bc

Bosku Mantan Pacarku

book_age18+
476
IKUTI
8.7K
BACA
revenge
love-triangle
family
HE
second chance
friends to lovers
boss
heir/heiress
drama
sweet
bxg
kicking
city
office/work place
childhood crush
disappearance
enimies to lovers
assistant
stubborn
like
intro-logo
Uraian

Pengangguran, tanpa tabungan, tanpa masa depan, lengkap sudah penderitaan yang Mia hadapi.

Satu-satunya yang masih dia miliki adalah Aksa, sang pacar yang tampan dan mapan yang setia menemainya selama lima tahun belakangan.

Sampai tiba-tiba sebuah tawaran pekerjaan membuatnya kembali memiliki harapan, sayangnya pekerjaan itu berhubungan dengan sang mantan.

Mia kebingungan.

Satu sisi memiliki pekerjaan membuatnya bahagia, tapi sisi lain juga menjauhkannya dari Aksa. Lantas apakah lebih baik dia menganggur saja? Tapi Mia yakin dia tidak akan tergoda, sekalipun mantannya itu sudah berubah menjadi sosok yang berbeda.

chap-preview
Pratinjau gratis
PART 1: Bertemu Kembali
Marin selalu bilang bahwa hari buruk tidak ada di kalender, oleh karena itu dia berpesan agar aku selalu mempersiapkan diri. Tapi dari semua kemungkinan yang bisa kuprediksi, dari semua ketidakberuntungan yang sudah kulalui, dan dari semua kebetulan yang ada di dunia ini, jelas situasi ini adalah sesuatu yang tidak kuharapkan akan terjadi. Maksudku bagaimana mungkin seseorang yang bahkan sudah tidak kutemui hampir sembilan tahun lamanya mendadak nongol di hadapanku. Laki-laki itu bahkan terlihat sama terkejutnya denganku, matanya yang sipit memicing hingga meninggalkan satu garis tipis, menunduk memastikan sesuatu di berkas yang ada di atas meja, lalu memandang padaku lagi. Begitu terus beberapa kali sampai akhirnya dia yakin bahwa yang dilihatnya bukan sekedar halusinasi. "Laksita Mia?" tanyanya lebih seperti ingin memastikan diri sendiri. Namaku terdengar canggung di suaranya yang berat dan serak. Seolah ada duri yang mengganjal di tenggorokannya. "Ranjero Sima?" Tidak, aku bukan sedang membalas menyebutkan namanya. Tapi aku sedang takjub melihat betapa berbeda penampilannya saat ini. Tidak ada lagi tubuh cungkring, tidak ada lagi kacamata berbingkai tebal, dan tidak ada lagi seragam kebesaran, semuanya telah menguap dan tergantikan dengan seorang laki-laki dewasa berwajah matang dengan penampilan rapi yang sejenak sulit kukenali. Laki-laki itu kemudian berdeham lalu mengangguk dan mempersilakanku duduk. Keterkejutan di matanya bahkan belum sepenuhnya hilang. Yah, seharusnya dia tahu, dia kan sudah membaca CV-ku atau karena banyaknya kandidat yang harus dia wawancarai, dia jadi kehilangan konsentrasi? "Apa kabar?" Aku tahu aku seharusnya tidak menanyakan itu dan kami tidak berada di situasi yang tepat untuk berbasa-basi, tapi aku tidak bisa menahan diri, mengingat pertemuan terakhir kami sangat memalukan, atau lebih tepatnya sangat menyakitkan. Aku meringis meralat pertanyaanku. "Terima kasih sudah memberikan saya kesempatan untuk mengikuti tes wawancara kerja ini, Pak." Sebelah alisnya terangkat mendengar panggilanku. "Pak?" ulangnya mengejek. "Iya." "Lucu." Tapi dia tidak tertawa, sebaliknya laki-laki itu justru mulai membolak-balik berkas lamaranku. "Terus saya harus panggil apa?" Laki-laki itu diam seperti memikirkan sesuatu sebelum akhirnya menjawab. "Ran." Hanya Ran. He's always be Ran. Aku menelan ludah susah payah. Aku tidak tahu bagaimana sosok diriku dalam ingatannya, tapi yang pasti dia membekas di hatiku sebagai yang paling membuatku merasa bersalah. Ran yang menyenangkan, Ran yang sopan, Ran yang selalu hadir di momen-momen penting dalam masa ... "Laksita Mia?" Aku terenyak kembali pada sosok di hadapanku, sementara Ran sedang menatapku dengan kedua alisnya yang tampak menyatu. Aku seketika duduk tegak. "Sorry." "Bisa kita mulai sekarang?" "Bisa Pak, maksud saya Ran." "Oke." Dia berkata serius. "Saya sudah baca semua berkas lamaran kamu, semuanya oke, bagus, beberapa hal seperti pengalaman kamu di UKM juga membuat saya terkesan. Tapi ..." Nah inilah masalahnya, momen buruk kedua yang membuatku auto mati kutu. "Kamu yakin mau melamar pekerjaan ini?" Benar, kan! Aku menutup mata sejenak untuk menahan hawa panas yang perlahan merambat ke wajahku sebelum menyahut. "Iya." Kerutan di dahi Ran terlihat semakin dalam. "Minimal lulusan SMA, apa kamu nggak akan merasa kalau karir kamu—oh!" Tiba-tiba dia sadar. Iya dia pasti akhirnya mengerti karena melihat bagian pengalaman di CV-ku masih kosong, yang itu artinya aku belum pernah bekerja, yang itu artinya aku masih pengangguran selama empat tahun setelah di wisuda. Double kill. Inilah yang disebut Marin dengan hari buruk tidak ada di kalender, si pengangguran yang sudah pontang-panting mencari pekerjaan harus berhadapan dengan sang mantan yang sekarang menjadi pewawancara kerjanya. Aku benar-benar sial. "Gimana?" Aku akhirnya memberanikan diri bertanya karena melihat dia diam saja. "Good then." What's good Ran? Aku ingin menjerit bahkan mengguncang tubuhnya, tapi aku sadar tidak pantas berperilaku bar-bar, jadi sebagai gantinya aku hanya meremas tanganku di bawah meja. Tenang Mia, tidak ada yang salah dengan pekerjaan yang kulamar sebagai kasir di kafe ini, yang penting halal. "Kalau kamu nggak keberatan, saya bisa jadikan kamu bahan pertimbangan." "Saya nggak keberatan," jawabku berusaha tegar. "Tapi kami nggak bisa kasih kamu salary sesuai dengan gelar kamu dan kami akan samakan dengan karyawan lain yang hanya tamatan SMA." Matanya terangkat menatapku. "Kamu nggak keberatan juga soal itu?" Aku mengangguk. "Yang penting saya bisa dikasih kesempatan untuk kerja dan menunjukkan kualitas diri saya." "Tapi kamu belum memiliki pengalaman." "Saya bisa belajar." "Dan usia kamu juga nggak muda lagi." "Di persyaratan tertera pelamar maksimal berusia tiga puluh tahun." “Dan secara penampilan—“ Apa? Apa dia mau berkata tubuhku yang sering dibilang Marin sebagai kemasan sachet ini kurang proporsional? Kurang good looking? Aku tuh heran ya, zaman sekarang cari kerja pasti selalu ada persyaratan tidak masuk akal itu. Lantas bagaimana yang diberkahi wajah-wajah jelek dari Tuhan? Apa kami harus pasrah selamanya jadi pengangguran? "Cukup oke," kata Ran melanjutkan. Aku sontak mendengus. Cukup oke, hanya oke. Baiklah. "Ada lagi?" "Kami juga membutuhkan karyawan yang belum menikah." Memangnya dia tidak bisa baca di situ bahwa statusku masih lajang? "Termasuk yang belum menikah tapi akan menikah dalam waktu dekat," lanjutnya menekankan seolah bisa membaca pikiranku. Di bagian ini mendadak aku terdiam cukup lama, mungkin saking lamanya sampai membuat Ran mendongak dan memperhatikanku. "Kamu?" "Iya." Aku menggeleng. "Maksudku aku nggak akan menikah dalam waktu dekat." "Tapi kalau pacar?" "Apa?" "Punya?" "Gi-gimana?" "Kamu punya kebiasaan mengulangi pertanyaan saya, ya." Ran menggeleng samar lalu dengan tegas mencoret sesuatu di lembar kertas lamaranku. Apa maksudnya? Apakah itu artinya aku tidak memenuhi kualifikasi? Tapi apa hubungannya dengan pertanyaannya tadi? "Saya rasa pertanyaan Bapak sudah di luar konteks." Aku sengaja menggunakan kembali panggilan 'Pak' untuk membuatnya sadar. "I know." Tapi Ran tampak tidak peduli. Dia kemudian merapikan berkas-berkasku di atas meja dan bersiap menutup sesi wawancara kami. "Karena saya masih harus mewawancarai kandidat yang lain, hasilnya kemungkinan akan saya umumkan paling lambat besok," katanya menjelaskan. "Ada lagi yang ingin ditanyakan?" Aku menggeleng. "Cukup." "Oke." Dia menggeser berkasku lalu mengulurkan tangannya. Sejenak aku hanya memandangi tangan itu. Tangan yang kuat, kokoh, dengan gurat-gurat kehidupan. Lalu perlahan aku pun mengulurkan tanganku, begitu mungil di jabatan tangannya. Kontak itu hanya berlangsung sepersekian detik, tapi hawa panasnya seperti menempel di telapak tanganku lalu merayap naik menuju wajahku. Sebelum merasa lebih malu lagi, aku buru-buru pamit undur diri. Tapi baru saja aku akan melangkah keluar dengan tangan sudah siap di knop pintu, Ran kembali memanggilku. "Mia?" Ini adalah pertama kalinya sejak kami bertemu dia memanggil dengan nama panggilanku bukan nama lengkap yang formal. Tapi nama itu bahkan terdengar lebih aneh di bibirnya, seakan dia terpaksa mengerahkan seluruh tenaga untuk mengucapkannya. "Ya?" Aku menoleh untuk menghormatinya. "I'm fine." "Excuse me?" "Tadi kamu tanya kabar saya." Bahunya terangkat. "Seperti yang kamu lihat, saya baik-baik aja." Tentu saja, aku tidak mengharapkan dia akan berkata yang sebaliknya. ***

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.6K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.4K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

TERNODA

read
198.6K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.2K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
54.7K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook