Mata Priska mengerjap. Rasa yang perih dan tidak enak akibat menangis beberapa saat di dalam kamar mandi. Dia mengusap matanya, tidak membiarkan bengkak dan memerah. Tidak boleh ada air mata yang tersisa dan membuat orang orang tahu dia habis saja menangis. Tadi dia sudah keren melawan Gerald cs. Dalam hatinya beneran sakit dipermainkan menjadi bahan taruhan para murid cowok. Usai berkaca di toilet memastikan tidak ada yang mencurigakan Priska keluar dan memasang senyuman kikuk ke guru yang lewat di depannya.
Sampai di kelas pelajaran belum dimulai. Masih mengabsen. Saat namanya dipanggil tepat sekali Priska tiba dan langsung mengacungkan tangannya.
Di kursinya sudah menanti Alya dengan wajah cemas. "Lo nggak apa-apa?" tanya Alya perhatian.
Priska mengernyit. Mengapa Alya memperhatikan gelagat anehnya. Jangan-jangan cewek itu curiga tahu apa yang habis Priska lakukan di toilet?
"Gue cuma kebelet pipis tadi. Udahlah biarin aja tentang si Gerald." Cengiran gadis itu menyiaratkan rasa cueknya.
Mereka ngobrol sambil bisik-bisik. "Oh. Gue kalo jadi lo udah nangis dan sesak napas. Kecewa dimainin aja cuma buat bahan taruhan. Ups, sori ya. Gue nggak maksud ngungkit." Alya gugup memandangi Priska.
"Udah nggak apa-apa. Udah biasa. Sering hadepin tingkah cowok yang aneh dan nyebelin kayak gitu. Jangan diambil hati. Senyumin aja. Mereka cuma manusia rendahan!" Senyuman Priska sinis, padahal dalam hati dia masih kesal dan mau menangis. Walau perasannya pada Gerald sebatas suka dan nyaman. Mengetahui dugaan selama ini benar hanya kerjaan anak-anak itu supaya membuatnya malu, Priska merutuki nasib.
Setelah kamu pergi mengapa hidupku makin rumit?
Saat kau pergi, aku kira hanya akan kehilangan pengganggu dan mendapatkan kedamaianku lagi.
Alya melirik ke arah Priska yang sudah membuka-buka buku pelajaran PKN. Bagaimana sosok asli seorang Priska teman sebangkunya ini? Jarang Alya melihat Priska tertawa, gadis itu memiliki ekspresi minim dan dingin. Wajar dia membuat cowok penasaran.
Seperti gunung es yang berdiri. Cantik.
***
"Plis, Priska dateng ya ke rumah gue. Nggak enak kalo yang ada cuma Alka. Gue masih risih berduaan sama cowok. Malu. Kalo ada lo, seenggaknya suasana bisa nggak akan tegang amat. Jadi rame."
Hari Sabtu yang ingin digunakan untuk nonton Drama Korea terpaksa ditunda karena permintaan Inna yang mengundang Priska untuk datang ke rumahnya.
"Terus gue jadi nyamuk? Aduh Inna, lo udah jadi remaja cewek belasan tahun. Masih kaku aja sama cowok. Nanti dia kabur loh kalo lo malu-malu kucing gini. Santai aja." Priska menjawab lewat telepon perihal ajakan Inna.
"Janji deh kalo ada lo nggak canggung amat. Gue paling nggak bisa ngomong berdua tapi kalo ada orang lain bisa. Mau ya? Please!!"
Priska tidak menyangka bahwa Inna mulai pacar-pacaran dengan cowok dan melibatkan orang di sekitarnya.
Akhirnya Priska menyerah menghela napasnya. "Ya udah. Tapi bikinin gue kue bolu kukus nanti ya. Kalo sisa banyak bawa pulang juga boleh dong." Kekehan kecil dari Priska tidak bisa ditahan.
"Udah mau bikin nih banyak, bener yak lo dateng? Soalnya Winjes nggak bisa dateng ada acara," kata Inna lagi.
"Iya deh. Ntar gue bawa flashdisk ya, minta Drama Korea juga."
Setelah telepon tertutup Priska melihat jam dinding sudah pukul 9 pagi. Ada-ada saja Inna yang masih malu didekati cowok dan meminta ditemani. Kasihan si cowok mau main ke rumah modus malah bertemu dengan banyak orang selain tujuannya.
Gadis itu sudah agak melupakan kejadian taruhan geng Gerald. Kalau dirumah dia akan lupa dengan sendirinya, sedangkan di sekolah kalau melihat Gerald akan teringat lagi.
Ponsel milik Priska berdering lagi dan nama Nabila muncul. "Halo kenapa?" jawab Priska.
"Main yuk sini. Bosen nih gue, parah," ucap Nabila cerocos cepat.
"Yang lain dateng nggak? Gue nggak bisa hari ini. Besok aja. Jadwalnya baru aja disuruh Inna main ke rumahnya. Udah lama nggak ke sono. Oke?"
Nabila mengerang sebal di sana. "Yah, ya udah. Besok aja deh gue bilang sama yang lain. Senin pulang sekolah nonton yuk, Pris, ada film baru."
"Nggak tau deh. Soalnya—" Priska terdiam tidak mau dia bilang kalau duitnya belum turun dan pas-pasan untuk seminggu kemudian. Susah punya teman tajir hobi ngajak jalan dan kalau tidak dikodein tidak ada uang, tidak akan paham. Susah memang memiliki teman yang suka banget nongkrong.
"Kenapa?" Nabila bertanya setelah Priska diam beberapa saat.
"Udah mulai Pendalaman Materi, ‘kan? Baru balik jam setengah 5," jawab Priska sekenanya. Dia juga malas cari alasan. Belum tentu benar atau salah. Mengarang sembarangan saja.
"Bolos kalo bisa. Ngapain PM segala!" celetuk Nabila. "Lah? Eh kan, jadwal PM belum jadi. Minggu depan baru mulai." Lalu Nabila memberikan informasi yang membuat Priska kalah. Jadwal Pendalaman Materi belum sampai di tangannya. Baiklah.
Priska tidak mau kalah mengelak lagi, "Nggak deh kalo bolos mah. Udah ya, gue harus siap-siap karena harus segera ke rumah Inna. Udah ditunggu sama dia di rumahnya."
Telepon ditutup oleh Nabila setelah gadis itu menggerutu manja dan sebal.
Dalam waktu satu jam, seorang gadis berambut panjang, memakai celana jeans biru, dan kemeja lengan pendek warna oranye berdiri di pinggir jalan depan kompleks Permata. Baru saja Priska turun dari angkot dan menepi di halte memakai tas selempang kecil yang dipakai hanya berisi ponsel, dompet, dan flashdisk. Gadis itu celingukan. Dia melangkah mendekati gerbang kompleks perumahan itu.
Baru jalan sebentar sebuah mobil berjalan beriringan di sebelahnya. Priska risih dipepet mobil abu-abu itu. Siapa sangka wajah yang muncul di jendela kaca mobil teman sebangkunya sendiri. Alya. Gadis berambut sebahu yang manis.
"Hai! Tuhkan beneran Priska. Mau ke mana?" Alya berteriak dari jendela yang terbuka. "Rumah lo di sini?"
Priska melihat sedikit ke dalam mobil ada siluet wajah seorang cowok sedang menatap ke arahnya. Priska juga heran mengapa di sini ada Alya dan Alka, si saudaranya itu. Apakah selama ini rumah keduanya juga di kompleks ini? Jadi, apa mungkin Alka dan Inna tetanggaan makanya dekat banget dengan Inna? Priska tidak tahu info itu.
Priska tersentak ketika teringat cowok yang mau main ke rumah Inna adalah Alka. Perempuan itu mendadak ingin tertawa geli, menyadari satu hal. Alka juga sama malunya kayak Inna dengan membawa sang saudaranya ke rumah Inna.
Dasar pasangan lucu.
"Mau ke rumah Inna," jawab Priska lugas bersahutan dengan suara kendaraan di jalanan. Gadis itu menutup telinga agak sakit, karena ada suara klakson truk besar.
"Bareng sini masuk. Kita juga mau ke sana loh," sahut Alya riang. "Jalan ke dalemnya lumayan jauh, capek loh."
Priska nyengir rada tak enakan. Dia melihat ke arah dalam, bertemu pandang dengan wajah Alka. Cowok itu tidak seceria Alya.
Apakah Alka merasa terancam di rumah gebetannya bakalan cukup ramai tamu? Tapi setelah itu Alka menjadi tersenyum kecil pada Priska.
"Ya udah." Priska naik ke kursi belakang Alya. Dia tersenyum kikuk dan menyelipkan rambutnya ke belakang.
"Priska ini temen deketnya Inna tau, Mas," kata Alya ke kakaknya.
"Hai, Priska!" sapa Alka dengan suara berat. Dan gadis yang bernama Priska itu tersentak.
Senyuman Priska memudar. Kapan terakhir kali ada yang menyapanya seperti itu? Priska meremas kedua tangannya di atas paha. Dia mengamati dua orang di depannya itu.
Alya yang kalem, lucu, dan sederhana mirip dengan Naya.
Dan, gaya menyapa Alka tadi mengingatkannya dengan sosok cowok bernama Guntur.
***
Di rumah Inna hanya ada dirinya dan asisten rumah tangga. Pantas saja Alka mau main memanfaatkan waktunya tapi karena cowok itu sama kalemnya dia mengajak sang adik yang perempuan. Tipikal cowok baik-baik dan sopan.
Priska sedang berkutat dengan laptop memindahkan file drama Korea milik Inna ke flashdisk-nya. Saat baru tiba tadi Inna kaget akan kedatangan Alya. Inna tidak tahu sang saudara gebetannya ikutan datang. Yang banyak bersyukur adalah Priska, dia tidak menjadi orang yang ngintipin orang pacaran, ternyata ada kehadiran Alya juga.
Batin Priska, seharusnya Alka tidak usah mengajak adiknya dan Inna tidak mengajak dirinya. Karena sekarang sang manusia yang harusnya berduaan malah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Alka sibuk menyetel gitar yang entah milik siapa dan kayaknya punya keluarga Inna. Sedangkan Inna malah sibuk sama kue kukus bersama Alya di dapur. Sibuk masing-masing kan dua manusia itu, bagaimana nanti kalau harus berduaan bersama tanpa ditemani? Kikuk sekali yang ada.
"Jadi hidup telah memilih, menurunkan aku ke bumi, hari berganti, dan berganti, aku diam tak memahami. Ooo yeah. Mengapa hidup begitu sepi, apakah hidup seperti ini, mengapa ku slalu sendiri, apakah hidupku tak berarti?"
Dengungan pelan dan lembut tapi jelas itu berasal dari Alka dan tangannya yang memetik senar gitar menghasilkan nada jernih dan bagus. Alka masih bernyanyi pelan-pelan tak menyadari bahwa ada yang memperhatikannya.
Lagu itu terngiang, Priska hapal liriknya mengikuti dalam hati lagu yang dinyanyikan oleh Alka.
Mengapa dia jadi ikutan terbawa suasana menyanyi ala Alka.
Alka tersentak saat aura gadis di dekatnya itu menjadi seram dan sorot matanya tajam. "Sori gue ganggu ya berisik banget?" tanya Alka nyengir malu sudah berhenti nyanyi.
"Nggak." Priska menjawab hanya satu kata. Suaranya dingin dan dalam.
"Gue lagi latihan buat nanti nyanyiin Inna." Pamer Alka sambil mengetuk pelan gitar milik keluarga Inna.
Priska jadi terkekeh. "Romantis amat lu ya ternyata."
Iya, romantis, nggak kayak cowok-cowok yang deketin lu dan jadiin lu mainan doang, Priska.
"Baru tau memangnya?" goda Alka sambil tertawa.
Priska diam saja namun hanya senyum kecil.
"Mas bantuin goreng ikan dong. Kata Mama Inna, goreng aja ikan di kulkas. Udah aku bumbuin sama Inna." Dari pintu muncul Alya lalu menaruh sebuah ponsel keren ke dalam tas kecil.
Priska melihatnya karena tepat di depan mata. Ponsel keren yang mirip dengan milik Nabila. Satu merek dan setahu Priska harganya tidak murah. Priska baru tahu bahwa Alya di belakangnya lebih keren dari yang dibayangkan. Seingat Priska kalau di sekolah Alya mengeluarkan ponsel yang tombolnya banyak dan lebar. Ponsel 2G yang bikin emosi saat memainkannya. Ternyata keluarga Alya mampu memberinya ponsel mahal. Mengingat saingan lain pemilik hape itu di sekolah itu adalah Nabila. Iphone.
Tidak mau memikirkan ponsel itu, Priska bangun dari duduknya. "Inna mana? Laptopnya udah selesai dipake."
"Di dapur tuh." Unjuk Alya.
Alka dan Priska melangkah bersama ke pintu menuju ruang dalam, mereka bersenggolan karena celah pintunya tidak besar.
Cowok di sebelah Priska itu nyengir gugup. "Sori. Lo duluan."
"Ya udah. Makasih." Priska berjalan cepat menuju Inna. Ingin menagih kue kukus yang diidamkannnya. Karena kue itu mengingatkan Priska pada sang mama yang senang sekali memasak kue.
***
Terdengar petikan gitar mengalun lembut dari ruang tamu dan suara Alka menyanyikan sebuah lagu. Suara Alka cukup enak didengar. Dari ruang makan, Priska hanya bisa mendengarkan. Dia tidak mau merusak momen kebersamaan Inna dan Alka yang manis. Pasalnya tadi saat mengintip, yang ada bayangan kala Alka sedang menyanyikan lagu untuk Inna.
Di meja makan Priska ikut bernyanyi-nyanyi kecil dan Alya sedang menonton TV di ruang keluarga tentu tidak akan mengetahui kegiatan Priska. Tangan Priska mengambil kue kukus dan melahap habis. Setiap makan ini selalu ingat sama mama deh.
Tiba-tiba Alya muncul sambil menenteng ponsel. "Pris, foto yuk sama gue." Diajakin foto, Priska mau saja dia biasa diajak foto sama Nabila dan yang lain. Biasa cewek saat lihat kamera langsung hobinya foto mulu.
Setelah puas berfoto bersama, Alya duduk menemani Priska. "Kakakku pedekate tapi malu banget. Masa aku diseret gini. Emang dia nggak malu kalo ada kita begini?" Tawa Alya.
"Namanya juga pasangan baru. Kakak lo belum pernah pacaran? Kalo iya, ya sama-sama pengalaman pertama kayak Inna."
Alya tersentak berkat pertanyaan Priska. "Udah pernah punya pacar dulu beberapa kali."
Wah!
Priska kagum cowok kayak Alka yang pemalu dan manis pernah punya pacar beberapa kali, sedangkan Priska yang terlihat playgirl belum ada satu pun yang nyangkut dan meluluhkan. Gerald nyaris. Ah, sial, cowok itu lagi yang diingatnya.
"Cowok ganteng cepet punya pacar, Pris. Orang yang cakep-cakep emang gitu yah? Banyak yang sayang. Kayak lo juga bakalan cepet, banyak yang naksir sih." Ucapan Alya niatnya mau memuji, tapi entah mengapa Priska malah jadi merasa disindir. Dan, Alya sadar dia langsung gugup.
"Ah. Engga kok. Buktinya gue nggak pernah pacaran yang beneran pacaran."
"Emang kenapa sih? Nggak ada yang nyantol?"
Priska menggeleng. Orang-orang yang pernah mengejarnya tidak ada yang berhasil. Bahkan Guntur yang katanya ganteng dan bad boy pada zamannya, tidak berhasil membuatnya suka. Priska mana boleh jatuh cinta ke cowok yang ditaksir sahabatnya.
"Belum ada yang cocok. Lagian gue bukan tipe orang yang tujuannya pada suatu hubungan."
"Kok lo yang cantik nggak mikirin cowok? Sedangkan gue pengen banget punya pacar." Aku Alya membuat Priska meringis.
"Ya, untuk apa pacaran kalo nantinya putus? Masih sekolah juga. Gue pengennya hubungan ya serius untuk nikah."
"Nikah?" Alya melongo. "Udah sejauh itu?"
"Kenapa? Ya, banyak yang bilang gue payah nggak mau pacaran sejak kelas 10. Padahal kesempatan banyak."
"Keren si. Tapi sayang loh, pacaran aja, Pris. Daripada lo—"
Priska langsung tertawa. "Daripada gue dikerjain dan bikin cowok-cowok rese pada penasaran? Jadi sasaran kebencian cowok yang masih penasaran itu?"
Alya mengangguk dengan mata membulat syok. Gadis itu jadi tahu gimana sisi lainnya Priska yang dingin. Ternyata gadis itu realistis dan terlalu jujur.
"Nanti deh, gue pacaran kalo ada yang mau dan niatnya baik berhubungan sama gue. Bukan sekadar mainan lagi."
Impian Priska juga ingin memiliki calon pacar yang serius dan tulus. Untuk pertama kalinya Priska iri dengan salah seorang temannya. Dia juga ingin tahu bagaimana rasanya disayangi dengan tulus dan cowoknya berniat baik-baik.
"Amin. Gue juga, Pris mau kayak gitu juga." Alya menyahut dan antusias. "Biar kita rasain kayak Inna gitu ada yang nyanyiin perhatiin dan ngajak main kalo liburan gini."
Entah mengapa Alya yang berbicara tentang cowok dan pacaran seperti ini makin mendekatkan Priska pada kenangannya dengan Naya. Cewek memang tidak jauh dari ngomongin cowok.
***
5 Des 2021