“An-anakku.” Kata itu meluncur begitu saja dari bibir Herman. Seolah ada luapan perasaan yang menghantam bagai air bah. Ammar mengernyit bingung. “Anak?” tanyanya membeo ucapan Herman. Lelaki paruh baya itu tersentak, logikanya kembali memaksanya untuk berpikir. Kemudian dengan cepat Herman menggeleng, menghapus angan yang tidak semestinya dia tunjukkan saat ini. “Mak-maksud Om, anak Om, Fabio sedang sakit dan dirawat di rumah sakit seberang jalan itu, Om kesini untuk makan siang,” Herman berucap dengan terbata-bata. "Oh begitu, pantes Om kelihatan sedih sekali, semoga anak Om cepat sembuh ya," ucap Ammar dengan tulus. Ammar tak mengenal Fabio, dua kali bertemu dengan pemuda yang usianya sedikit lebih muda darinya itu selalu memberi kesan yang kurang menyenangkan. Pemuda itu terang-te

