Tidak Ada Warna di Hari Senin
Pagi itu seperti biasa—sunyi, kecuali suara langkah kaki sendiri di trotoar sekolah yang mulai retak-retak.
Alya tidak terburu-buru. Tidak juga santai. Ia hanya berjalan, seperti biasa, dengan seragam yang sedikit kebesaran dan rambut diikat asal di belakang kepala. Tasnya menggantung lemas di satu bahu, dan tangan kirinya erat menggenggam map lusuh berisi buku gambar.
Langit mendung. Tapi bukan mendung yang menjanjikan hujan. Lebih seperti langit yang kehabisan tenaga untuk bersinar.
Ia masuk ke gerbang tanpa banyak diperhatikan. Atau lebih tepatnya—sengaja tidak diperhatikan. Tidak ada yang menyapa. Tidak ada yang melambaikan tangan. Tapi Alya sudah terbiasa. Sejak kelas sepuluh.
Ruang kelas XI IPS 2 sudah ramai saat ia masuk. Suara obrolan, derit kursi, dan dentingan ponsel saling tumpang tindih. Tapi semua itu terasa jauh, seperti ditonton dari balik kaca tebal.
Ia duduk di bangkunya, sudut kanan belakang, dan membuka buku gambarnya.
Kertas putih. Masih kosong.
Ia menatapnya cukup lama. Tangannya bergerak pelan, mengambil pensil. Tapi tidak ada garis yang tercoret. Bukan karena tidak ada ide. Tapi karena tidak yakin apakah itu layak digambar.
Ia tidak ingat kapan terakhir kali menggambar sesuatu yang benar-benar dari hatinya.
Mungkin waktu ibu masih ada.
Pikirannya melayang, seperti biasa. Ke dapur kecil yang dulu selalu ramai dengan aroma sabun cuci dan suara ibu bernyanyi pelan sambil mencuci piring. Ke kamar kecil di mana dindingnya dipenuhi coretan krayon masa kecil. Ke suara lembut yang dulu bilang, “Nggak apa-apa kalau kamu nggak banyak ngomong. Tapi kamu harus tetap berani hidup.”
Itu dulu.
Sekarang, dinding kamar kosong. Dan suara itu sudah tidak ada.
Bel sekolah berbunyi.
Guru belum datang. Tapi percakapan tetap berlanjut, hanya saja makin pelan. Ada bisik-bisik dari barisan tengah. Tertawa pelan. Sesekali pandangan cepat ke arah bangku belakang.
Alya tidak menoleh.
Ia sudah hafal caranya mengabaikan.
Kata-kata seperti "kasihan", "aneh", atau "nggak pernah senyum" sudah lama kehilangan efek kejut. Tapi tetap saja ada hari di mana hatinya tidak cukup kuat untuk mengabaikan semuanya.
Hari ini salah satunya.
Ia memeluk map gambar itu lebih erat. Seolah-olah itu cukup untuk menahan kenyataan.
Tapi yang paling menyakitkan bukan kata-kata mereka.
Yang paling menyakitkan adalah… ia mulai mempercayainya.
Bahwa mungkin, memang ada yang salah dengannya.
Bel berbunyi lagi. Guru masih belum masuk. Dan selembar kertas kosong itu tetap kosong.
Karena tidak semua luka bisa langsung digambar.
Karena kadang, butuh waktu untuk sekadar percaya bahwa suara sendiri pantas untuk didengar.