BAB 2

1041 Kata
Kafe cinta, konon banyak pasangan yang jadian di kafe ini. Tetapi aku tidak mau percaya hal menggelikan seperti itu. Aku ada di sini hanya karena satu hal, kencan buta. Siapa yang mengatur? Eyang putri, siapa yang punya ide? Eyang putri berkolaborasi dengan Bunda, dan siapa yang membawaku kemari? Kakak ipar tercintaku. Hampir setengah jam aku duduk menunggu pria yang katanya pilihan terbaik eyang. Aku sampai kembung kebanyan minum air. Satu gelas jus alpukat, satu botol air mineral dan satu gelas orange squash. Untung saja kafe ini punya suasana manis yang membuatku nyaman ada di sini. Mungkin suatu saat nanti aku bisa mampir ke sini atas kesadaran dan keinginanku sendiri. Tidak dengan paksaan Kak Milly yang bahkan mengancam akan memecatku. Memang jadi anak buah dan makan gaji itu gak enak. "Kecil banget ya dunia ini. Bisa ketemu 'tante' Dio di sini," sebuah suara membuyarkan lamunanku. Padahal aku sedang melamunkan Theo James nari-nari sexy di hadapanku. "Lo lagi," aku tersenyum manis pada Theo James KW. Bahkan aku membiarkan dia duduk di kursi yang harusnya diduduki pria kurang ajar yang sampai sekarang masih telat. "Lo habis ngelamun jorok? Ngeliat gue langsung m***m gitu. Gak basahkan lo?" Sialan! Mulut Arghani memang perlu digaramin. Dia berkata dengan kencang, sehingga beberapa orang di meja sekitarku meliriik penasaran. Gak melirik sih, lebih tepatnya menatap kami penasaran. "Lo mau gue garamin? Kali aja lo bisa awet muda," aku mendelik sinis. Tapi entah kenapa aku suka saja dengan gaya Arghani hari ini. Kaos slim fit berwarna cokelat muda dan celana biru dongker robek-robek. Kurang kece apa lagi coba? Ditambah kamera yang selalu tergantung di dadanya yang sandar-able banget itu. "Bibir lo boleh ngumpat. Tapi mata lo muja gue," Arghani menyandarkan punggungnya di kursi. Dia melipat tangannya di depan d**a. "Tapi sayang gue gak suka dikejar. Lagi pula gue sukanya yang masih segar, bukannya hampir expired model lo," lanjut Ghani menghinaku. Bukannya marah, aku justru merasa tertantang. Jika selama ini aku selalu tidak perduli dengan para pria yang menolakku, kini aku ingin melakukan hal berbeda. Mengejar Arghani mungkin bisa jadi proyek besar dalam hidupku tahun ini. "Lo mau jadi fotografer buat butik gue?" todongku langsung. Bodo amat dikatain gak tahu malu. Arghani mengernyitkan dahinya. Dan he is so hot! Aku pengen banget ngambil hape dan ngecekrek ini muka ajaib Ghani. Rasa-rasanya emang si Arghani ini penjahat kelamin dengan kemurahan hati. Kenapa aku bilang gitu? Soalnya Arghani ini pasti ayo aja jika ada perempuan yang minta dibelai. Gila dia gak akan rugi sedikit pun, malah dapat enak kali. Harusnya eyang dan bunda nyarinya yang model Ghani begini buat aku. "Tante m***m lo," Arghani bangun dari duduknya sambil bergidik ngeri. Aku? Cukup d**a cantik sambil berkata, "Besok aku ke studio ya ganteng!" Aku mau dikatain gila juga gak perduli. Entah kenapa rasanya aku terpancing aja ingin buat Arghani bertekuk lutut di hadapanku, ngemis-ngemis cinta gitu. Oke aku emang kebanyakan nonton film. "Diomira?" "s**t!" aku mengumpat langsung saat melihat pria yang sepertinya teman kencan butaku. "Eyang sama Bunda butuh operasi katarak kayaknya," umpatku lagi. Kalau yang datang mirip Arghani mungkin aku bisa pertimbangkan. Ini yang datang astaga! Mirip garfield cacingan! Kurus banget kayak tinggal tulang alias KUTILANG. Belum lagi mukanya yang aduh, jerawat segede gajah dimana-mana, plus rambut gondrong yang kayaknya peci aja bisa terbang dari itu kepala. Can anyone shoot me please? ••• "Aduh Eyang gak ada yang lebih gagah dari si Gagah tadi?" protesku langsung saat sampai rumah dan mendapati eyang dan bunda sedang ngeteh cantik di depan rumah. Aku sudah paham kelakuan ibu dan anak ini. Mereka mau lihat aku pulangnya diantar atau tidak. Mereka mau melihat senyum merekahku ketika pulang. Sayangnya yang mereka lihat ketika pulang adalah muka masamku dan yang mereka dengar adalah protesanku. "Loh nak Gagah segagah namanya kan ya?" eyang menyahut santai sambil menyesap teh manis dengan aroma kayu manis yang entah kenapa ngebuat aku ngiler. Aku menatap bunda memelas. "Bun udah lihat foto yang dikasih Eyang?" tanyaku memastikan. Biasanya eyang tidak pernah memberikan foto, tapi kemarin bunda meyakinkanku tentang foto pemberian eyang bahwa si 'Gagah' ini memang gagah. Bunda menyodorkanku selembar foto yang dikantonginya. "Ini disimpan di kantong buat jimat Bun?" celetukku asal. Aku menerima uluraan foto itu, menatap foto itu dengan biji mata hampir keluar. "Eyang kena tipu. Ini mah artis eyang! Masa gak tahu Justin Bieber sih. Bunda juga nih kok gak tahu ini artis?" omelku langsung. Bunda menaikkan bahunya acuh. Rasanya aku kepingin masuk ke dalam perut bunda saat beliau berkata, "Bunda tahu, cuma pengen tahu sih seamburadul apa orangnya. Ngeliat kamu hampir gila gini kayaknya jauh dari ekspetasi." Eyang dengan anggunnya tertawa senang. Entah di sini siapa yang b**o dan siapa yang pintar. Siapa yang kena tipu siapa yang menipu. Pokoknya aku mantap mau nyeret Arghani ke hadapan ibu dan anak ini. Aku menderap masuk ke dalam rumah. Sakit kepala mau pecah jika terus-terusan meladeni eyang dan bunda. Lebih baik aku susun rencana untuk menjebak Arghani. Gak pakai obat tidur kok tenang aja, cuma pakai akal licik dikit aja. Aku mencari kartu nama Arghani yang pernah diberikan Kesi. Aku mendapatkan nomor ponsel sekaligus lokasi studionya. Senyumku mengembang senang, gak perlu nunggu besok buat meneror Arghani. Aku mendial nomor ponsel Arghani. Menunggu nada sambung berbunyi hingga terdengar suara berat di ujung sana. Oh ya ampun suaranya itu, buat merinding cuy! "Ghani ini gue Dio," ujarku langsung. "Ya Allah ini Tante kok bisa tahu nomor gue?" aku dapat mendengar suara protes dan pekikan kaget tertahan dari sambungan telepon. Aku puas tertawa kecil, rasanya menyenangkan sekali mengerjai Arghani ini. "Besok di studio ya. Dandan yang cakep Ghan," kataku yang sengaja membuat suaraku terdengar sehalus beludru. "Gue mau minggat besok. Lo jangan datang ke studio atau gue siapin penembak jitu buat nembak lo!" ancam Arghani yang langsung memutuskan sambungan telepon. Aku tertawa senang, rasanya mendengar Arghani marah-marah saja rasanya sudah menyenangkan. Apa lagi melihat wajah tampannya yang entah kenapa sedap aja buat dilihat. Belum lagi d**a bidangnya minta banget buat dipukul-pukul manja itu. Arghani mah dibawa ke acara pesta gak bakal malu-maluin. Eh tapi dia ini normal gak ya? Masa udah 35 belum nikah juga, kayaknya malah jomblo sih. Tapi kemarin jalan sama anak SMA sih, suka daun muda kali ya. Aku masih bisa kelihatan kayak anak SMA kok kalau dipakaikan seragam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN