Dengan cekatan, Lilis melayani para pelanggannya. Menata nasi uduk yang di buat dadakan subuh tadi dengan lauk pauk sesuai keinginan pelanggan. "Maaf Bapak-bapak, saya sudah tidak bisa melayani Bapak-bapak untuk makan di warung." ujar Lilis. Setelah lima orang pria paruh baya sudah masuk dan duduk manis di warungnya. "Loh, kenapa begitu Neng Lilis? Itu bocah-bocah anteng-anteng aja pada makan." ujar Pak Dani. Pria lima puluh tahunan yang selalu telat membuka toko bangunannya sendiri demi makan seporsi nasi uduk Lilis selama berjam-jam lamanya. Entah bagaimana cara, Pak Dani selalu bisa menghabiskan seporsi nasi uduk Lilis dalam waktu tiga jam. "Iya Pak Dani, maaf, saya ada instruksi dari Bu RT dan Ibu-ibu komplek supaya tidak mengijinkan Bapak-bapak makan di warung. Paling, kalau Bapak-bapak mau, saya bisa bungkuskan nasinya." terang Lilis. Masih mempertahankan ke ramah tamahannya meski kedua tangannya sibuk. Membungkus puluhan nasi uduk pesanan Mbak Indah. Karyawan pabrik yang ikut menjual kembali nasi uduk Lilis di tempat kerjanya. Menurut Mbak Indah, nasi uduk Lilis enak, dia jadi tak perlu bersusah payah untuk mendapatkan pelanggan. Lilis pun terbantu dengan penjualan Mbak Indah yang mencapai tiga puluh bungkus perhari, hingga Lilis tak sungkan memberi tambahan beberapa bungkus untuk Mbak Indah sebagai bonus.
"Gak bisa gitu dong, Neng Lilis." keluh Pak Dani lagi. Pria pertama yang amat sangat kontra dengan peraturan yang baru saja Lilis terapkan. Tanpa berniat melirik para penggemarnya yang mengeluh kecewa, Lilis kembali bersuara. "Maaf Pak Dani, ini untuk kebaikan bersama. Saya udah gak mau di tuduh-tuduh menggoda suami orang." tukas Lilis, tegas dan jelas. "Lagian Pak Dani, ngotot banget mau makan di warungnya Teh Lilis. Bungkus aja Pak, makan di rumah sana, sama istrinya." protes Andi. Remaja lima belas tahun yang pro dengan peraturan baru Lilis. "Tapi saya kan sebentar lagi jadi duda Neng, jadi peraturan itu seharusnya gak berlaku buat saya, ya kan Neng Lilis?" sahut Pak Dani kekeh, tak mau mengalah. Andi baru saja menghabiskan nasi uduknya, sebelum kembali menyahut. "Ih Pak Dani, mau jadi duda aja bangga." "Jawab aja lu bocah!" protes Pak Dani, menghadiahi Andi jitakan keras, tepat di puncak kepalanya. Lilis hanya geleng-geleng kepala melihat kedua pelanggan setia yang berbeda usia itu.
Apa mau di kata, Lilis sudah tak ingin berurusan dengan ibu-ibu komplek yang bisa saja mengusirnya, seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Lilis yang sudah dua kali pindah komplek, sudah bosan dengan drama hidup seperti itu, Lilis capek!
Satu jam berlalu, Pak Dani dan kawan-kawan masih saja merengek pada Lilis agar di ijinkan duduk di warungnya dengan sepiring nasi uduk buatan tangannya. Sementara Lilis, sama keras kepalanya untuk tidak memberi toleransi apapun pada pria-pria tak tahu malu itu. Yang pada akhirnya menyerah juga. Meminta Lilis untuk membungkus nasi uduk dengan lauk ayam goreng. "Makasih banyak ya, Pak Dani." ucap Lilis. Mengulurkan sebuah keresek hitam berisi nasi uduk yang masih terbungkus rapi. "Neng Lilis gak asik." jawab Pak Dani ketus. Meninggalkan warung Lilis dengan wajah tertekuk. Lilis mengulum senyum. Geli dengan tingkah kekanakan pria berkumis tebal itu.
Lilis melirik jam dinding usang di warungnya yang masih saja ramai. Masih pukul setengah sembilan, tapi Lilis sudah di buat mual akan kehadiran Kong Jenal. Laki-laki bercucu empat yang dengan percaya dirinya yang tinggi berharap memperistri Lilis. Menjanjikan sebuah rumah toko yang bisa memfasilitasi jualan Lilis. Membujuk Lilis dengan emas-emas tebal yang akan menghiasi lengannya. Janji-janji manis yang keluar dari mulut keriput Kong Jenal selalu berhasil membuat kepala Lilis pusing bahkan nyaris muntah.
"Neng Lilis tega banget sama Abang, masa makan nasi uduk di sini aja gak boleh. Abang kan bayar Neng, bukan minta." keluh Kong Jenal. Berdiri di ambang pintu dengan kaki gemetaran. Maklum, usia Kong Jenal sudah menyentuh kepala tujuh, kepercayaan dirinya saja yang menjulang tinggi hingga langit ke tujuh. "Maaf Kong, eh Bang Jenal" ralat Lilis saat ia ingat bahwa Kong Jenal tak pernah rela di 'tua'kan olehnya. Bahkan meminta Lilis untuk memanggilnya dengan sebutan abang. "Saya di instruksikan Bu RT dan Ibu-ibu komplek di sini untuk melarang para Bapak-bapak makan di warung." tambah Lilis menjelaskan dengan nada lembut. Lilis bukan sedang tebar pesona dengan kelembutannya. Lilis hanya ingin ramah kepada semua pembelinya tanpa pandang bulu. Sialnya, hal ini selalu di salah artikan oleh para laki-laki yang tak tahu diri.
"Neng Lilis kan tahu rumah Abang jauh. Masa, Abang bolak-balik ke rumah masih kelaparan." kata Kong Jenal berkilah. "Kalau Abang makan disini, perut kenyang, balik ke rumah ada tenaganya Neng!" tambahnya, membagi senyum lebar hingga menampilkan barisan gigi palsunya. Lilis tidak bisa menahan diri untuk tidak bergidik ngeri melihat kedua alis Kong Jenal bergerak-gerak menggodanya. Sumpah demi apapun, Lilis sama sekali tak tergoda. Lebih kepada enek akan tindak-tanduk kakek beruban lebat itu. Lilis mendengus halus, saat harus kembali membujuk para pelanggannya. "Saya bungkusin aja ya Bang." tawar Lilis lurus-lurus.
"Kong... " teriak Fani. Gadis delapan belas tahun, yang baru saja lulus SMA. Di tunjuk keluarganya untuk menjaga Kong Jenal yang sayangnya nakal. Untunglah, nakalnya Kong Jenal hanya sampai warung Lilis. "Teh Lilis, kan Fani udah bilang sama Teh Lilis, kalau Kong Jenal di sini, telepon Fani! Biar Fani jemput pake motor, capek tahu nyari-nyari ni aki-aki sampai sini." keluh Fani. Protes pada Lilis yang tak salah apa-apa. "Saya masih bungkusin nasi Fan, maaf ya." jawab Lilis membagi senyum yang menenangkan. Lilis yang kedua tangannya tak berhenti bekerja, mana mungkin sempat mengabari Fani akan kehadiran Kong Jenal yang lagi-lagi kabur dari pengawasannya.
Akhirnya, Lilis di selamatkan oleh Fani, yang membawa pulang Kong Jenal beserta dua bungkus nasi uduk berlauk tahu dan tempe bacem.
Entah sudah berapa kali Lilis berpidato, mengumumkan dan menjelaskan kepada para penggemarnya tentang peraturan baru di warungnya. Dan kontra kali ini datang dari Beni, tukang bangunan handal berbadan kekar. Pengakuannya, badan kekarnya di raih atas hasil kerja kerasnya berolahraga dengan batu-bata. "Lah, Lilis kan tahu istri Abang di kampung. Jadi Abang di sini bujangan Lis." aku Beni yang saat itu juga di hadiahi sabetan koran di d**a bidangnya. Pelaku kekerasan itu bukan Lilis, melainkan Mpok Minah. Janda lima anak yang lebih sering ngutang dari pada bayar. Alasannya selalu sama, penghasilannya sebagai loper koran saja tak bisa menutupi kebutuhannya sehari-hari apalagi untuk bayar utang nasi uduk yang mengunung.
"Lu tuh ya Ben, istri di kampung, malah di jadiin kesempatan buat godain si Lilis. Gak bersyukur banget sih lu!" hardik Mpok Minah. Beni yang masih mengelus-elus dadanya yang di tampar koran menyahut, "Ya mau gimana lagi Mpok, Bapak-bapak di sini aja yang tinggal sama istri-istrinya masih ganjen sama Lilis. Apalagi saya yang sering puasa." ujar Beni berkelit. Tersenyum lebar bagai kuda.
'Plak!'
"Aduh... " jerit Beni, saat koran di tangan Mpok Minah hinggap dengan keras di puncak kepalanya. "Laki-laki kayak lu gini nih, yang bikin gue naik darah. Rasanya pengen gorok leher aja udah." sungut Mpok Minah mengepalkan telapak tangannya di udara dengan gemas. "Serem banget Mpok ih!" lirih Beni. Menjauhkan kepalanya ke belakang meski tak mengubah posisi tubuhnya. "Nih gue korbannya! Jadi janda berkali-kali gara-gara laki-laki yang gak bisa bersyukur. Udah punya satu, mau dua. Mending kalau segala ada. Lah ini, kasih nafkah dua puluh rebu aja, berlagak!" gerutu Mpok Minah yang tak bisa menahan amarah. "Ya udah lah Mpok, terima nasib aja." sahut Beni terkekeh kecil.
"Lilis... " teriak Pak Dani. Datang kembali ke warung Lilis bersama beberapa bapak-bapak lainnya. Nampaknya, Pak Dani sudah berhasil menghasut para suami-suami yang biasanya bisa menikmati nasi uduk di temani pemandangan pembuatnya. "Kita mau protes sama peraturan baru kamu, Lis!" kata Pak Dani lantang. Menanggalkan kata 'neng' yang biasanya selalu tersemat manis di depan nama Lilis. Rupanya pria yang ontheway menduda itu, tak terima jika harus kehilangan hiburan paginya memandangi Lilis. "Kamu jangan lupa! Warung kamu ramai kan karena kita-kita juga, iya gak Bapak-bapak?!" tambah Pak Dani mempertahankan suara lantangnya. Tanpa aba-aba, Beni pun ikut bergabung dengan bapak-bapak yang kontra akan peraturan baru Lilis. Sementara Mpok Minah, memilih bergerak ke sisi Lilis yang berada di dalam warungnya.
"Permisi-permisi! Ramai kali warung kau, Lis!" Jonathan yang saat itu berpakaian santai, tiba-tiba melesak masuk, ke dalam warung. Duduk manis di salah satu meja kosong dengan tatapan lurus, fokus pada Lilis tanpa terganggu dengan tatapan heran para laki-laki yang di naungi amarah. "Buatkan aku nasi uduk satu porsi ya, Lis." pintanya santai.
Lilis tak bergeming. Suasana hening. Beberapa saat semua orang saling melemparkan pandangan, saling menerka-nerka satu sama lain lewat tatapan mata. "Hey Bung!" panggil Beni selangkah lebih maju. Berhadapan dengan Jo yang tengah duduk santai. "Anda tidak tahu kalau di warung Lilis tidak melayani makan di tempat?!" tambahnya dengan gaya angkuh. Beni merasa percaya diri akan badannya yang lebih kekar dari pada milik Jo. "Begitu ya? Kalau aku tidak peduli, apa urusanmu?!" balas Jo dengan santainya. Jonathan yang saat itu mengenakan kaos berkerah dengan celana pendek denim, tak lekas melepas kacamata hitamnya. Jelas saja, Beni merasa di lecehkan oleh Jo yang tak kalah congkak.
'Bruuuk!'
"Aw... " jerit Jo meraih rahangnya sendiri, sesaat setelah Beni menghadiahkan Jo pukulan keras di rahang kirinya hingga mulut Jo mengeluarkan sedikit darah segar. Suasana gaduh pun tak terelakan. Apalagi saat para p****************g di belakang menyemangati Beni yang tengah bersiap memasang kuda-kuda. Jo bangkit dari tempat duduknya, bergerak mendekati Beni yang jauh lebih pendek darinya. Kedua pria berotot itu saling berhadapan.
"Stop!" teriak Lilis. "Bang Jo ini calon suami saya, jadi wajar kalau dia datang dan makan di sini." tambah Lilis menanggalkan suara lemah lembutnya, mengubahnya jadi suara tegas dan lugas.
Suasana hening kembali menguar di antara belasan orang disana.
Beberapa detik kemudian, Lilis melenguh. Pahan bahwa kalimat yang keluar dari mulutnya lah yang menyebabkan keheningan tercipta. Lilis lantas sadar, jika dia baru saja mengundang ulat bulu hinggap di tubuhnya.
***
Bersambung...