Lily

1543 Kata
Jantung Lily tak hentinya berdebar hebat bahkan saat Reiga telah mengusap lembut kepalanya dan menggenggam tangannya. " Kita pergi dari sini" ucapnya lembut dan hanya mampu di angguki oleh Hana yang masih terbawa suasana sejak tadi. Sesampainya di lobby dan mereka menunggui mobil milik Reiga untuk diantarkan, Lily masih menatap pada genggaman tangan mereka berdua. Genggaman tangan yang menurutnya begitu melindunginya. Seperti genggaman seorang ayah pada putri kecilnya. " Jangan komentar apapun. Ada banyak kamera di belakang. Kita omongin nanti" ucap Reiga yang hanya di angguki lagi oleh Lily hingga membuat Reiga menatapnya curiga. " Are you okay?" Lily hanya tersenyum dan mengangguk. (" Sialan. Gue kenapa jadi kek lumpuh layu gini sih?") Mobil sport mewah milik Reiga akhirnya sampai di depan mereka dan sang empunya langsung membukakan pintu untuk Lily. " Ayo" ucapnya dengan mata mengisyaratkan agar Lily segera masuk. " Iya iya" jawab Lily yang langsung duduk dan memakai sabuk pengamannya. "Kita mau kemana sih?" tanya Lily ketika Reiga sudah duduk di balik kemudi. " Kemana saja asal kita bisa berbicara leluasa" Mobil mereka pun melaju dan membuat mereka sibuk dengan pikiran masing-masing ketika ponsel milik Lily berdering dan kemudian dia terlihat heran dengan nomor telepon tidak dikenal yang terpampang di layar benda pipih miliknya. " Iya Halo..." " Halo...Lily?" tanya suara seorang wanita di seberang. " Iya benar. Siapa?" " Saya calon mertua Devan" Lily menarik napas dengan kasar. " Maaf. Maksudnya gimana?" " Saya mama pacarnya Devan" " Oww.... Mama selingkuhan Devan. Ada apa ya?" " Saya minta sama kamu jangan halangin kebahagiaan anak saya dan Devan. Mereka sudah lama bersama. Tolong jangan ganggu mereka. Mereka berencana menikah dan..." " Maaf bu, saya nggak tahu maksud ibu apa"potong Lily lalu sekilas melirik Reiga yang nampak serius mengemudikan kendaraannya. " Saya sama sekali nggak pernah mengganggu anak ibu. Saya dan Devan sudah beberapa tahun bertunangan. Bulan depan pun kami semestinya sudah menikah andai saja Devan dan anak ibu tidak mengkhianati saya. Dan maaf skali, saya tidak ada hubungan lagi dengan dia. Jadi silahkan ibu rencanakan pernikahan mereka. Karena saya sendiri sudah tidak berminat. Selamat siang" sambung Lily dan kemudian mematikan panggilan tersebut. " Huufftt... Enak aja." Reiga yang sejak tadi diam-diam mendengar percakapan Lily kemudian membuka sunroof atap mobilnya yang seketika membuat Lily tersenyum. " Makasih. Aku emang butuh udara segar" Baru saja Reiga hendak memutar music player dari dashboard mobilnya, ponsel miliknya pun kini berdering dan membuatnya menghela napas ketika melihat nama si penelepon. " Halo, ma" " Rei, kamu dimana?" " Di jalan. Aku mau..." " Mama tunggu di rumah ya sayang. Jangan lupa ajak pacar kamu. Bye, Rei..." " Aku..." ucap Reiga lalu meremas ponselnya dengan senyum yang berat. " Mama kamu?" tanya Lily. " Yup. Thanks to you, mama ku sekarang sangat bersemangat menyambut kita" " Kita?" tanya Lily heran. Reiga tidak menjawab dan tetap fokus pada kemudi dihadapannya hingga kini mobil yang mereka kendarai memasuki sebuah pantai yang nampak tidak begitu ramai saat ini. Reiga lalu membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil miliknya dan diikuti oleh Lily. " Aku dulu sering banget ke pantai. Sama papa aku." ucap Lily. " Apalagi kalau cuaca lagi kayak sekarang. Nggak begitu terik dan berangin. Kata papa biar kulit aku nggak jadi gelap karena matahari. Papa akan langsung ngajak aku dan bilang kalau aku harus selalu ke pantai, harus selalu bahagia dengan ataupun tanpa papa. Well, i'd try my best" lanjut Lily. " Saya bahkan lupa kapan terakhir ke pantai. Well, sekarang kita ngomongin soal perjanjian kita dulu" " Oke. Apa keuntungannya buat aku?" Reiga tersenyum mengejek. " Kenapa?" tanya Lily heran. " Tentu saja kamu akan dapat banyak keuntungan. Tapi yang paling utama, kamu nggak perlu membayar ganti rugi motor ataupun mengembalikan uang saya" Lily menggeleng cepat. " Nggak bisa. Itu tetap kewajiban aku. Dan aku bersedia bantuin kamu karena kamu juga sudah bantuin aku. Sejenis ucapan terima kasih aja." " Kamu yakin?" Lilye mengangguk pasti. " Terserah kamu kalau gitu" " Trus aku harus ngapain?" Reiga berdehem dan membuka jas yang ia pakai sejak tadi. " Kamu hanya harus meyakinkan Zara kalau kita bertunangan. Itu saja" Lily menatap curiga pada Reiga namun tersenyum di menit berikutnya. " Kamu nggak mau dia tunangan? Kenapa nggak ngomong aja langsung?" " Tidak. Saya nggak mau dia bertunangan bukan karena saya mau bertunangan sama dia. Saya hanya merasa kalau mereka nggak cocok. Dan tunangannya tidak bisa di percaya" " Tapi..." " Ssstt... Tugas kamu hanya membuat Zara yakin kalau kita bertunangan dan dia harus yakin kalau dia tidak lagi memiliki perasaan apapun pada saya sebelum akhirnya menikah dengan orang lain dan menghancurkan hidupnya." " Kamu peduli banget sama dia" Reiga tersenyum tipis dan mengangguk. “ Iya. Saya peduli sama dia. Saya mengenal dia sejak SMA. Kami berpacaran setelah lulus SMA. Dan kuliah sama-sama. Bekerja sama-sama. Sampai kami memutuskan berpisah dengan baik-baik" " Kamu masih suka ya sama dia?" " Bukan urusan kamu!" ucapnya santai lalu berdiri tepat di hadapan Lily. Kini jantung Lily kembali berpacu dengan cepat. Entah sejak kapan pria arogan di hadapannya kini nampak sangat tampan berkali lipat dimatanya. " Apa yang harus saya lakukan untuk kamu?" Lily hanya menggeleng. " Kenapa?" " Aku nggak mau apa-apa. Aku hanya butuh alasan untuk bisa keluar dari rumah. Itu aja" " Kenapa? Well, setidaknya kita harus saling mengenal kan?" " Aku tinggal sama istri mendiang papa. Dia maksa aku untuk menikah dengan anak saudaranya. Tapi aku bilang kalau aku punya pacar. Dan aku emang punya kan waktu itu? Kalau mama tau aku putus sama Devan, dia pasti bakalan maksa aku kembali ke rumah, di jodohkan dengan anak saudaranya biar harta warisan aku nggak kemana-mana, dan aku akan disiksa dan aku akan jadi janda dalam umur yang masih muda. Dan... Apa aku kebanyakan ngomong?" Reiga memicingkan matanya. " Apa kamu ingat semua yang kamu omongin tadi?" tanya Reiga dan membuat Lily mengangguk cepat. " Berarti mama sambung kamu sangat sayang sama kamu" " Mama sambung?" Lily bertanya dengan tertawa. " Kenapa?" " Aku lebih sering nyebut mama sebagai mama tiri. Dan tentu saja dia nggak sayang sama aku. Dia baik sama aku hany karena harta warisan papa yang nggak bisa mereka sentuh kecuali aku menikah" " Kamu bekerja?" " Tadinya aku bekerja. Aku desain interior. Tapi karena kantor itu milik teman Devan, ya aku mengundurkan diri" " Kenapa?" " Aku mungkin bodoh, tapi aku punya harga diri." " Orang bodoh nggak akan bisa bicara secepat dan sebanyak kamu" Lily tersenyum. " Aku anggap itu pujian. Ada lagi yang mau kamu tanyakan?" " Apa kamu punya penyakit?" Lily meringis kesal menatap pada Reiga yang nampak serius dengan pertanyaannya. " Aku sehat. Aku normal. Kamu sendiri?Jangan-jangan kamu psikopat yang..." Lily terkejut ketika Reiga langsung memeluknya. " Ada Vania" bisik Reiga di balik telinga Lily yang hanya mengangguk mengerti. " Ngapain dia disini?" " Mana aku tahu!" " Trus?" " Mereka mendekat." Lily lalu melepaskan pelukan Reiga dan nampak santai ketika Vania berdiri dihadapannya. " Kak..." " Vania" ucap Reiga yang kini merangkul pundak Lily. " Aku nggak nyangka kak Rei ngelakuin ini" " Maaf Van. Tapi kami udah lama sama-sama" " Lama? Kak Rei bahkan baru beberapa lama putus sama kak Zara. Atau kalian cuma pura-pura? Biar kak Zara cemburu?" Lily lalu menatap Reiga karena apa yang dikatakan gadis belia dihadapan mereka memang benar. " Udahlah Van. Oh ya, kenalin ini Zelykha. Sayang, ini Vania. Kamu ingat kan? Dia anak teman mama." Lily mengangguk dengan senyum manisnya pada gadis yang menekuk wajahnya bahkan terlihat hampir menangis. " Pokoknya aku nggak percaya. Aku akan cari tahu. Kak Reiga nggak gampang dekat sama orang. Aku nggak percaya" ucapnya sambil menghentakkan kakinya sebelum pergi meninggalkan Lily yang nampak melongo. " Kasian banget, kecil-kecil udah bucin banget" " So, kita udah deal kan?" tanya Reiga. " Dengan satu syarat" Reiga memasukkan tangannya di kedua sisi saku celananya. " Apa?" " Jangan sembarangan peluk atau apapun" " Look who's talking now" " Iya, tapi kan aku lakuin itu karena sikon juga. Lagian nggak seperti kamu, aku baru sekali. Aku juga ngelakuin karena terpaksa." " Oke oke. Saya akan ngasih kode sebelum nyentuh kamu. Ada lagi?" " Hanya orang dekat aku yang manggil aku Lily. Nama panggilan dari papa aku. Kamu sebaiknya berhenti nyebut diri kamu saya, kedengeran aneh tau nggak?!" " Oke. Ada lagi?" " Nggak ada. Biarin aja seperti apa adanya. Aku pusing kalau terlalu banyak perjanjian." " Kamu tinggal dimana?" " Sama sahabat aku. Karena aku nggak mau kembali ke rumah dan jadi bulan-bulanan mereka. Kebetulan apartemennya kosong, dia nggak selalu ada disana, ya aku tinggal disana.. Ada lagi?" Reiga menatap Lily yang mengingatkannya pada ibunya. Ia teringat ibunya pernah bercerita jika ia hidup seorang diri dan tinggal sendiri. Meski Lily kelihatan bukan orang yang kekurangan, namun ia melihat jika sikap mandiri wanita di hadapannya itu sama dengan ibunya semasa muda. " Aku rasa kamu akan cocok sama mama" " Mama?" " Ngomong-ngomong soal mama, kita harus makan malam di rumah mama" " Kita?" " Iya, kita! Kenapa?" " Seriusan kita mau ketemu orang tua kamu? Kita kan cuma bohongan tunangannya. Kalau mama kamu ngarepin lebih gimana? Gimana kalau dia nanyain macam-macam?" " Mama aku nggak sekuno itu. Palingan mama hanya akan minta kamu tinggal di rumah" " Apa? Gimana bisa? Aku kan.... " Ssstttt....Ayo Pulang..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN