Chapter 06

1557 Kata
“Bundaa, abang nakal!” Nanda menuruni tanggal sambil berteriak, mengadu pada bunda nya sambil berlari mengejar Erik yang mengambil ponsel milik nya. Raut wajah nya panik. Lebih panik saat Nanda sedang asik chatting dengan Gilang dan Erik datang ke kamar menyabotase ponsel milik nya. “Bundaa!” Nanda masih teriak. Bunda yang mendengar nya masih melanjutkan kegiatan mencuci piring nya. Sudah menjadi kebiasaan bagi nya mendengar kedua anak tertua nya bertengkar. Ias yang sudah keluar dari rumah sakit pasca kecelakaan sebulan yang lalu kini makan pudding di meja makan, hanya diam saat melihat kedua kakak nya saling berlarian memutari meja makan. “Balikin bang!” Nanda berhenti, menengadahkan meminta ponsel nya kembali. Erik reflek ikut berhenti, membuka aplikasi w******p dan membuka beberapa riwayat chat adik nya. “Bun, anak gadis bunda udah nggak perawan!” Erik teriak. Nanda reflek mengambil sendok adik nya dan melemparkan nya ke kepala Erik. Geram dengan teriakan tak sopan Erik. Tak masalah jika hanya bunda yang mendengar nya, tapi bagaimana jika tetangga ikut mendengar omongan tak beraturan Erik?! “Mulut nya, abang!” Nanda berteriak, mengejar Erik yang menyusul bunda nya ke tempat pencucian piring. “Anak bunda masa chat an sama om om sih.” Erik mengadu, mengangkat tinggi tinggi ponsel Nanda agar dia tidak bisa menjangkau nya. “Bukan om om, bang!” Nanda berujar pelan, sudah lelah berteriak sedari tadi. Tangan nya menarik lengan Erik yang mengangkat ponsel nya tinggi. Bunda hanya mendengarkan, melirik mereka sekilas lalu mulai me-lap piring nya sebelum manaruh nya ke rak piring. “Foto profil nya aja pake jas dokter, berarti udah kerja, udah om om.” Erik memberikan ponsel Nanda pada bunda, dia berbalik menghadap Nanda, tersenyum mengejek. “Umur nya aja sama kayak abang! Cuman dia nya aja yang pinter, nggak kayak abang!” Nanda menarik Erik menjauh dari bunda. “Bunda, bukan om om loh, bun….”  Nanda berbisik merengek, membiarkan bunda nya melihat foto profil Gilang yang mengenakan jas dokter nya sambil tersenyum ke arah kamera. “Dokter yang nolongin adik kamu dulu kan?” Bunda bertanya, meng-zoom foto Gilang beberapa kali sambil tersenyum. Nanda hanya mengangguk, berucap sekali lagi jika dia bukan om om. “23 tahun kan? Masih muda kok….” Bunda tersenyum, memberikan ponsel nya pada Nanda. “Dokter nya juga ganteng, bawa ke rumah gih….” Bunda berlalu, menyusul suami nya yang menonton TV di ruang tamu. Ias yang tadi nya masih duduk di ruang makan mengikuti bunda nya di belakang, mengabaikan pudding coklat nya yang belum habis. Nanda berbalik menghadap Erik, tersenyum polos bermaksud mengejek. “Tuhh, malah di suruh main ke rumah kan….” Erik menghembuskan nafas lelah, mengangguk pasrah saat Nanda meninggalkan nya yang masih di dapur. *** “Abang, bangun….” “Bang?” “Ada pacar abang di bawah.” “Kebo gila!” “Bang! Ada kebakaran!” “Ih, bang! Gempa loh ini! Nggak kerasa?!” “Abang!! Bangun!!” “Abang.” Nanda mengerang tertahan. Tangan nya sedari tadi menggoyang tubuh Erik dan abang nya itu tidak bergerak sama sekali. “Abang nggak mati, kan?” Nanda mengecek nafas Erik dengan menaruh jari nya di hidung Erik. Erik dengan kasar menampik tangan Nanda, membalik tubuh nya membelakangi Nanda. “b**o anjir.” “Pacar abang ada di bawah, masih pakai seragam SMA masa….” Erik terduduk, melihat jam yang ada di nakas dan mengambil ponsel nya, melihat ada puluhan notifikasi dari orang yang sama. “Ini udah malem loh bang, masa pacar abang berani ke sini sih….” Nanda bergumam, mengikuti Erik yang berjalan cepat ke ruang tamu tanpa bersusah payah untuk membasuh wajah nya. dasar! Semua laki-laki sama saja! Tidak memperhatikan penampilan bahkan saat bertemu dengan pujaan hati mereka. “Ngapain kamu kesini?” Erik bertanya gamblang, tidak memperhatikan saat nada suara nya terkesan tidak suka. Pacar Erik berdiri saat melihat Erik berdiri di hadapan nya. Wajah nya kacau, potongan rambut nya tak beraturan, terlalu ketara jika itu di gunting paksa. Erik mendekat, menaruh tas pacar nya yang masih dia tenteng di meja. Bertanya sekali lagi. “Ada apa?” Nanda menjauh, mencari bunda nya saat pacar Erik malah menangis sesegukan. “Ada apa?” Erik masih tertanya, menghapus air mata pacar nya, menyuruh nya untuk bercerita apa yang terjadi. “Ada yang ngunciin aku di gudang belakang, aku udah telpon kamu tapi nggak kamu angkat.” “Gimana kamu bisa keluar?” “Ada pak satpam keliling. Aku teriak minta tolong, terus di bukain sama dia nya.” “Maaf.” Erik meminta maaf, memeluk tubuh pacar nya yang menggigil. Dia melihat ibu dan Nanda menghampiri nya dengan raut wajah khawatir. Erik bergumam ‘selimut’ pelan, Nanda yang mengerti segera naik ke atas, mengambil selimut yang menjadi persediaan bagi keluarga mereka di gudang. “Baju aku basah, jadi aku pake seragam sekolah ku yang dulu. Tapi di jalan malah hujan, udah malam. Jadi ibu kost nggak bakal bukain gerbang nya buat aku.” “….” “Aku nggak tau mau kemana lagi. Buat ke hotel tapi uang aku di ambil sama mereka. Buat cari ojek aja nggak bisa. Aku jalan kaki ke sini, kaki aku sakit, apalagi banyak cowok yang ngeliatin aku tadi.” “….” “Aku nggak tau mau kemana lagi. Yang aku pikirin cuman kamu.” “….” “Maaf, aku malah ke rumah kamu.” “Nggak pa pa kok, masih ada satu kamar kosong di sini, kamu bisa tidur di sana kalau kamu mau.” Bunda mendekat, Erik melepas pelukan nya. Membiarkan bunda nya yang mengurus dan dia ke dapur, membuat teh hangat untuk pacar nya. Nanda mendekat, memberikan selimut nya pada bunda untuk di pakaikan ke tubuh Vanya –pacar Erik-. *** Ayah, bunda, Erik dan Nanda tertunduk lesu di dapur. Rasa cemas dan khawatir terlihat cemas di wajah mereka, terutama si Erik. “Gimana?” Nanda berbisik pelan. Takut Vanya akan datang memergoki mereka. Erik menghembuskan napas. “Bawa balik ke RS, mau gimana lagi?” “Nggak ada yang nganterin. Gimana kalau kamu telpon pihak rumah sakit nya?” Erik menggeleng. “Aku nggak punya nomer nya.” “Apa nama rumah sakit nya? Biar aku cariin di internet.” “Pelita Indah.” Nanda segera mengeluarkan ponsel nya, mengetikkan rumah sakit Pelita Indah. Lalu berdecak saat tak menemukan satupun rumah sakit dimana Vanya melarikan diri. “Nggak ada!” “Yakin? Dia sendiri yang bilang kalau kabur dari sana.” Tangan Erik terulur. Merebut ponsel Nanda dan mencari sendiri nomor ponsel yang diinginkan nya. Lalu berdecak saat tak menemukan satupun rumah sakit yang cocok. “Di bohongin kamu! Bunda kalau jadi dia juga nggak mau ngomongin semua nya sama kamu.” “Bun, dia temen aku loh.” Erik memperingati. Sedangkan bunda mendelik pada nya. “Mantan! Kamu sendiri yang bilang udah putus dari tahun kemarin!” “Kan tetep aja pernah jadi pacar aku.” “Kalau tau dia mantan kamu yang dulu itu, nggak bakalan aku bukain pintu!” “Astagfirullah, bunda!” Nanda mencicit. Bunda nya memang terkadang kejam, selalu menyuarakan isi hati nya tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Tidak peduli jika perkataan nya akan melukai perasaan orang yang ada di sekitar nya. Erik yang sudah paham betul tabiat bunda nya hanya diam, tidak menggubris apa yang bunda katakan. “Kamu juga yang salah! Kenapa nggak bawa pacar baru kamu ke rumah?! Biar nggak ada kesalahpahaman begini!” “Dia nya nggak mau! Kan baru jadian, masa langsung aku bawa ke rumah?” Bunda melotot. Tangan nya mencapit hidung Erik keras. “Terus mau kamu bawa ke dasar lautan yang paling dalam biar ketemu spongebob gitu?!” “Bunda kok malah bercanda sih?” Bunda melepaskan capitan nya. “Bukan nya udah setahun lebih? Kenapa belum sembuh dia nya?” “Kan sakit nya parah, bunda. Halusinasi itu bukan hal yang bisa di remehkan! Apalagi dia sering kabur terus.” “Ngapain kamu pacarin sih?” Erik tersenyum bodoh. “Dia cantik.” “Cantikan mana sama adek kamu ini?” “Cantikan Ias lah.” Nanda menunjuk diri nya sendiri. “Aku?” “Kamu adek aku?” Erik mengerang kecil saat bunda dan Nanda menoyor nya secara bersamaan. Erik mencibir sambil mengelus dahi nya pelan. “Main fisik dih.” “Kamu tanya sama temen nya gih, siapa tau mereka ngerti dimana RS nya.” Baru saja Erik mengangguk dan hendak menelpon teman Vanya yang dia kenal, orang yang mereka bicarakan sudah menjawab nya sendiri. “RS Kasih Bunda.” “Aku udah sembuh kok! Psikiater aku yang bilang sendiri. Aku kemaren langsung kesini buat ngabarin ke kamu kalau aku udah sembuh.” Vanya tersenyum, berdiri di samping tembok pembatas antara dapur dan ruang makan. Bohong! Jelas bohong. Semalam Vanya mengatakan dengan jelas jika ada yang mengunci nya di gudang dan keluar karena bantuan pak satpam, menandakan jika dia masih mengalami halusinasi. Belum lagi Vanya datang ke rumah nya tengah malam dengan berurai mata daripada tersenyum pada nya. Dengan sabar Erik mendekati Vanya, mengelus pundak nya. “Boleh aku telpon psikiater kamu? cuman buat ngabarin kalau kamu ada disini.” Vanya mengangguk semangat, memberikan ponsel nya yang mati pada Erik. “Boleh. Tapi aku boleh tanya satu hal sama kamu nggak?” Erik menghidupkan ponsel Vanya, menunggu sambil mengetukkan jari nya di layar ponsel. “Tanya apa?” “Kamu selingkuh ya?” Erik menghentikan gerakan ketukan nya. Mata nya menatap mata Vanya menilai. “Enggak! Kan aku cuman punya satu pacar.” “Siapa pacar kamu?” Mengabaikan pertanyaan Vanya, Erik segera mengetikkan pesan, mengirim nya cepat sebelum Vanya mengambil ponsel nya kembali. “Aku tanya loh ini.” “Makan yuk.” Tangan Vanya memegang lengan Erik. “Erik, aku tanya sama kamu.” Erik berdeham, menoleh ke belakang menatap keluarga nya yang menyaksikan drama singkat antara mereka. “Kamu. Pacar aku cuman kamu. Ayo makan!” Vanya tersenyum. Mengangguk lalu menggandeng erat lengan Erik, mendahului duduk di kursi samping Erik. Mereka yang berdiri di belakang Erik mengikuti dari belakang. Suasana di ruang makan menjadi canggung, Erik dan Nanda yang biasa nya ber-cekcok kini hanya diam saja. Ayah yang memang dasar nya pendiam hanya meminum kopi nya sambil membaca koran harian. Bunda sibuk menyiapkan bekal untuk Ias ke sekolah. “Maaf kalau kekecilan.” Nanda bergumam. Vanya yang memang tidak membawa baju ganti memakai pakaian Nanda yang memang tubuh nya lebih kecil dari nya. “Nggak pa-pa kok, nggak terlalu kecil banget.” Vanya tersenyum, wajah nya sudah tidak sekacau semalam, rambut nya juga sudah Nanda potong rapi tadi pagi. Mereka makan dengan canggung. Nanda sesekali melihat notifikasi di ponsel nya tapi tidak berani membuka nya. Saat selesai makan barulah Nanda membuka pesan nya. Gilang.M Sorry, gue nggak bisa nganter. Gue di rs sejak semalem, lagi ada masalah. G.Nanda.T Gpp, gue bisa bareng ayah gue nanti.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN