Davika berjalan dengan gontai masuk melewati pintu samping kampus. Semalaman tidurnya kurang nyaman. Meski kantuk benar-benar melanda, tapi tidur berbagi dipan yang sempit dengan Ammar benar-benar menyiksa. Gadis itu terlalu lelah dan mengantuk untuk sekedar menyadari bahwa dirinya kini sedang berada di pusat perhatian. Banyak mahasiswa lain yang menatapnya dengan aneh, beberapa bahkan tertawa cekikikan. Davika sampai lupa tidak mengecek teleponnya sejak pagi. Gadis itu berjalan perlahan sambil menata layar ponselnya yang dipenuhi dengan panggilan dari sang sahabat. “Ngapain nih anak telepon sampe puluhan kali?” gumamnya sendiri, baru saja Davika menyadari bahwa dia menyetel teleponnya dalam mode diam. Pantas saja. Davika menekan nomor Milly dan mendekatkan benda pipih itu ke telinganya

