Wajah Gilang terlihat berantakan, kantung hitam tercetak jelas di bawah mata nya, tanda jika dia memang kurang istirahat. Padahal dia masih memiliki waktu 12 jam lebih setelah mengantar Nanda pulang kemarin.
Bau bahan bakar dan obat obatan membuat dia merasa mual, apalagi dengan kendaraan yang dia tumpangi bersama rekan nya melewati medan yang cukup berat, mengingat mereka akan sampai di lokasi bencana.
Pikiran nya selalu tertuju pada Nanda, bagaimana Nanda mengabaikan diri nya dalam perjalanan pulang, bagaimana Nanda tidak membalas pesan yang dikirimkan nya semalam, bagaimana Nanda yang masih tidak menghubungi nya di pagi hari tadi. Pintu belakang ambulans terbuka, Gilang yang memang sedari tadi mengecek kotak obat untuk mereka nanti terkejut, menatap Rian yang meminta nya keluar untuk mengetahui keadaan saat ini dari petugas yang berjaga.
Dia bahkan tidak tau kapan mobil yang dia tumpangi berhenti. Menuruni mobil sembari memakai rompi merah, Gilang ikut berbaris bersama yang lain nya. Di mulai dengan perkenalan diri nya dan Rian sebagai bantuan dokter medis lalu berlanjut ke staf medis yang lain. Gilang hanya mendengarkan, posisi berdiri nya yang memang paling belakang sulit untuk melihat ketua tim yang sedang memperkenalkan anggota yang lain, memudahkan diri nya untuk menutup mata barang sejenak.
“… Gira Nanda Triandra….” Gilang tidak terlalu terkejut saat mendengar nama Nanda ikut tertera di data yang ketua bacakan. Dia tau Nanda tidak akan memperdulikan perkataan nya.
“… Salah satu dokter medis akan berjaga di pos, dokter yang lain nya bisa mengikuti saya menuju lokasi, masih banyak korban yang membutuhkan tenaga medis kalian….” Ketua tim menjelaskan, tangan nya menunjuk tempat pos yang sudah di sediakan, tubuh tegap dan cara bicara tegas nya menambah kesan wibawa dalam diri nya.
“… Karena kami kekurangan tenaga, jadi mau tidak mau ada sebagian orang yang harus ikut dengan kami ke lokasi….”
“Jangan Nanda, kumohon….” Gilang memejamkan mata nya, berharap bukan Nanda yang akan membantu langsung di lokasi kejadian. Dia terus berbisik pelan, menyampaikan doa nya agar situasi yang paling buruk tidak akan terjadi.
“… Gira Nanda Triandra, siapkan diri anda….” Nama yang tidak dia harapkan terdengar di telinga nya. Gilang mendongak, mata nya langsung bertemu dengan mata Nanda melalui celah bahu dari orang di depan nya. Nanda terlihat terkejut, tidak menyangka jika dia yang akan di tunjuk dari sekian orang.
Menghela napas frustasi, Gilang berbisik pada Rian yang berdiri di depan nya. “Biar gue yang ke lokasi….”
Dia benar benar harus mengawasi Nanda kan?
***
Benar benar kacau.
Warga berlarian kesana kemari, mencari anggota keluarga mereka yang masih tertimbun reruntuhan. Para relawan kewalahan, banyak dari mereka menenangkan korban yang sudah di selamatkan dan membawa mereka kembali menuju pos utama. Petugas tim SAR berseragam orange sudah menyebar di segala tempat dengan sekop di tangan mereka, menggali tanah dengan hati-hati. Petugas kepolisian mengatur jalan nya evakuasi dan membantu para relawan mengurus korban yang sudah terselamatkan.
Mereka saling bekerja sama dengan raut wajah yang sama, khawatir jika tidak cepat mengeluarkan korban yang masih tertimbun maka mereka tidak selamat. Beban menyelamatkan nyawa orang dengan waktu yang terbatas tergambar jelas di wajah mereka. Raut wajah lelah seakan mereka terus bekerja selama seminggu penuh, padahal kejadian ini belum ada 72 jam.
Sementara tim Gilang masih mendengar instruksi di pos dekat tempat kejadian. Nanda berada di belakang dan ada belasan relawan lain di samping nya. Ketua penyelamatan menunjuk Gilang sebagai ketua tim, beralasan jika hanya dia satu satu nya orang yang sudah berpengalaman di bidang nya, dan Gilang menyanggupi nya. Mereka membongkar tas mereka setelah ketua penyelamatan meninggalkan pos mereka. Memakai rompi dan peralatan yang di butuhkan, mereka berbaris di hadapan Gilang, menunggu perintah.
“Lima relawan ikut saya, bagi relawan laki laki bisa membantu pencarian di lokasi, relawan perempuan membantu memberikan pertolongan korban yang mengalami luka ringan dan membawa nya langsung menuju pos.” Mereka mengangguk mengerti, tak terkecuali Nanda yang berdiri tepat di hadapan nya.
“Jangan menggunakan suntikan jika keadaannya belum terlalu parah, kita hanya memiliki sedikit obat di sini dan perlu waktu lama untuk mendapatkan nya kembali.”
“Kita juga harus meminimalisir tempat di pos, kalau sekira nya mereka sudah merasa lebih baik, segera bawa mereka di pos satu, disana keadaan sudah lebih aman.” Gilang berbicara, mata nya menatap sekeliling, tapi enggan untuk menatap Nanda.
“Barisan paling depan bisa langsung ikut saya.” Gilang berlalu, Nanda dan empat orang lain nya berjalan mengikuti.
Menghela napas, Nanda mendekatkan diri pada Gilang, masih berada di belakang nya, Nanda melirik Gilang. “Udah gue bilang di sini terlalu berat buat lo….” Gilang berbisik pelan, nyaris tak bersuara.
Nanda menunduk.
“Keadaan nya masih kacau, kalau boleh gue bilang kejadian ini kayak terjadi belum 24 jam, bayak korban yang belum selamat, relawan disini udah berusaha mati-matian tapi korban yang di temukan nggak sampai 25% dan 5% nya meninggal.”
Gilang berhenti berjalan, “Lo boleh pulang sekarang kalau lo mau.”
“Nggak mau!”
Gilang melirik ke belakang, lalu setelah nya mulai menilai situasi, ke arah mana dulu yang memungkinkan banyak nya korban berada. “Lo udah tau kondisi nya sekarang. Kenapa?”
“Gue nggak mau nanti lo berpaling dari gue.”
Gilang sepenuhnya menoleh, “Ha?”
Nanda melipat tangan nya, memasang wajah sok serius sambil memberi kode pada Gilang untuk menoleh di belakang nya, tempat dimana 2 perempuan sedang terang terangan menatap minat pada nya dan dua lelaki sedang melihat sekeliling, terlihat serius menjadi relawan. “Banyak cewek yang suka sama lo, nggak mungkin kan gue ninggalin lo sendiri di sini…”
“Lo gila? Gue disini nolongin orang, bukan buat lirik cewek sana sini.” Gilang merendahkan suara nya, tidak mau orang lain mendengar pembicaraan mereka.
“Mereka kan tipe lo banget! Cantik, pendek, imut, trus lucu kayak gue ini. Nggak mungkin kalau sekedar lirik aja nggak pernah.”
“Gue kalau lirik cewek nggak pernah sampai kepincut ya.”
“Berarti lo ngakuin kalau pernah lirik cewek lain dong!” Nada suara Nanda meninggi, mata nya melotot lucu, tangan nya berkacak pinggang dengan kepala mendongak.
“Gila….” Menahan napas, Gilang meraup wajah nya yang memerah dengan kedua tangan nya lalu berbalik, melanjutkan jalan nya dengan raut wajah gemas.
Nanda… memang kelemahan pribadi nya.
***
“Bisa gerakkan leher mu?” Gilang bertanya. Tangan nya terjulur meraba sekitar leher korban pelan.
“Ada bagian badan kamu yang sakit di bagian tertentu?” Korban menggeleng. Sebagian tubuh nya terkubur reruntuhan rumah dengan tanah di atas nya. Dia bernapas pelan dengan kantong ambu yang sudah terpasang di mulut nya. Satu tim SAR masih bekerja keras memindahkan kayu di sekitar korban, berusaha memasang airbag di sana. 2 lelaki di tim Gilang memegang sekop, memindahkan tanah yang masih mengubur tubuh korban. Nanda dan 2 teman perempuan nya di sibukkan dengan mengecek peralatan medis dan memastikan korban masih sadar.
“Nggak bisa lebih cepat?” Gilang bertanya was was. Kesadaran korban sudah hampir hilang, akan menjadi merepotkan jika korban pingsan sekarang. “Sebentar lagi, setelah kami isi airbag nya korban bisa kami tarik saat itu juga.”
Salah satu dari mereka meletakkan airbag di bawah reruntuhan kayu, menyambungkan nya dengan selang dan mulai memompa udara. Gilang dan salah satu teman satu tim nya sudah bersiap memegangi korban, bersiap menarik nya keluar, Nanda mengambil alih untuk mengatasi ambu.
“… dua… tiga….” mereka menarik nya setelah hitungan ketiga. Gilang segera bergerak mengecek kondisi bagian bawah korban. Pergelangan kaki nya berada di tempat yang tidak wajar, kedua kaki nya bewarna merah dengan campuran tanah.
“Kedua kaki bagian bawah nya sudah remuk.” Arlan –orang yang tadi ikut membantu Gilang menarik korban- berbicara. Tangan nya mengecek kaki satu nya yang keadaan nya belum terlalu parah daripada yang satu nya. Gilang menatap nya sekilas. “Ada banyak pendarahan juga. Kalian bawa kabel atau semacam nya?” Gilang bertanya pada tim SAR yang masih berada disana. Mereka mengangguk, memberikan tali tambang setelah memotong nya menjadi lebih pendek.
Gilang menerima nya, mengikatkan di bawah pangkal paha korban untuk menghentikan aliran darah melalui vena atau arteri. “Beri dia hidrasi, luruskan dulu kaki nya dan berikan cairan juga. Cepat bawa dia ke rumah sakit orthopedi terdekat.”
Menoleh menatap rekan setim nya, Gilang menunjuk Arlan dengan dagu nya. “Kamu pergi dengan mereka, jaga-jaga jika ada kondisi darurat dan kamu bisa langsung menghubungi saya.”
Arlan mengangguk. Dia ikut membantu memindahkan korban ke brankar dan membawa nya ke pos pertama. “Setelah selesai mengantar ke pos, langsung kembali kemari. Saya membutuhkan mu.”
Arlan mengangguk lagi, dia berlalu dengan kantung anbu di tangan nya.
“Ada yang sudah punya pengalaman disini?” Gilang bertanya. Dia menatap tiga perempuan –termasuk Nanda- dan satu laki laki di depan nya. Mereka menggeleng.
“Kuliah medis?” Si laki laki berkacamata mengangkat tangan nya.”Saya jurusan kedokteran, semester tiga.”
Gilang mengangguk. “Kita bagi jadi dua tim lagi. Nanda biar sama saya, yang lain nya bisa ikut dengan kamu. Kamu ke barat, biar saya ke utara.”
Mereka berpencar. Mata Gilang menatap sekeliling awas. Dia sesekali menoleh ke belakang, memastikan Nanda masih mengikuti nya.
“Lo denger itu?” Nanda berhenti, menajamkan mendengaran nya. Sedangkan Gilang berbalik, menatap Nanda yang melihat sekitar. “Ada suara.”
“Huh?”
“Ada yang minta tolong.” Gilang ikut menajamkan pendengaran nya. “Gue nggak denger apapun.”
“Ada suara lagi.” Nanda berbisik. Sekarang dia berjongkok, melihat ke bawah tajam, memastikan tidak ada sedikit celah pun yang terlewati penglihatan nya.
“Disana….” Gilang ikut berjongkok. Dia memiringkan kepala nya, sama seperti apa yang Nanda lakukan, mencari si korban yang terus bersuara lirih meminta pertolongan.
Nanda menahan napas.
Di bawah sana, dia melihat tangan yang menjuntai keluar dari tanah dengan kepala yang menyembul setengah dalam posisi miring. Di atas nya ada reruntuhan kayu dan satu pohon yang tumbang tidak jauh dari nya.
“Kak….”
“Biar gue lihat dulu, lo disini.” Gilang mendekat. Mengecek denyut nadi di tangan korban, setelah memastikan dia masih bernapas, Gilang berteriak memanggil bantuan. Meminta mereka segera memindahkan reruntuhan di atas korban. Nanda mendekat dengan tas medis di tangan nya, bersamaan dengan tim SAR berbaju orange yang menghampiri nya. “Nggak bisa, reruntuhan nya terlalu tinggi, ini juga terlalu berbahaya buat korban di sisi yang lain kalau tim saya memindahkan nya.”
“Tidak bisa dengan cara lain? Airbag misal nya? Kita hanya perlu sedikit celah buat menarik nya keluar.” Ketua tim menggeleng. Menghela napas, dia berjongkok. Menilai situasi. “Kita tidak tau dimana arah tubuh nya. Terlalu berbahaya jika kita langsung menarik nya, banyak benda tajam yang tidak kita tau di sekitar tubuh nya.”
“Tidak ada cara lain?” Nanda bergumam. Tertunduk, lalu mendongak lembali menatap ketua berharap.
“Kita bisa mengangkat sedikit batang pohon nya, menahan berat nya dengan batang besi yang kami punya. Untuk reruntuhan kayu nya, bisa kita coba peralatan hidrolik.” Gilang bernapas lega, dia mendekati ketua tim. “Dimana peralatan nya? Biar saya bantu memasangkan nya.”
“Dengarkan penjelasan saya dulu. Ada dua kemungkinan, reruntuhan kayu terangkat dan anda bisa menyelamatkan nya atau reruntuhan yang paling atas akan bergeser dan akan bergerak ke bawah saat kita memasang nya.”
“Dia akan tertimbun?”
“Kita bisa mengantisipasi dengan memasang batang besi dan air bag di sekeliling nya.”
“Kalau begitu lakukan.”
“Tapi kita akan kehilangan korban lain di sisi sebelah nya. Anda tau saya tidak bisa melakukan nya. Peraturan tetap peraturan, saya diharuskan memilih korban yang kemungkinan hidup lebih banyak daripada harus menyelamatkan satu orang yang tidak tau bisa kita selamatkan atau tidak.”
“Kita juga tidak bisa mengabaikan begitu saja korban yang meminta bantuan di depan kita.”
“Kebijaksanaan tetap-“
“Lakukan sekarang, minimalisir guncangan, saya hanya perlu sedikit celah untuk menarik nya keluar.” Gilang berucap dingin. Mengabaikan sopan santun, dia menatap ketua tim mengancam.
Menghela napas, ketua tim mengangguk. Memberikan kode kepada bawahan nya untuk membawakan peralatan hidrolik dan menyiapkan peralatan lainnya.
***