanda berbalik, dia menunduk, berhadapan langsung dengan wajah Gilang. “Kak Gilang nggak boleh mikir aneh-aneh, punya gue emang nggak kecil kok.” “t***l! Dasar t***l!!” Tsuki berdecak. Mata nya menatap hina pada Nanda yang masih menunduk di hadapan Gilang. “Berdiri!! Barang lo nanti keliatan, tolol.” “Barang? Tas gue kan udah di tenda tadi. Lo leukimia ya?” “Amnesia t***l!!” “Lo ngatain gue t***l mulu sih! Ganti yang lain ngapa!” “Baka!” “Artinya apa?” “t***l! Dasar t***l!!” “Tsuki!!!!” ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN