Chapter 13

2116 Kata
Menghela napas panjang, Gilang keluar dari mobil dengan buket bunga mawar besar di tangan nya. Risau dia melihat ke cermin lagi, memperbaiki penampilan nya walau tatanan rambut nya tidak berubah sama sekali. Menatap ke depan, melihat sekeliling banyak nya siswi yang memakai baju khas daerah mereka masing masing dengan dandanan yang bisa di bilang menor di dampingi dengan wali di sisi mereka. Menghela napas lagi, Gilang meneliti penampilan nya. Celana bahan warna hitam dan kemeja putih yang sengaja tidak dia masukkan ke celana sepenuh nya –takut terlihat tua jika bersanding dengan Nanda nanti- yang dia padukan dengan jas biru donker tanpa mengancingkan kancing nya. Rambut nya tidak dia tata rapi karena Vero mengejek nya habis habisan tadi, mengatakan jika dia seperti ayah yang hendak pergi ke acara wisuda anak nya. Astaga, baru kali ini dia menggerutu mengenai umur yang memang tua beberapa tahun dari Nanda. Mengomel kenapa dia tidak di lahirkan lebih lama dari kebanyakan wanita hamil lain nya, lebih lama tiga tahun mungkin? Gilang menggeleng, menghapus pemikiran bodoh dari otak nya. Banyak mata yang memandang minat pada diri nya, entah itu siswi itu sendiri atau wali yang mendampingi mereka. Penampilan nya memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Bukan hanya menjadi dokter, perawakan tubuh tinggi tegap namun tidak terlihat berisi itu cukup mampu membuat beberapa kaum hawa terpesona melihat nya. Berhenti melangkah, Gilang menatap layar ponsel nya, mendapat notif dari Nanda yang mengatakan jika keluarga nya sudah menunggu dia di aula sekolah. Tanpa membalas pesan Nanda, Gilang kembali melangkah. Memasukkan tangan kanan nya ke dalam saku dan tangan kiri nya yang menggenggam buket bunga nya. Sesampai nya di depan pintu aula, bisa dilihat nya Nanda yang sedari tadi menatap cemas di pintu masuk, melambaikan tangan pada nya saat tatapan mereka beradu lalu menyudahi nya saat acara nya sudah di mulai. Gilang berdiri di belakang kursi khusus untuk wali, enggan bergabung dengan keluarga Nanda yang duduk di tengah tengah keramaian, malas untuk melewati puluhan orang hanya untuk duduk di kursi yang berdesakan dengan lain nya. Banyak yang lebih memilih berada di belakang seperti nya, Gilang melirik beberapa dari mereka. Sama sama membawa buket bunga walau dengan jenis yang berbeda. Gilang menguap, ini yang dia benci saat hari kelulusan. Jika tidak di tatap banyak orang berarti harus mendengarkan beberapa guru yang mengucapkan terima kasih atau apapun itu, membosankan. Iseng, Gilang menatap Nanda yang sedang berbincang dengan teman sebelah nya, berbisik karena masih menghargai guru yang mengucapkan syukur di atas panggung. Kebaya soft pink terlihat pas di tubuh nya, rambut nya tergulung simpel walau pun Gilang masih bisa melihat beberapa anak rambut menutupi leher nya. Saat dia menoleh menatap teman nya, dia melihat dengan jelas, Nanda tidak benar benar berdandan seperti siswi kebanyakan di sini. Hanya make up tipis, tanpa embel embel bulu mata palsu atau lain nya. Hanya satu kata yang terus terngiang di otak nya. Cantik. Suara gerumuh tepuk tangan membuyarkan lamunan nya. Kepala sekolah mengumumkan dia akan memanggil satu persatu siswi untuk di berikan surat kelulusan dan berfoto bersama di panggung. Saat Nanda menaiki panggung, Gilang membuka kamera ponsel nya. Memotret nya beberapa kali walau tidak terlihat jelas bagaimana paras cantik nya saat ada di sana. Nanda yang melihat nya tersenyum, melambaikan tangan nya singkat sebelum menuruni panggung lalu berjalan menuju keluarga nya yang sudah menunggu di samping panggung, meminta nya untuk segera keluar dari aula dan berfoto di luar saja. Mereka berjalan menghampiri nya yang memang sedari tadi berdiri di dekat pintu masuk aula. Di lihat nya Nanda yang menggendong Ias yang masih berceloteh tentang betapa cantik nya Nanda saat di panggung tadi. Gilang membungkuk kan tubuh nya sedikit lalu tersenyum saat tatapan mata nya bertemu dengan mata kedua orang tua Nanda, mereka balas tersenyum. Ayah Nanda menepuk bahu Gilang saat mereka sudah berjalan melewati nya, meminta nya tanpa sadar untuk ikut bersama mereka. Gilang menurut, berjalan di belakang bersisihan dengan Erik yang memeriksa kamera nya, menatap hasil yang dia potret tadi. Setelah sampai di luar, Gilang menawarkan diri untuk memotret momen kebahagiaan mereka setelah menyerahkan buket bunga nya pada Nanda. Lalu ada giliran dimana hanya Nanda dan Gilang saja yang ada dalam bingkai foto. Sekolah sudah tidak semenyesakkan tadi, hanya tinggal siswi dan beberapa teman beda angkatan yang menemani mereka. Sedangkan keluarga Nanda pamit pulang terlebih dahulu, menitipkan Nanda pada Gilang yang hanya di balas anggukan paham. Mengistirahatkan kaki mereka di kantin, Nanda sudah menghabiskan dua botol minuman kemasan dingin yang tadi di beli Gilang. Menempelkan salah satu minuman yang masih utuh di leher nya, menghilangkan hawa panas yang sedari tadi menyerang nya. “Kak….” “Hm?” Gilang menatap Nanda, menaikkan satu alis nya saat Nanda memanggil nya. “Lo sedari tadi nggak ngomong apapun sama gue.” Gilang tersenyum, menunduk meminum botol minuman nya mengabaikan ucapan Nanda. “Saat keluarga gue tanya, lo jawab. Saat mereka ngajak bicara, lo ngerespon. Tapi pas bareng gue?” Protes atas sikap Gilang yang mendiamkan nya sedari tadi. Hanya tersenyum saat Nanda berbicara, tidak mengatakan apapun soal penampilan nya atau memberikan selamat atas kelulusan nya. Gilang bahkan hanya tersenyum sekilas saat dia memberikan buket bunga nya, tidak menatap lebih jauh mata Nanda. “Kenapa?” Gilang lagi lagi hanya tersenyum. Menatap lekat wajah Nanda yang duduk tegang di hadapan nya. Memperhatikan setiap inchi wajah orang yang di sukai nya. “Marah sama gue ya?” Nanda menurunkan nada suara nya. Dia menunduk, melemaskan tubuh nya lalu menurunkan botol minuman dingin dari leher nya, enggan menatap Gilang yang sedari tadi tidak menjawab pertanyaan nya dan malah menatap nya lekat seperti itu. “Gue salah apa?” Nanda mencicit, semakin menundukkan kepala nya. Gilang bahkan sampai harus memiringkan kepala nya agar bisa bersitatap dengan mata Nanda. “Salah lo?” Nanda melirik, mendongakkan sedikit kepala nya menatap Gilang yang malah semakin tersenyum lebar di depan nya. “Lo luar biasa cantik.” Mendengar jawaban nya, Nanda terlihat linglung. “Gue cuman mikir cewek dengan paras secantik lo ini di ciptain buat siapa.” “Senyum secantik lo ini di peruntukkan buat siapa.” “Mata belo yang ngelirik gue malu malu ini udah ngeliat berapa cowok di hidup nya.” “Dan gila nya, cewek seimut lo ini gimana bisa bikin gue jatuh cinta berkali kali kayak gini?” Selama kenal dengan nya, Nanda jarang mendengar Gilang mengucapkan kata kata yang berhubungan dengan perasaan seperti ini, apalagi dengan raut wajah tenang dan tatapan mata lembut nya yang masih setia menanti respon Nanda. “Lo segitu suka nya sama gue ya?” Nanda menantang, balas menatap mata Gilang walaupun pupil mata nya bergetar, dan Gilang menyadarinya. “Hm, gue udah bilang kan tadi?” Gilang tersenyum. Tidak seperti biasa nya yang akan langsung kikuk jika mendapat pertanyaan serupa dari Nanda. Tidak akan dibiarkan diri nya sendiri yang akan termakan godaan seperti itu. Gilang tersenyum tertahan, balas menggoda Nanda dengan tatapan nya. Nanda mengalihkan pandangan nya, bertompang dagu sambil tersenyum malu. “Dih, si pendek malu.” Nanda berdecak mendengar gurauan Gilang, melirik nya memalui ekor mata nya nyalang. Dasar, perusak suasana saja. “Gue nggak sependek itu.” “Ah iya… 150 cm nggak pendek kan ya….” Mata Nanda menatap tajam Gilang, memukul pundak nya pelan dengan botol minuman yang di pegang nya. “Lo stalker ya?!” “Lahh, beneran cuman 150 cm?” Gilang terbahak. Dia hanya asal menebak tadi, tidak menyangka jika tebakan nya akan benar. “Yang penting cantik.” “Iya, yang cantik sih bebas….” Mereka terdiam, Gilang masih tetap menatap Nanda sedangkan Nanda yang sibuk mengalihkan pandangan nya ke objek lain. “Nan.” “Hm?” hanya berdeham, enggan berbalik menatap Gilang yang sedari tadi tak mengalihkan pandangan nya. “Selamat buat kelulusan lo.” “Makasih,.” Nanda baru balik menatap Gilang. Gilang menaikkan bibir kanan nya, membentuk seringai kecil. “Selamat datang di bulan dimana lo bakalan nganggur selama 3 bulan lebih.” *** Menganggur, menganggur dalam artian benar benar menganggur. Hanya tidur, bangun, makan, beberes rumah, mandi, terus tidur lagi. Nanda jenuh, ingin berkomunikasi dengan Gilang lebih lama namun lelaki yang dekat dengan nya itu tadi berpamitan sedang ada pasien darurat di RS. Ingin mengganggu Erik namun saat dia hendak memasuki kamar nya, sang kakak malah mengunci pintu nya, berteriak ‘jangan menganggu’ karena memang diri nya sedang di sibukkan dengan skripsi nya. Ingin membantu pekerjaan rumah, tapi bunda sudah mengerjakan semua nya. Ingin keluar rumah namun tak tau ingin pergi dengan siapa. Menghela napas, Nanda memutuskan untuk mandi saja. Badan nya sudah terlalu lengket untuk di gerakkan. Lagian dia nanti berencana menemui Gilang di RS karena sebentar lagi jam kerja lelaki itu akan selesai. *** Penampilan nya tidak pernah buruk, entah seaneh apapun pakaian yang di kenakan nya, sejelek apapun style fashion nya, sebenci apapun diri nya dengan hal yang berbau make up, Nanda selalu terlihat cantik. Hanya menguncir setengah rambut nya asal, celana jins hitam selutut dan kemeja belel bewarna putih yang sudah terlalu sering dia gunakan, Nanda selalu terlihat berpenampilan baik. Jam sudah menunjukkan pukul 15.03 saat Nanda memasuki pintu UGD. Membiarkan beberapa petugas menatap diri nya dan sekali kali balas tersenyum pada perawat atau pun dokter yang mengenal nya. Gilang tadi mengatakan jam kerja nya sudah habis dan kini sedang berganti pakaian di ruang ganti. Nanda duduk di kursi yang di sediakan, menunggu sambil menatap orang yang berlalu lalang di depan nya, sudah tidak seramai biasa nya. “Lo bener bener pakai apapun yang lo suka ya?” Gilang berdiri di hadapan nya, berkacak pinggang dengan mata menyorot ke bawah, menatap Nanda yang duduk malas di sana. “Lo yang nyuruh tadi.” Nanda berdiri, menyeret tangan Gilang keluar gedung. Mencari mobil Gilang yang terparkir khusus di parkiran staf. “Maksud gue pakaian apapun yang penting sopan.” Gilang membuka pintu mobil kemudi, menjalankan mobil nya saat sudah memastikan Nanda sudah duduk di samping nya. “Pakaian gue sopan kok, nggak ada yang ngumbar paha atau d**a kan?” Gilang melirik Nanda, menatap ke atas dan ke bawah. “Jaga mata lo!” Nanda menyipitkan mata nya, menatap Gilang yang kini sudah balas menatap nya. Tertawa pelan, dia kembali fokus mengendarai mobil. “Lo bahkan nggak punya sesuatu yang bisa bikin gue harus jaga mata.” “Ada!” “Apa?” “Wajah gue.” Gilang menoleh, melihat Nanda yang sudah berpose dengan tangan yang membentuk huruf V di bawah dagu nya dan mata yang terus berkedip lucu. Mengabaikan cuping telinga nya yang sudah memerah, Gilang hanya tertawa canggung, mengusap tengkuk nya sekali sebelum memberhentikan mobil nya di warung mie ayam langganan mereka. “Mau makan?” Nanda menatap keluar jendela, menoleh ke samping saat mendengar suara pintu mobil tertutup. “Iya.” Gilang berdiri di depan pintu mobil Nanda, sudah membuka nya namun Nanda menahan nya dari dalam. “Tapi gue udah makan tadi.” Membuka paksa pintu mobil, Gilang melihat Nanda yang menatap nya polos, dengan mata yang berkedip pelan. “Gue yang makan, lo nggak makan ya bodo amat.” Gilang berjalan mendahului, membiarkan Nanda terdiam beberapa detik sebelum menyusul nya. Menendang kaki belakang nya lalu berlari ke dalam warung, bersiap memesan. “2 mie ayam, 1 es teh, 1 es jeruk ya pak,.” “Kata nya tadi udah makan.” “Mie ayam nya 1 aja pak.” Nanda memberengut, berjalan cepat dan duduk di kursi yang di sediakan. Mengabaikan Gilang yang berbicara pada bapak menjual, mungkin meralat pesanan yang tadi Nanda katakan. Mengambil satu gorengan yang tersedia di setiap meja, Nanda menatap Gilang yang berjalan pelan ke arah nya. Bisa di lihat nya Gilang yang menyapa beberapa pelayan di sini yang memang sudah mengenal nya. Berbincang sebentar dengan salah satu pengunjung di sini, tertawa sekilas lalu kembali berjalan menghampiri nya. Tampan sekali. Kurang beruntung bagaimana lagi, Nanda? Tampan, dokter, ramah lagi. Ciri ciri calon suami idaman. Eh? “Kuliah lo gimana?” Gilang duduk di depan nya, mengambil tisu dan menaruh nya di depan Nanda, meminta nya untuk membersihkan minyak di bibir nya. “Gue ambil kuliah tahun depan.” “Ha?” “Gue nggak tau mau ambil apa, belum ada pencerahan.” “Lo nganggur beneran ini berarti?” “Gue mau nyoba relawan, mau ikut?” “Udah daftar?” “Udah, mau ikut?” “Dimana?” “Banjarnegara, mau ikut?” “Tanah longsor?” “Iya, mau ikut nggak?!” “Batalin.” “Ha?” Nanda diam, menatap Gilang yang mengucapkan terima kasih saat pesanan nya sudah sampai. “Batalin!” “Kenapa??” Menghela napas, Gilang menatap Nanda. “Kejadian nya bahkan baru kemarin, nggak ada yang jamin di sana udah aman atau belum, lagian ini bukan kejadian kecil, gue nggak mau disana cuman buat ngejagain dan mastiin kalau lo baik baik aja.” “Ha? Lo mau kesana?” “Pemerintah minta bantuan RS, besok gue yang di kirim. Lo tau separah apa kejadian nya sampai pihak RS aja harus ikut bantu.” “Gue pengen ikut.” Nanda berucap lirih, dia menunduk, mengaduk aduk mie ayam nya pelan. “Lo bisa kesana kalau keadaan udah di anggap aman.” “Gue di minta kesana besok.” “Batalin kalau gitu.” “Nggak mau, lo bisa liat di bagian gue kalau takut gue kenapa napa.” “Gue di sana kerja, bukan buat jagain lo.” “Gue di sana juga buat bantuin orang, bukan buat lo bisa jagain gue.” Nanda menjauhkan mangkuk nya. Menatap Gilang jengkel sambil mengaduk es jeruk milik nya. “Keadaan nya belum aman, percaya sama gue.” “Gue juga bisa jaga diri gue sendiri, percaya sama gue.” “Jadi relawan keras, Nan. Apalagi kalau keadaan nya belum bisa di pastiin, lo nggak bisa berangkat jadi relawan terus pulang jadi korban.” “Gue kesana buat bantuin orang, bukan buat cari mati. Lagian gue cuman bantuin, hanya sebagai cadangan, gue juga nggak mungkin langsung terjun ke lokasi kan?” “Lo nggak tau gimana kacau nya disana.” “Gue nggak tau, maka nya gue kesana.” “Nan,-“ Menghela napas, Nanda berdiri, berucap sebentar pada Gilang yang sudah menunjukkan raut wajah lelah. “Udahlah, bisa anterin gue pulang? Gue mau nyiapin buat besok.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN