BAB 3

1111 Kata
Aku pagi-pagi sekali sudah rapi dengan kemeja sifon berwarna biru dongker dan celana kulot abu-abu muda. Sebenarnya aku sudah bangun sejak subuh, aku langsung mandi sehabis subuhan dan berkutat dengan rambutku. Aku menata rambutku sedemikian rupa sehingga dibuat curly di bawah. Aku tentunya mematut diriku untuk terakhir kalinya di depan cermin. Memastikan bahwa tidak ada yang salah dari riasanku. Alis sudah sama besar dan panjang, tidak ada bekas lipstik di gigi dan tentunya bedak tidak terlalu putih dan merata. "Mari kita kunjungi Arghani!" ucapku bersemangat dan langsung menyambar tas kerjaku. Aku keluar kamar dan langsung disambut dengan gelak tawa di meja makan. Kebetulan memang kamarku di bawah, dulu pernah kepingin punya kamar di lantai atas, tapi jelas saja aku kalah dari Bang Abraham yang jelas lahir lebih dulu. Tentunya sebelum aku bisa tidur sendiri, abangku itu sudah lebih dahulu tidur sendirian. "Cantik banget Di. Mau kemana?" tanya bunda ketika aku menarik kursi di sebelah eyang. Kini eyang, Kak Milly dan Bang Abraham memandangiku dengan alis berkerut. Memangnya aku dandan super begini salah? "Mau cari mangsa buat dijadiin suami," sahutku santai. Aku menyentong nasi kuning buatan bunda dengan porsi sedang. Bahaya kalau banyak makan perut jadi buncit, nanti kalau Arghani lihat jadi ilfil. Tentunya usaha yang harus dilakukan adalah tampil sebaik mungkin. "Kayak ada aja yang mau lo mangsa Dek," celetuk abangku yang memang selalu menjatuhkan adik tercantiknya ini. Eyang tertawa kecil dan ikut-ikutan meledekku dengan berkata, "Orang yang gak banget model Gagah aja ogah sama kamu Di. Tapi Eyang masih ada stok satu sih." Aku mencebikkan bibirku kesal. Malu sih diledekin soal pria melulu setiap hari. Cuma ya namanya belum jodoh mau gimana kan? Kalau Arghani mah kudu jadi jodohku sebelum bendera kuning berkibar. "Gak mau ah. Nanti gak bener lagi kayak kemarin," tolakku langsung. "Emang selain ternak jerawat si Gagah ini salah apa lagi Di?" tanya Kak Milly. "Dia itu terobsesi sama kisah disney yang beauty and the beast itu Kak. Bayangin aja dia nganggap dengan nikah sama aku muka dia itu bisa mulus aduhay mirip p****t bayi," ceritaku menggebu-gebu. Serius ini gak bohong kok, kemarin si Gagah memang cerita begitu dan jujur aja aku langsung enek. Semua yang ada di meja makan tertawa tebahak-bahak, bahkan eyang putri pun ikut tertawa sampai matanya berarir. Demi apa aku pagi-pagi udah jadi komedian aja. Tapi gak papa, ini pagi yang bagus. Siapa tau niatku berjalan sukses dan lancar "Semuanya Dio pamit dulu ya. Kak Milly do'ain Dio bisa mendapatkan fotografer baru buat butik," pamitku sambil mengedipkan sebelah mataku ke arah Kak Milly yang tertawa paham. "Jangan buat butik aja loh Di. Kakak tunggu kabar bahagianya!" teriak Kak Milly yang kemudian terdengar suara peringatan dari eyang. Begitulah eyang, jika beliau sudah datang ke sini, maka semua perempuan di rumah ini akan berubah menjadi ayu tenan. Baik wajah yang penuh senyum, nada suara lembut dan tingkah yang sopan. Meskipun terkadang eyang masih suka kecolongan jika aku dan Kak Milly bertingkah. Kak Milly memang kakak iparku, tapi dia sudah dianggap eyang dan bunda seperti cucu dan anak sendiri. Tidak ada perbedaan antara Kak Milly dan aku. Itulah yang aku sukai dari eyang dan bunda yang tetap bisa berlaku adil. Gak kayak yang suka di sinetron itu, menantu suka disiksa mertua. ••• "Saya mau ketemu Arghani," aku langsung menyampaikan maksud kedatanganku saat respsionis belum sempat bertanya padaku. Aku tersenyum manis saat si resepsionis memintaku menunggu. Dia memintaku untuk duduk di sofa yang memang disediakan khusus di sana. Aku tentu saja menurut, duduk sambil memperhatikan suasana studio. Memang sih studio milik Arghani tidak begitu besar. Hanya sebuah ruko kecil tapi entah kenapa terasa nyaman. Bahkan di sini saja wanginya luar biasa, bagaimana di dalam studio, pasti lebih wangi. Jika aku tidak salah, wangi ruangan ini didominasi dengan wangi stroberi. "Lah ini Tante ngapain di sini?" Aku menatap anak SMA yang pernah menjadi teman nonton Arghani. Demi apa dia ada di sini? Emang ini bocah kagak sekolah apa ya? "Eh bocah gak sekolah? Bolos mulu, gimana mau sukses," ujarku rada nyinyir. Bodo amat lah ya, anak SMA doang ini juga. Mau main cakar-cakaran juga ayo aku jabanin. Mau bertarung juga aku gak keberatan. "Namaku Ghiska! Lagian aku ini udah kuliah bukan anak SMA lagi," katanya membalas ucapanku sebelumnya. Aku meringis malu saat beberapa orang yang lewat di dekat kami menatap penasaran. Lagian ini anak kenapa juga harus berbadan kecil mirip anak SMA. Lagian biasanya anak kuliahan juga udah pintar dandan, lah ini anak polos abis mukanya. "Mau ngapain lo ke sini?" Arghani datang menyela. Dia terlihat tidak senang mendapati sosokku di sini. "Mas ngapain sih berhubungan sama ini Tante?" Ghiska justru menyela dengan cepat dan menunjukku dengan tidak sopannya. Sabar, aku harus sabar. Aku akan jadi perempuan anggun kali ini. Tapi takut juga aku kelepasan membanting si Ghiska ini ke lantai. Maklum mantan atlet taekwondo, suka kebawa suasana. "Gue kemari karena ada urusan pekerjaan. Lo anak kecil gak usah ikut campur," ujarku dengan suara tenang. Arghani melipat tangannya di depan d**a. Dia menatapku yang kini berdiri berhadapan dengannya. Aku tidak akan takut dengan intimidasi tatapan tajam Arghani. Ghiska menghentakkan kakinya kesal. Mungkin dia geli melihat aku dan Arghani yang justru adu ketahanan tatapan mata tajam. Lama-lama nangis nih aku saking perihnya belum berkedip. "Ya udah deh. Ntar balik kuliah Ghiska mampir lagi. Udah telat nih," kata Ghiska yang akhirnya pergi begitu saja. Aku menghela napas pelan dan akhirnya menyerah dengan mengalihkan tatapan mata ke arah lain. Setidaknya si curut pengganggu sudah pergi dan tentunya tidak akan membuatku mundur. Aku harus mengutarakan maksud kedaatanganku ke sini. "Gue mau nawarin kontrak kerja sama," ujarku sambil menyerahkan draft kontrak ke Ghani. "Batu juga lo. Gue gak suka dikejar, ingat itu," ucap Arghani tegas. Aku menatap Arghani dengan senyum tipis seraya berkata, "Geer amat lo. Siapa juga yang mau ngejar situ." Aku berusaha menyembunyikan maksud terselubung dari rencana kerja sama ini. Arghani mengeluarkan tawa kecilnya dan kemudian dia dengan santainya menepuk kepalaku menggunakan draft kontrak. "Lo itu gampang banget ditebak. Yakin deh kalau lo gagal dapatin gue lo pasti pasrah aja nerima perjodohan dari nyokap lo," Arghani berujar dengan gamblang. "Bangke," gumamku pelan. Runtuh sudah pertahananku sebagai perempuan anggun. Kenapa juga si Arghani ini bisa menebak dengan benar seperti ini. "Balik lo sana. Besok gue kabarin soal kerja sama, gue lagi ada pemotretan," usir Arghani. Pria itu bahkan langsung membalikkan badannya meninggalkan aku. Tetapi aku gak ingin sia-sia saja datang kemari. Setidaknya Arghani harus terus mengingat sosokku. "Lo hari ini cakep. Warna biru laut kayaknya lebih mengeluarkan pesona lo!" Arghani tetap berjalan tanpa menatapku, dia hanya melambaikan tangannya. Respon kecil seperti itu saja aku sudah senang begini. Kok aku jadi mirip anak ABG begini ya? Masa sih aku puber kedua?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN